Di dalam Islam, wanita memiliki derajat yang mulia. Ketika ia menjadi anak maka ia wajib dibimbing dan dilindungi. Ketika ia menjadi istri maka suami wajib menafkahi dan mencukupi kebutuhannya. Ketika ia menjadi seorang ibu, maka kewajiban berbakti kepadanya dilebihkan di atas bakti pada sang Ayah. Sebegitu indahnya Islam memperlakukan kaum wanita hingga tidak ada satupun celah bagi siapapun yang menganggap Islam merendahkan kaum wanita.
Namun terkadang ada kondisi tertentu yang membuat tatanan indah ini rusak. Sebagian wanita tidak dilahirkan di tengah keluarga muslim yang memahami tanggung jawab mereka pada wanita. Sebagian wanita tidak memiliki naungan baik ayah maupun suami yang siap menafkahi sang wanita. Sebagian lain perlu membesarkan anak-anaknya seorang diri sehingga ia terpaksa bekerja di luar rumah. Hal ini tentu menimbulkan tatanan baru dalam kehidupan, yaitu ramainya wanita yang bekerja di tengah-tengah Masyarakat.
Perlu diketahui, seorang muslimah yang bekerja di luar rumah bukan berarti ia melanggar aturan dalam Islam. Islam membolehkan wanita keluar dari rumahnya untuk melakukan banyak hal termasuk bekerja. Namun kebolehan itu ditata sedemikian rupa agar tidak menimbulkan mudharat bagi masyarakat secara umum dan para wanita secara khusus. Wanita yang bekerja di luar rumah, hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Memilih Pekerjaan yang Layak bagi Wanita
Tidak semua pekerjaan layak dilakukan oleh seorang wanita. Sebelum bekerja, perhatikan terlebih dahulu jenis pekerjaan yang dilakukan, apakah pekerjaan tersebut sesuai dengan fitrah kaum wanita atau justru bertentangan dengannya.
Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik seperti kuli bangunan, tukang angkut, supir truk, menambang dan semacamnya tentu saja akan mengikis fitrah kewanitaan dan bertentangan dengan karakter fisiknya. Pekerjaan yang selayaknya dilakukan wanita adalah yang sesuai dengan karakter wanita, baik fisik maupun naluri. Menjadi dokter, bidan, koki, akuntan, guru, dan berbagai pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan, kelembutan dan ketelitian tentu lebih cocok untuk kaum perempuan.
2. Menutup Aurat dan Tidak Berhias
Menutup aurat dan meninggalkan berhias merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditolerir apabila wanita tersebut memutuskan bekerja di luar rumah. Selain karena menutup aurat adalah kewajiban, hal itu juga dapat melindungi wanita dari berbagai keburukan dan fitnah.
Hal yang perlu digarisbawahi, adalah memahami apa maksud dari menutup aurat. Sebagian muslimah memahami bahwa menutup aurat hanyalah memakai jilbab seadanya. Padahal yang dimaksud dengan menutup aurat adalah menyembunyikan aurat dengan pakaian yang benar-benar dapat menutupinya, baik bentuk maupun warnanya. Oleh sebab itu, jilbab yang digunakan haruslah yang terjulur ke bawah dada. Ia perlu mengenakan penutup kaki dan lengan agar tidak terlihat apabila pakaiannya tersibak.
Ia juga perlu menjauhi berbagai bentuk berhias, mengenakan parfum ketika akan bekerja, ataupun hal-hal lain yang dapat menimbulkan mudharat baginya.
3. Menjaga Diri dan Memuliakan Kehormatan Diri
Salah satu bentuk penjagaan diri ketika bekerja adalah menghindari berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya bagaimanapun situasinya. Syaithan tidak akan langsung menjadikan dua orang berzina begitu saja. Namun ia akan melakukan berbagai upaya yang menyebabkan godaan untuk berzina menjadi nyata. Upaya-upaya itu tentu dimulai dari hal-hal kecil. Maka kita pun perlu mewaspadai hal-hal yang dirasa kecil itu agar tidak menjadi besar.
Dimulai dari menjaga suara agar tidak terdengar mendayu-dayu, hingga menjaga kondisi agar tidak tercipta kesempatan untuk berkhalwat. Sebagaimana Allah telah memberi peringatan dalam surat Al-Ahzab ayat 32,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِٱلْقَوْلِ فَيَطْمَعَ ٱلَّذِى فِى قَلْبِهِۦ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
“Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
Hal lain yang juga penting adalah menjaga muru’ah atau kehormatan diri. Jadilah wanita yang tidak bisa sembarangan diakses oleh siapapun yang menginginkannya. Jauhi bermudah-mudahan mengirim dan berbalas pesan dengan lawan jenis, serta menjaga tutur kata agar tetap sopan dan bermartabat.
Baca juga: Hukum Membuka Toko di saat Perayaan Orang Kafir
4. Tidak Menimbulkan Bahaya atau Fitnah
Terkadang pekerjaan tertentu memiliki titik kritis yang berpotensi membahayakan sang Muslimah. Baik dari segi keadaan pekerjaan itu sendiri maupun dari luar hal itu. Misal, seseorang yang bekerja sebagai sekretaris namun harus terus-menerus bertemu dengan bosnya yang laki-laki di dalam ruangannya. Bekerja sebagai sekretaris tentu saja diperbolehkan. Namun apabila ada hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah baginya, tentu selayaknya ia memilih pekerjaan lain yang membuatnya terhindar dari bahaya tersebut.
Keadaan lain yang perlu diperhatikan juga ialah kondisi jalan yang ia lalui untuk sampai ke tempat kerjanya. Jika jalan tersebut tidak aman, atau ia harus berdesak-desakan dengan lawan jenis di kendaraan umum maka selayaknya ia mencari pekerjaan lain yang lebih aman.
5. Mendapat Izin Orang Tua, Wali, ataupun Suami
Ini merupakan point penting bagi wanita yang ingin bekerja. Apalagi jika orangtua atau suami dapat memenuhi kebutuhan wanita tersebut. Karena pada dasarnya wanita itu dinafkahi dan dilindungi. Maka apabila orangtua ataupun suami dapat menanggung nafkahnya dan ia tidak diharuskan bekerja, maka yang terbaik adalah tetap di rumah dan mengurus rumahnya.
Apabila ia tetap ingin bekerja untuk mengaplikasikan ilmunya, atau adanya kebutuhan dari masyarakat, maka ia wajib mendapatkan izin terlebih dahulu. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah, “Tidak halal bagi seorang istri keluar rumahnya tanpa izin suaminya. Tidak halal bagi seorang pun menjemputnya dan menahannya dari suaminya, baik dia sebagai wanita yang menyusui atau sebagai dukun bayi (bidan), atau pekerja lainnya. Jika dia keluar rumah tanpa izin suaminya, berarti ia telah berbuat durhaka, bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan layak mendapat hukuman.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah XXXII/281)
6. Tidak Melalaikan Kewajiban yang Lebih Besar
Pada dasarnya wanita memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab atas kondisi rumahnya. Bagi yang sudah bersuami, ia wajib bertanggungjawab atas kebutuhan suaminya di rumah. Dan bagi seorang ibu, ia berkewajiban mengasuh anak-anaknya. Sebagaimana dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallah ‘anhu, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“… Seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu…” (HR Bukhari no. 893).
Maka dari itu, hendaknya pekerjaannya jangan sampai membuatnya lalai dari kewajiban berpahala ini. Sebesar apapun kecintaan seorang wanita pada pekerjaannya, keluarganya tetap harus menjadi prioritas. Ia perlu memperhatikan kebutuhan suami dan anak-anaknya. Meskipun ia memiliki pembantu dan pengasuh anak, sungguh hal itu tidak cukup untuk menggugurkan kewajibannya sebagai ratu di rumahnya dimana ia harus menjamin kenyamanan rumah tersebut dengan menjadi sumber kasih sayang di dalamnya. Maka selayaknya hal ini menjadi perhatian utamanya agar ia memperoleh kebahagiaan yang panjang hingga akhir usianya.
Baca juga: Perempuan Bekerja Boleh Saja, Asal…
—
Penulis: Intan M. Nurwidyani, S.H.
Referensi:
1. Al Qur’an Al Karim (web kemenag)
2. Shahih Bukhari, Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Daar Thauq Najah, Cetakan Pertama, 1422 H, Damaskus
3. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah XXXII/281, https://waqfeya.net/book.php?bid=1747
Artikel Muslimah.or.id