Benarkah pernyataan bahwa memberikan uang lebaran akan mengajarkan mental suka minta-minta kepada anak-anak? Untuk menjawab hal ini, perlu dirinci menjadi beberapa poin berikut:
Pertama: Dari sisi si pemberi uang lebaran
Dari sisi orang yang memberi, sama sekali tidak ada masalah. Baik yang diberi adalah peminta-minta atau bukan, si pemberi tetap dapat pahala dan tetap melakukan kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dalam harta mereka terdapat hak bagi orang yang meminta dan orang yang tidak punya (orang miskin)” (QS. Adz Dzariyat: 19).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
“Orang yang meminta-minta, maka janganlah engkau bentak” (QS. Adh Dhuha: 10).
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada peminta-minta tetap merupakan kebaikan.
Sehingga orang yang memberi uang lebaran kepada anak-anak, ia telah melakukan kebaikan, terlepas anak-anak tersebut minta atau tidak.
Kebiasaan memberikan uang lebaran ini juga dicontohkan oleh para salaf. Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kabar kepada kami bahwa Hammad bin Abi Sulaiman (seorang ulama tabi’in) merupakan orang yang diberikan keluasan dalam urusan dunia. Di bulan Ramadhan beliau biasa memberi hidangan berbuka puasa kepada 500 orang yang berpuasa. Kemudian di hari Idul Fitri, beliau biasa memberi mereka uang masing-masing sebesar 100 dirham” (Siyar A’lamin Nubala, 5/234).
Kedua: Dari sisi penerima uang lebaran
Dari sisi anak-anak yang menerima yang lebaran, kita rinci lagi:
* Jika mereka dibimbing dan diperintahkan untuk meminta uang kepada orang lain. Maka ini yang tercela dan mengajarkan mental minta-minta.
Seperti mengatakan:
“Nak, nanti salim sama simbah, dan jangan lupa minta uang lebarannya”
“Nak, itu ada om Budi, minta uang lebaran sana!”
Inilah yang tercela, karena dilarang meminta-minta padahal tidak dalam keadaan fakir. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak hartanya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).
*Namun jika anak-anak tidak diperintahkan untuk meminta uang lebaran, tapi dibolehkan untuk menerimanya jika ada yang memberi, ini tidak mengapa. Bahkan ini adalah akhlak mulia, karena dianjurkan untuk menerima hadiah yang diberikan orang lain.
Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu mengatakan:
كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُعْطِينِي العَطَاءَ، فأقُولُ: أَعْطِهِ مَن هو أَفْقَرُ إلَيْهِ مِنِّي، فَقالَ: خُذْهُ إذَا جَاءَكَ مِن هذا المَالِ شيءٌ وأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ ولَا سَائِلٍ، فَخُذْهُ وما لا فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pernah memberikan aku suatu pemberian. Saya katakan: lebih baik diberikan kepada orang yang lebih butuh dariku. Nabi bersabda: Terimalah jika ada harta (hadiah) seperti ini yang datang kepadamu, sedangkan engkau tidak mengharapkannya dan tidak memintanya. Ambilah. Adapun harta yang tidak ditawarkan kepadamu, maka jangan ikuti hawa nafsumu” (HR. Bukhari no.1473).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pun senantiasa menerima hadiah. Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ويثيب عليه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa menerima hadiah dan membalasnya” (HR. Bukhari no. 2585).
Maka jika anak-anak sekedar menerima uang lebaran yang ditawarkan kepada mereka, ini tidak mengapa, bahkan ini akhlak mulia.
Wallahu a’lam.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id