Di negeri kita, ada tradisi berbagi uang lebaran kepada anak-anak di hari lebaran. Seorang anak biasanya mendapatkan uang hadiah dari orang tuanya, kakek-neneknya, para kerabat dan para tetangga. Yang menjadi masalah, apakah uang THR yang dimiliki anak-anak ini boleh digunakan oleh orang tuanya?
Haramnya Harta Seorang Muslim
Dalam Islam, harta seorang Muslim terjaga dan tidak boleh diambil tanpa hak. Hukumnya haram mengambil harta milik orang lain tanpa hak. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
“Janganlah kalian makan harta sesama kalian secara batil” (QS. Al Baqarah: 188).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampas) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari no. 1742).
Boleh mengambil harta orang lain jika melalui muamalah yang benar dan sah seperti: jual beli, hadiah, hibah, waris, wasiat, sedekah, nafkah dan akad-akad yang lainnya. Allah ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang berfirman janganlah kalian makan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jual-beli yang disertai keridaan dari kalian” (QS. An Nisa: 29).
Apakah harta anak adalah harta orang tua?
Jawabnya, harta anak adalah hak anak dan milik anak, bukan milik orang tua sama sekali. Sebagaimana hukum asal harta seorang Muslim.
Buktinya, jika seorang anak meninggal, maka ayah dan ibunya mendapatkan harta waris dari anaknya sebesar 1/3 atau 1/6. Ayah dan ibunya tidak mendapatkan seluruh hartanya. Allah ta’ala berfirman:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ
“Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam” (QS. An Nisa: 11).
Ini menunjukkan bahwa harta anak tidak otomatis menjadi harta orang tua. Sehingga uang THR anak atau uang lebaran mereka adalah milik mereka, tidak boleh diambil oleh orang tua dengan cara batil.
Anak kecil itu mahjur
Harta anak kecil yang belum baligh itu statusnya mahjur. Yaitu harta tersebut harus ditahan oleh walinya, dan tidak boleh dibiarkan untuk dibelanjakan oleh mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS. An Nisaa’: 5)
Ath Thabari dalam Tafsir-nya menjelaskan:
عن الحسن في قوله: ” ولا تؤتوا السفهاء أموالكم “، قال: لا تعطوا الصغار والنساء
“Dari Al Hasan, ketika menafsirkan [Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka], beliau mengatakan: maksudnya jangan berikan harta anak-anak kecil dan wanita (yang tidak bisa mengatur harta) kepada mereka”.
Ini juga tafsiran dari As Suddi, Adh Dhahhak, Mujahid, dan lainnya.
Harta anak kecil yang belum baligh mahjur (ditahan) karena dikhawatirkan akan dihabiskan dan disia-siakan jika diberikan kepadanya. Sebab akalnya belum sempurna, dan belum tahu bagaimana membelanjakan harta dengan benar. Ibnu Balban rahimahullah dalam Al Akhshar Al Mukhtasharat mengatakan:
فصل ويحجر على الصَّغِير وَالْمَجْنُون وَالسَّفِيه لحظهم
“Pasal: wajib ditahannya harta anak kecil, orang gila, orang dungu karena ketidak-sempurnaan akal mereka”.
Batasan menahan harta mereka adalah sampai mereka baligh atau sampai mereka dianggap mampu untuk mengatur harta dengan baik. Barulah ketika itu boleh diserahkan harta mereka kepada mereka. Ibnu Balban rahimahullah dalam Al Akhshar Al Mukhtasharat mengatakan
وَمن بلغ رشيدا اَوْ مَجْنُونا ثمَّ عقل ورشد انْفَكَّ الْحجر عَنهُ
“Anak yang sudah baligh dan matang akalnya, atau orang gila yang sudah waras dan sehat akalnya, maka ketika itu dihentikan penahanan hartanya”.
Dengan demikian uang THR atau uang lebaran anak-anak yang masih kecil, semestinya disimpan oleh orang tuanya, tidak boleh diberikan kepada mereka kecuali jika mereka sudah baligh atau bisa mengatur hartanya dengan baik.
Dan firman Allah Ta’ala:
وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ
“berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)”
Menunjukkan bolehnya menggunakan harta anak-anak untuk kepentingan anak-anak. Seperti membeli pakaian untuk mereka, membeli mainan, keperluan sekolah dan semisalnya.
Hadits “kamu dan hartamu milik ayahmu”
Apa yang kami jelaskan di atas, ada pengecualiannya. Terdapat hadits dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أن رجلًا أتَى النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فقال إن لي مالًا وإن والدِي يحتاجُ مالي فقال أنت ومالُك لوالدِك إن أولادَكم من أطيبِ كسبِكم كلوا من كسبِ أولادِكم
“Ada seorang yang datang kepada Rasulullah, ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak. Namun orang tuaku membutuhkan hartaku. Rasulullah kemudian menjawab, “Kamu dan hartamu milik ayahmu. Sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baik hasil usahamu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu.” (HR. Abu Daud, no. 3530; Ahmad, 2: 214).
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud, Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seorang lelaki adalah dari hasil usahanya. Anak itu adalah hasil usaha dari ayahnya” (HR. Abu Daud, no. 3528; An-Nasai dalam Al-Kubra, 4/4. Ibnu Hibban no.4261).
Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud, dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad.
Hadits ini menunjukkan seorang ayah boleh mengambil harta anaknya walaupun tanpa izin. Asy Syaukani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ayah bersekutu dengan anaknya dalam kepemilikan harta anaknya. Sehingga sang ayah boleh memakan harta anaknya, baik diizinkan atau tidak” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/593).
Al Khathabi rahimahullah memberikan syarat bolehnya seorang ayah mengambil harta anaknya:
1. Hanya jika ada kebutuhan, bukan untuk dalam rangka menguasai harta anak.
2. Tidak membahayakan si anak, dengan mengambil harta yang dibutuhkan oleh anak.
(Ma’alimus Sunan, 3/801).
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan: “Seorang ayah boleh mengambil harta anaknya semaunya, selama tidak membahayakan anaknya, dan tidak untuk diberikan kepada anak yang lain, dan bukan diambil ketika salah satunya menjelang wafat, berdasarkan hadits: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”” (Manhajus Salikin, hal. 176).
Oleh karena itu, ayah boleh saja mengambil THR atau uang lebaran anaknya semaunya dengan memperhatikan syarat-syarat di atas. Namun ini tidak berlaku untuk ibu.
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id
Sy kurang sependapat dg penulis ttg seorang ayah boleh memakai uang anaknya sedangkan ibu tidak boleh, sebab banyak ibu2 yg menafkahi keluarganya dan banyak ayah yg tdk bertanggung jawab menafkahi atau dia bekerja utk kesenangan sendiri spt selingkuh, beli mobil dan velg2, motor besar dll sementara anaknya tdk disekolahkan dg benar..
Jd menurut saya harus dilihat kondisinya spy adil…
Itu hadits Nabi, tidak boleh dibantah dengan “menurut saya…”
Kalau pada posisi saya bagaimana Ustadz? Saya anak perempuan sdh menikah, Dan orang tua saya tinggal bersama kami. Yang membuat saya sering mengelus dada, ibu saya sering mengambil barang2 saya (mis: baju, makanan, stok bahan makanan, masakan, dll) untuk diberikan ke adek2 saya. Bahan makanan memang bukan barang yang mahal, tapi memberikan itu selalu menjadi rutinitas hampir setiap hari. Sementara adek2 saya juga hidup dengan sangat berkecukupan dan punya toko yang besar. Saya belanja bahan makanan dengan membayar di tokonya, tapi anak2nya malah makan di rumah saya (Karena ibu saya yang memberikannya). Saya bukannya pelit, tapi kenapa ibu melakukan itu setiap hari, sementara saya juga membutuhkan barang2 itu. Kalau saya tidak sependapat, ibu saya suka mendiamkan saya. Salahkan kalau saya ingin tinggal pisah dari ibu yang seperti ini yaa Ustadz?
di samping hukum, selalu ada adab, jawabannya simpel bagi ayah-ayah tak bertanggung jawab, “Apakah tak malu berlaku begitu?”
sama seperti hukum nikah tanpa restu orang tua, hukum nikah lagi tanpa restu istri pertama, SAH hukumnya, tapi adabnya, APAKAH ADA?
jadi, ga usah membantah satu ilmu dengan kata saya, menurut saya, karena sejatinya ilmu agama itu saling bertautan.