Penulis: Ammi Nur Baits
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Pengertian
Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.
Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
- Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
- Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari 5909)
- Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)
Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
- Terampuninya dosa
- Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
- Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
- Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
- Menimbulkan ketenangan jiwa
- Menghilangkan kebencian dalam hati
- “Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
- “Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
- Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara yang lain membolehkannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:
- Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
- Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
- Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
- Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
- Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
- Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
- Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
- Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
- Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah: “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
Sebagian syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain melarang secara mutlak. Dan pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di antaranya adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak tanpa membedakan antara yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.
Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.
Kedua, Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?
- Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
- A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
- Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)
Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: ulama sepakat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.
Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah pendapat kebanyakan ulama'” (Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk menegaskan hukum haram, memerlukan dalil khusus yang menegaskannya. Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan tersebut?
Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:
Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)
Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya: Keterangan ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)
Beberapa keterangan untuk hadis ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.
Allahu a’lam…
***
Artikel www.muslimah.or.id
bagaimanakah hukumnya berjabat tangan dengan lawan jenis akan tetapi ia belum balig(dewasa) misal ustad dengan santriwati yang masih berusia 6 tahun
berjabat tangan dengan lawan jenis yang belum baligh tidak apa-apa.
bgmn jabat tangan dengan kakek&nenek
kalau kakek nenek sudah baligh kan :)
jadi kita tetap menghindar dari jabat tangan walaupun dengan orang yang sudah tua..
klo berjabat tangan dengan nenek kita atau bulek, bude
assalamu’alaikum
afwan ana minta ijin copy paste……
artikelnya benar-benar berfaedah….
Ass. Gmn hukumnya kalau bjabat tangan dgn oom (saudara kandung ibu/bpk), abang ipar dan mertua?
mungkin sebagian orang awam masih terlihat kaku dengan budaya “berjabat tangan” termasuk saya tapi setelah membaca artikel ini saya menjadi paham mengapa harus bersikap seperti itu. Semoga kedepannya saya menjadi lebih baik. terima kasih
jazakillah ahsanal jaza’…
artikel yang bagus…
ditunggu artikel2 berikutnya dari pengelola web ini..
indahnya kalo kita saling bersalaman, karena akan memperbanyak sodara dan akan mengurangi permusuhan di antara Qt.semuga di negri kita tercinta ini masih banyak orang – orang yang menyebarkan salam. amien…..
muh_ariansyah –> indahnya kalo kita saling bersalaman, karena akan memperbanyak sodara dan akan mengurangi permusuhan di antara Qt
Indah atau tidaknya sesuatu itu harus dilihat dari kaca mata syariat dan bukan berdasarkan perasaan kita (istihsan = menganggap sesuatu itu baik). Dan apa jaminannya bhw banyaknya orang bersalaman maka akan memperbanyak sodara dan mengurangi permusuhan?
muh_ariansyah –> semuga di negri kita tercinta ini masih banyak orang – orang yang menyebarkan salam. amien?..
Amin. Karena menyebarkan salam adalah sunnah dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.
Semoga Allah ta’ala memberikan kemudahan bagi kita semua utk memahami dan mengamalkan agama-Nya yg mulia ini. Amin.
nice…
‘afwan,
akan lebih mudah dipahami oleh para pembaca apabila postingan ini dilengkapi dengan nasab dari keluarga kita (baik yang sudah menikah atau belum nikah) yang halal untuk disambut tangannya. (mahram kita).
jazakillah khair
Bisa di baca di artikel berikut: http://www.almanhaj.or.id/content/83/slash/0
ASSALAMUALAIKUM,
AFAWAN,ANA SEORANG MAHASISWA,&TERTARIK SERTA INGIN MENDALAMI ISLAM…ANA MEMBUTUHKAN INFO TENTANG CARA2 MENDAPATKAN BUKU2 BACAAN ISLAMI DGN GRATIS,,,,CRNYA BGAIMANA?
MUHAMMAD AMMAR
1st November 2008 pukul 6:56 pm
ASSALAMUALAIKUM,
AFAWAN,ANA SEORANG MAHASISWA,&TERTARIK SERTA INGIN MENDALAMI ISLAM?ANA MEMBUTUHKAN INFO TENTANG CARA2 MENDAPATKAN BUKU2 BACAAN ISLAMI DGN GRATIS,,,,CRNYA BGAIMANA?
___________________________________________
wa’alaikumussalam wa rahmatullah..
jer basuki mowo beyo akhi..
kalau mw buku gratis ya..
cari aja toko bukunya,
trus…
sabar aja mbaca di toko buku itu selama kita mampu…
^_^”
semoga Allah merahmati akhuna ini…
Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, misalnya berjabat tangan dengan lawan jenis, hukumnya apa? makruh? mubah? haram?
terima kasih
coba minta ke yayasan al sofwa…
Assalaamu’alaikum..
Dari dalil-dalil artikel di atas sudah jelas bahwa Rasulullah TIDAK PERNAH berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahromnya. Daripada mengira-ngira haram atau makruh? Lebih baik jangan mempertaruhkan diri kita dengan yang BERPOTENSI dosa. Jangan kita bermazhab pada yang lain selain Rasulullah.. Ikut yang pasti-pasti aja deh kalo mau masuk surga (kalo mau ikut minum dari telaganya Rasulullah, ya pastinya ikuti beliau..)
Wallahu a’lam
Kepada Princesse De La Nuit, semoga Allah melimpahkan taufik saya dan anda
Berjabat tangan dengan lawan jenis bukan hanya tidak dilakukan oleh Rasulullah, namun juga DILARANG oleh Rasulullah. Coba baca kembali artikel di atas dengan cermat.
jadi kalo kita bersalaman dengan yang bukan mahram kita hukumnya haram kan?
bagaiman dengan seorang murid smp seperti saya bersalaman dengan guru laki laki yang mengajar saya?
smw tergantung dari niat hati kita…
karena mau atau tidak mau, kita hidup dtengah masyarakat dengan berbagai budaya n latar belakang.
jangan hanya karen ahukum berjabt tangan, justru kita menjadi “orang asing baru” dlingkungan(keluarga,family, masyarakat) kita.
karena dalam hidup sosial kita memakai 3 hukum.
hukum islam
hukum adat
dan hukum negara.
brjabat tangan sama ja dgn menatap.
bisa zina bisa ngga’…tergantung bgmn kita meyikapinya…
jangan pernah merasa kita menjadi
“orang yang selamat”
krn orang lain berbeda pendaat dengan kita
Demi Allah…… maling, perampok, pelacur sekalipun ingin dirinya selamat
wallahua’lam.
Bismillah,
@eva
Ukhti, Larangan bersalaman dengan lawan jenis yang BUKAN mahram sudah jelas. Dan tidak ada bantahan maupun sanggahan lagi, seharusnya. Namun, jika ukhti masih belum mengerti batasan mahram, siapa saja yang menjadi mahram bagi perempuan, maka perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” [QS. an-Nuur:31]
atau ukhti bisa melihat penjelasan berikut ini:
http://bintumuhamad.blogspot.com/2009/02/definisi-mahrom-dan-macam-macamnya.html
http://bintumuhamad.blogspot.com/2009/02/yang-dianggap-mahrom-padahal-bukan-dan.html
Kesimpulannya: Haram hukumnya bersentuhan dengan yang bukan mahram sekalipun diantara keduanya diberi hijab (penghalang), semisal pakaian, kain, sarung tangan, dan sejenisnya.
Wallahu Ta’ala a’lam.
@caing
Ana tidak menafikan bahwa segala amal perbuatan manusia itu akan dihisab dan diperhitungkan sesuai dengan niatnya. Hal ini diperkuat dengan sebuah riwayat dari Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anha, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan seseorang akan memperoleh (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (I/9) dan Muslim (no. 1907)
Akan tetapi, antum juga harus melihat maksud hadits ini secara tafshil (terperinci). Niat merupakan suatu keharusan dalam suatu perbuatan. (Lebih jelas tentang niat – antum bisa merujuk kepada kitab Syarh Riyadhus Shalihin Imam an-Nawawi yang telah ditakhrij dan ditahqiq oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzahullah, Penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’i Jilid 1 Bab 1 Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Semua Perbuatan Dan Ucapan; Baik Yang Terang-Terangan Maupun Yang Sembunyi-Sembunyi)
Antum juga mengatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang shalih, ada juga yang munafiq, fasiq, zindiq, dan kafir. Itu betul. Tapi apakah antum kemudian berpikir bahwa kenyataan itu hanya terjadi pada zaman kita sekarang ini? Dan tidak terjadi pada zaman para Shahabat, sehingga antum mulai menganggap bahwa hukum ini tidak cocok dengan keadaan pada zaman sekarang.
Antum juga mengatakan bahwa berjabat tangan sama halnya dengan menatap, bisa zina bisa tidak, tergantung bagaimana kita menyikapinya…???
Apa maksud antum dengan ‘kita’? Apakah antum berbicara kepada ahlul ahwa’ atau ahlul ‘ilm? Kepada siapa antum merujuk pendapat di atas? Karena tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hal demikian.
Antum mengatakan “jangan pernah merasa kita menjadi
?orang yang selamat? karena orang lain berbeda pendapat dengan kita…”
Ketahuilah, ini bukan pendapat melainkan ini HUKUM yang telah jelas dan tegas disabdakan oleh al-Mudzakir Rasulullah ‘alaish sholatu wa sallam.
Antum juga mengatakan bahwa maling, perampok, pelacur, koruptor bahkan pembunuh dan kaum kafirin yang telah jelas-jelas menyekutukan Allah sekalipun ingin dirinya selamat. Itu betul. Sangat betul. Tapi perlu antum ketahui juga, bahwa keinginan mereka untuk selamat itu tidak didukung oleh ilmu dan amal.
Allah Jalla Dzikruhu berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [QS. ar-Ra’d:11]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
“Tidak ada seorang pun di antara kamu, tidak ada jiwa yang diciptakan, kecuali telah ditulis tempatnya di surga atau neraka, kecuali telah ditulis celaka atau bahagia.’ Seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita berserah diri saja atas catatan kita dan meninggalkan amal? Karena barangsiapa di antara kita yang termasuk ahli kebahagiaan, maka ia akan mengerjakan amal ahli kebahagiaan. Sedangkan, orang yang termasuk ahli celaka, maka akan mengerjakan perbuatan orang-orang yang celaka?’ Beliau bersabda, ‘Jangan, beramallah, karena masing-masing akan dimudahkan kepada sesuatu yang untuk itu ia diciptakan. [Hadits riwayat Bukhari 6/86]
Kesimpulan: Iman itu tidak cukup hanya dibetikkan dalam hati, iman juga harus dilafadzkan oleh lisan dan dinyatakan oleh amal. Jika antum adalah orang yang beriman kepada Allah Jalla wa ‘Ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka antum akan memegang teguh perintah Allah Ta’ala berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. an-Nisa’:59]
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.” [QS. al-Hasyr:7]
Berhati-hatilah terhadap apa yang antum katakan. Karena antum akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang antum katakan. Allah Maha Mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya.
Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.
apakah akhwat dan ikhwan boleh berjabat tangan ???
jangan sampai qt mjd orang2 yang nyaman di “zona aman” krn boleh jadi hal itu akan menjerumuskan qt dalam kesesatan..SALAm DAHSYAT…
bukan begitu Caing, berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram hukumnya haram. Kalau pingin aman akhiratnya ya harus menerima resiko ketika di dunianya. Karena tujuan hidup seorang yg tlah menyatakan dirinya berserah diri kepada Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi secara lahir dan batin harus mendahulukan hukum Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung di atas hukum lainnya. Adapun hukum adat dan hukum negara kita lakukan selama tidak bermaksiat kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Kalau sudah terlanjur berjabat tangan bahkan lebih dari itu akuilah bahwa itu DOSA. Ingatlah bahwa seandainya Allah menyiksa kita maka tidak ada seorangpun yang sanggup menolong kita dan seandainya Allah memasukkan kita ke surga maka tidak ada seseorangpun yang bisa menghalanginya. Tadaburilah surat ‘Abasa ayat Faidzaa jaa atishshookhoh yauma yafirrul mar u min akhiih, wa ummihi wa abiih, wa shaahibatihi wa banih, likullimri i minhum yaumaidzin sya’nu yughniih.
asslm ,bgimn klo kta mlihat ada tmn qt lwn jnis brjbt tangan? apkh kta harus mngingatkannnya? nmun sya sring ragu untuk mngingatkan , krna sy tkut di cap sok sama orang lain. pdhl sy jga tw bhw membenarkan agama Allah itu suatu kewajiban…….. sy hruz gmn
# ukhtimu wulan
cinta kepada saudara karena ALLOH, salah satu caranya adalah dengan memperingatkannya ketika dia salah. peringatkanlah dia. dengan cara yang lembut , santun, dan hikmah, tentunya.
katakan pula padanya, “Ini saya lakukan karena saya mencintaimu karena ALLOH….”
ini akan menjadi polimik bagi saya..sebagai seorang guru tentu akan menanamkan sifat santun pada siswa.apalagi bila ada siswa yang mau salam dan mincium tangan saya sebagai tanda hormadnya pada saya…gimana coba caranya saya menolaknya…
Aslm..Bu Guru(Citra Andevi)..
Afwan..
Skedar curhatan..
saya baru saja istiqomah tuk tdk brjabt tangan dengan bpk2 gru di skolah.. Sebelumnya,, mulai sosialisasi slama 1 bln saat ramadan thn lalu.. kmdian, berhenti melakukannya krn nampaknya ada beberapa gru yg krg stuju . . slain itu,, saya bertekat tuk slalu membekali diri dengan ilmu syar’i dan tak lupa memohon ptunjuk juga klapangan dengan niat saya..
Seiring berjalan waktu,,hidayah itu dimulai dengan sswt yg mngganjal dlm haty ktk mulai bersalaman khususnya dg (bpk-bpk guru yang saya hormati dan sayangi seperti orang tua saya sendiri)..
Kmudian byk hal yang terjadi stlh 1 thn berlalu,, Alloh memberi jalan-Nya kpada saya..
Saya insya Alloh bertekat tuk istiqomah kembali dan Alhamdulillah , guru-guru saya sdh mulai mengerti saya..
Mungkin hal ini memang tida berhenti sampai di siny saja.. Tp,, saya akn blajar dan mengambil hikmah dari semua yang saya lakukan..
Barokallohu fik..
Semoga kita termasuk hamba-hamba Alloh yang dirahmati oleh hidayah dan Karunia-Nya..
Dan pada Bulan yang penuh Berkah dlm semua sisi kebaikan ini,, menjadikan bulan ramadan sebagai SYAHRUL MUHASAHBAH ( BULAN EVALUASI )..
untuk lebih baik,, lebih baik,, dan insya Alloh lebih baik lagi.. Amiiin,,
Bu Citra,, saya punya cerita lagy..
ketika saya masih smp ada seorang IBU guru yang tidak berjabat tngan dengan siswa laki-laki..
Bagaimana bisa ??
Tentu dengan sosialisasi terlebih dahulu..
Guru saya itu menjelaskan sedikit tentang prinsip untuk tidak brjbat tngan dg lawan jenis kepada anak-anak didiknya ketika ada waktu luang disela-sela belajar..
mungkin ibu bisa melakukannya jika berkenan..
salam dengan yang bukan mahram dan lebih tua tanpa harus berjabat tangan dapat dilakukan dengan tetap menunjukan rasa hormat kita..
Salam dengan menangkupkan kedua tangan disertai senyum dan mengucapkan salam yang mengandung do’a..
Saya merasa itu lebih baik,, selain menghindari hal yang makruh ataupun sampai ke haram..
Juga lebih baik dibandingkan hanya sekedar menyentuh tangan tanpa faedah yang lebih kuat dibandingkan mengikuti Rasululloh shallallahu ?alaihi wa sallam.
Alasan lainny,,
1.Printah agama
2.Agar haty lebih selamat dari sgala rasa bersalah,dll
3.Tidak melanggar norma hukum negara/penguasa
4.masih dapat disosialisasikan di dalam norma sosial
5.menunjukkan kemuliaan islam dlm mengatur segala sesuatu dari mulai hal yang kecil..
Namun semua kembali kepada diri kita masing-masing,,
untuk segera menentukan niat kita yang mengantar pada kebaikan insya Alloh.
Allahu a?lam?
wassalammu’alaykum.wr.wb.
terimakasih banyak…
sungguh bagus dan membantu…
saya ijin copy yg bagian berjabat tangan dengan lawan jenis….
assalamualaikum…
saya tertarik dengan topik jabat tangan….
hal ini akan menambah ukhuwah islamiyah kita….
asalkan dilakukan dengan benar.
namun saya masih bingung dengan jabat tangan sehabis sholat.
kadang saya melihat ada orang yang tidak mau diajak berjabat tangan setelah sholat.
namun ada orang yang berjabat tangan setelah sholat.
bagaimana dengan hal ini???
mohon penjelasannya??
setiap orang punya pandangan sendiri2 tentang hal ini…kalo menurut saya itu semua tergantung kita lebih nyaman mengikuti mazhab yamg mana…toh semua nya punya dasar dan alasan yang jelas….
patut diperhatikan: ulama2 yang membolehkan/memakruhkan jabat tangan dengan non mahram, jika hal tsb dilakukan dengan ORANG TUA/LANJUT USIA, bukan orang muda, dan jika itu aman dari munculnya fitnah dan syahwat. Jika tiga syarat ini: ORANG TUA/LANJUT USIA, aman dari fitnah dan syahwat tidak terpenuhi, maka jelas gugurlah kebolehan/kemakruhannya, alias menjadi haram.
Hal ini penting untuk diperhatikan, agar kita tidak sepotong2 dalam mengambil pendapat ulama, padahal ternyata yang diambil tsb hanya sebagian saja, belum lengkap.
Dan sebaik2 teladan adalah Rasulullah, yang tidak pernah bersalaman dengan wanita non mahram. Jika kita tidak mau mencontoh Rasulullah, kita mau ikut siapa? Coba jawab…
Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokaatuh,,
berjabat tangan dengan saudara laki2 kandung ibu (paman) bagi anak perempuan kandung si ibu hukumnya boleh kan ya ? Masih mahrom bagi si anak bukan ?
maklum ni masih rada bingung.. ^^
boleh….
untuk mudahnya…untuk garis keturunan vertikal…maka itu adalah mahrom…
misalnya anda dengan ibu dan saudara laki-laki ibu, kakek (bapaknya ibu) itu adalah mahrom.
sedangkan untuk garis keturunan horisontal…misalnya sepupu anda, itu bukan mahrom.
Assalamu’alaikum…
syukran ukhti,,sangat membantu.
ana mw nnya,berjabat tangan dengan seorang yang lebih tua dari kita itu hukumnya gimana y..?(misal berjabat tangan dengan seorang akhwat yang lebih tua 4 tahun dari kita.)
kalau berjabat tangan dengan seorang ibu ataupun nenek gimana y hukumnya..?
Wassalamu’alaikum
terima kasih sekolah kami menghimbau para siswa untuk tidak mencium tangan guru yang berlawanan jenis karena bkan muhrim, ada beberapa teman guru yang tidak setuju bahkan mengancam tidak mau melatih dan membimbing siswa dengan alasan tidak bisa tidak bersentuhan dengan siswa perempuan.
soal jabat tangan ini menjadi demikian rumit , padahal kami cuma ingin mencoba supaya terhindar dari dosa, aduh bagaiman jalan yang terbaik bagi kami dan anak-anak
@ Karnah
Perlu Ibu ketahui masalah ini tidak serumit yang kita bayangkan. Berjabat tangan dengan non mahram itu malah membuahkan dosa bukan melebur dosa. Kalau hendak memaafkan orang lain tidak diharuskan berjabat tangan apalagi dengan non mahram. Peelu kami sampaikan poin penting:
1. Jabat tangan dengan non mahram hukumnya haram
2. Mencium tangan tentu saja haram bagi mereka yg berlainan jenis (misalnya murid perempuan mencium tangan guru laki-laki). Adapun bila sesama jenis (murid laki-laki dengan guru laki-laki dan murid perempuan dengan guru perempuan) maka hukumnya boleh asal tidak dijadikan kebiasaan. Silakan baca ulasan tentang hal ini diartikel berikut: http://ustadzaris.com/hukum-mencium-tangan-dan-membungkukkan-badan
jadi bersalaman dengan lawan jenis hukumnyaa haram ?
tapi itu kan artinya memutuskan tali silahturahmi .
@ Ike
Jabat tangan yang dianjurkan dalam islam adalah jabat tangan sesama jenis. Adapun jabat tangan berlainan jenis dengan yang bukan mahram hukumnya haram. Tali silarahmi tidak selalu disambung dengan jabat tangan. Bisa dengan ucapan salam, pemberian hadiah dan yang lainnya.
Maaf, saya hny ingin btanya & memastikan, dari artikel di atas, bagian yg manakah yg menjadi dalil yg tegas bahwa berjabat tangan dgn non-mahram hukumnya (mutlak) haram ? Karena entah mgpa sy merasa msh blum menemukannya dlm artikel tsb.
Syukron atas jawabannya.
@ Anglingz
Saudariku yang kami hormati,
Kami berharap Anda kembali membaca seksama artikel diatas. Banyak kalimat poin penting yang telah kami cetak tebal yang menjelaskan larangan berjabat tangan atapun menyentuh lawan jenis yang bukan mahram. Contoh hadits yang melarang tegas berjaat tangan dengan non mahram adalah
????? ???????? ??? ?????? ?????? ?????????? ???? ???????? ?????? ???? ???? ????? ??????? ????????? ??? ??????? ????
“Seseorang ditusuk kepalanya dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (hadis ini dinilai shahih oleh Al Albani dlm Ash shahihah)
subhanalloh, saya akan mencoba untuk tidak bersalaman dengan lawan jenis…
Trima kasih atas artikelnya..Semoga bermanfaat!
asss…..
lahg kalo berjabat tangan antara guru dengan murid ..?
……
@ Aan
Jabat tangan guru dan murid apabila sudah sama-sama baligh tentunya haram bagi keduanya.
izin copast..
sya mau tanya nch……
klo saudara sepupu atau anak bibi itu boleh tidak bejabat tangan….
@imam sepupu bukan mahrom. Jadi tidak boleh berjabat tangan. Sedangkan dengan bibi anda, adalah mahrom. Maka tidak mengapa berjabat tangan dengan bibi anda yang merupakan saudara kandung ayah anda atau ibu anda. Sedangkan bibi karena sebab perkawinan paman (saudara kandung ayah/ibu) bukan mahrom, jadi tidak boleh berjabat tangan. Wallahu a’lam.
@muslimah.or.id : Afwan..Bagaimana dengan mantan mertua? apakah boleh berjabat tangan??
Jazakumullahu khairan..
Assalammualaikum.. saya mau bertanya.. apa hukum nya orang yg menolak jabat tangan? padahal sama2 muslim dan sama2 wanita. Hal ini pernah saya alami. Saya merasa sedih sekali saat saya sudah memberikan kedua tangan saya untuk bersalaman tapi yg bersangkutan tidak mau bersalaman dengan saya. Saya mohon penjelasan nya, terima kasi sebelum nya, Wassalam
@Indri yanti, Wa’alaikumussalam, Rasulullah memerintahkan untuk saling bersalaman ketika bertemu maka menolak bersalaman adalah menyelisihi sunnah Rasul dan juga merupakan sikap menyakiti hati sesama Muslim.
saya mau tanya..kalau misalnya ada tata cara berwudhu untuk pengambilan nilai namun guru nya laki2 apakah boleh ia melihat aurat kita?
@karin, mintalah dengan sopan agar dinilai oleh guru perempuan karena itu tuntutan agama
To the points aja, bagaimana hukumnya jika berjabat tangan dengan adik sepupu? Ayo kakak sepupu yg SDH baligh?
Trimksh.
Sepupu bukan mahram, tidak boleh berjabat tangan
Assalamu’alaykum
Bagaimana dengan anak yang sudah baligh ,bolehkah bersalaman dengan istri nya ayah (bukan ibu kandung) ?
Wa’alaikumussalam, boleh, karena istrinya ayah atau ibu tiri itu mahram.
Assalamu’alaikum
Bagaimana dengan temen yg seumuran (cmn beda tanggal & bulan lahir), Apakah harus Salim seperti orang tua dan anak atau hanya bersalaman?
Wa’alaikumussalam, tidak perlu cium tangan.
Afwan mau tanya, bagaimana hukumnya menolak jabat tangan dengan lawan jenis dan menggantinya dengan menggabungkan kedua telapak tangan di dada?
Syukron, Jazakumullah Khairan.
Boleh