Shalat secara bahasa artinya: do’a. Maka ketika shalat ada tempat-tempat yang disyariatkan untuk berdoa ketika itu. Sehingga berdoa di dalam shalat itu baik dan disyariatkan. Namun yang menjadi masalah adalah ketika seseorang berdoa di dalam shalat dengan selain bahasa Arab, apakah ini diperbolehkan?
Di dalam shalat tidak boleh berbicara
Asalnya, di dalam shalat tidak diperbolehkan berbicara. Karena isi shalat adalah dzikir kepada Allah. Dari Mu’awiyah bin Al Hakam radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ هذِه الصَّلَاةَ لا يَصْلُحُ فِيهَا شيءٌ مِن كَلَامِ النَّاسِ، إنَّما هو التَّسْبِيحُ والتَّكْبِيرُ وقِرَاءَةُ القُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak diperbolehkan sedikitpun terdapat pembicaraan layaknya sesama manusia. Isi dari shalat adalah tasbih, takbir, dan membaca Al Qur’an” (HR. Muslim no. 537).
An Nawawi rahimahullah mengatakan:
فِيهِ : تَحْرِيمُ الْكَلَامِ فِي الصَّلَاةِ ، سَوَاءٌ كَانَ لِحَاجَةٍ أَوْ غَيْرِهَا ، وَسَوَاءٌ كَانَ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ أَوْ غَيْرِهَا ، فَإِنِ احْتَاجَ إِلَى تَنْبِيهٍ أَوْ إِذْنٍ لِدَاخِلٍ وَنَحْوِهِ سَبَّحَ إِنْ كَانَ رَجُلًا ، وَصَفَّقَتْ إِنْ كَانَتِ امْرَأَةً ، هَذَا مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَالْجُمْهُورِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ .وَقَالَ طَائِفَةٌ مِنْهُمُ الْأَوْزَاعِيُّ : يَجُوزُ الْكَلَامُ لِمَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ وَلِحَدِيثِ ذِي الْيَدَيْنِ
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa berbicara ketika shalat itu diharamkan. Baik karena suatu kebutuhan atau tanpa kebutuhan. Baik untuk kemaslahatan shalat ataupun untuk kemaslahatan yang lain. Jika ingin mengingatkan imam atau mengizinkan orang lain untuk masuk, maka dengan cara mengucapkan tasbih untuk laki-laki. Dan dengan cara menepuk tangan bagi wanita. Inilah madzhab kami (Syafi’i) dan madzhab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah radhiallahu’anhum. Dan juga pendapat jumhur salaf dan khalaf.
Sebagian ulama, diantaranya al Auza’i, mereka mengatakan: dibolehkan berbicara (dalam shalat) jika untuk kemaslahatan shalat, berdasarkan hadits Dzul Yadain” (Syarah Shahih Muslim, 5/21).
Berdoa dalam shalat dengan do’a yang ghayru ma’tsur
Sebelum membahas berdoa dengan selain bahasa Arab, perlu kita pahami dulu masalah berdoa dalam shalat dengan doa yang ghayru ma’tsur. Doa yang ghayru ma’tsur artinya adalah doa yang bukan berasal dari Al Qur’an ataupun hadits. Semisal mengatakan,
اللهم اقضي ديني
“Ya Allah bantu aku melunasi hutangku”
ربي أعني في الإمتحان غدا
“Ya Rabb, tolonglah aku dalam ujian besok hari”
Atau semisalnya. Apakah boleh dibaca di dalam shalat? Ataukah hanya doa-doa yang ma’tsur yang dibolehkan dibaca di dalam shalat?
Jawabnya, ulama 4 madzhab sepakat bahwa doa permintaan di dalam shalat tidak harus berupa doa yang berasal dari al Qur’an dan as Sunnah. Darul Ifta’ al Mishriyyah mengatakan:
اتفقت المذاهب الفقهية المتبوعة -فيما هو المعتمد عندهم- على أنه لا يشترط في الصلاة الالتزامُ بنصوص الدعاء الواردة في الكتاب والسنة
“Ulama 4 madzhab yang pendapatnya diikuti sepakat bahwa tidak dipersyaratkan terikat pada doa-doa yang berasal dari al Qur’an dan as Sunnah dalam shalat” (Darul Ifta’ al Mishriyyah, Fatawa Bahtsiyyah nomor 82).
Diantara dalilnya adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, tentang Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan doa tasyahud, kemudian beliau bersabda:
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ المَسْأَلَةِ ما شَاءَ
“Setelah itu (setelah tasyahud), silakan berdoa meminta kepada Allah apa saja yang ia inginkan” (HR. Muslim no. 402).
Dalam riwayat lain:
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أعْجَبَهُ إلَيْهِ، فَيَدْعُو
“Setelah itu (setelah tasyahud), silakan berdoa meminta kepada Allah dengan doa yang ia senangi, berdoalah dengannya!” (HR. Bukhari no.835, Muslim no. 402).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan hadits ini:
والأحاديث في هذا المعنى كثيرة ، وهي تدل على شرعية الدعاء في هذه المواضع بما أحبه المسلم من الدعاء سواء كان يتعلق بالآخرة أو يتعلق بمصالحه الدنيوية ، بشرط ألا يكون في دعائه إثم ولا قطيعة رحم ، والأفضل أن يكثر من الدعاء المأثور عن النبي صلى الله عليه وسلم
“Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan doa di waktu tersebut dengan doa-doa yang diinginkan, baik terkait masalah akhirat maupun kemaslahatan duniawi. Dengan syarat, doanya tidak mengandung pemutusan silaturahmi. Namun yang lebih utama adalah memperbanyak doa-doa yang ma’tsur dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 11/172).
Sebagaimana beliau sebutkan, walaupun boleh berdoa dengan doa yang ghayru ma’tsur, namun doa-doa yang berasal dari Al Qur’an atau As Sunnah itu lebih utama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
وينبغي للخلق أنْ يدْعوا بالأدعية الشرعيَّة التي جاء بها الكتاب والسنة ؛ فإنَّ ذلك لا ريب في فضله وحُسنه وأنَّه الصراط المستقيم
“Sebaiknya seseorang berdoa dengan doa-doa yang syar’i yang terdapat dalam Al Kitab dan As Sunnah. Karena sudah tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebagusannya. Dan bahwa doa-doa tersebut merupakan jalan yang lurus” (Majmu’ Al Fatawa, 1/346)…
Bersambung insyaallaah..
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id