Berdoa dengan selain bahasa Arab
Setelah kita mengetahui bolehnya berdoa dengan doa yang ghayru ma’tsur, maka masalah selanjutnya adalah apakah boleh doa yang ghayru ma’tsur, tersebut diucapkan dalam bahasa selain Arab? Dan juga, bolehkah doa yang ma’tsur diucapkan dengan bahasa selain Arab?
Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (11/172):
“Yang dinukil dari ulama Hanafiyyah tentang doa dengan selain bahasa Arab: mereka mengatakan hukumnya makruh. Karena Umar radhiallahu’anhu melarang rithanatul a’ajim (رطانة الأعاجم). Sedangkan makna ar rithanah dalam Al Qamus Al Muhith artinya adalah: perkataan ajam (orang non Arab).
Kesimpulannya: berdoa dengan selain bahasa Arab termasuk khilaful aula, dan hukum makruh di sini maksudnya adalah makruh tanzih. Dan bisa kita katakan bahwa (menurut Hanafiyah) berdoa dengan bahasa Ajam (non Arab) itu makruh tahrim di dalam shalat, namun makruh tanzih jika di luar shalat.
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa berdoa dengan bahasa selain Arab adalah haram, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abidin dari Al Qarafi. Dengan alasan, perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang meniadakan ta’zhim (pengagungan kepada Allah). Namun Al Laqqani memberi catatan terhadap perkataan Al Qarafi tersebut, bahwa perkataan ‘ajam yang haram adalah yang majhulatul madlul (tidak diketahui maknanya dalam bahasa Arab). Sebab, itulah yang bisa meniadakan keagungan rububiyah Allah. Adapun bahasa ‘Ajam yang diketahui maknanya maka tidak mengapa digunakan secara mutlak di dalam shalat maupun di luar shalat. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
“Dan (Allah) mengajarkan semua nama-nama kepada Adam” (QS. Al Baqarah: 31).
Juga firman Allah ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ
“Dan tidaklah kami utus para Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya” (QS. Ibrahim: 4).
Ini juga pernyataan yang ditegaskan oleh Ad Dasuqi.
Adapun ulama Syafi’iyyah, mereka merinci. Doa di dalam shalat, ada yang ma’tsur (terdapat dalam dalil) dan ada yang ghayru ma’tsur (tidak terdapat dalam dalil). Adapun doa yang ma’tsur, ada 3 pendapat:
– Pendapat yang paling shahih (dalam madzhab Syafi’i) dan ini juga pendapat madzhab Hambali, bahwa boleh berdoa dengan selain bahasa Arab bagi yang tidak mampu berbahasa Arab. Namun tidak boleh bagi orang yang bisa bahasa Arab, jika ia melakukannya maka shalatnya batal.
– Pendapat kedua, boleh secara mutlak bagi orang yang bisa bahasa Arab maupun tidak bisa.
– Pendapat ketiga, tidak boleh secara mutlak bagi orang yang bisa bahasa Arab maupun tidak bisa, karena berdoa dalam shalat bukan perkara darurat.
Sedangkan doa yang ghayru ma’tsur, maka tidak boleh merangkainya dan melakukannya dengan bahasa selain Arab, ini salah satu pendapat” [selesai].
Ringkasnya, untuk doa yang ma’tsur, bisa dikelompokkan menjadi dua pendapat:
– Pendapat pertama: tidak boleh diucapkan dengan bahasa selain Arab menurut ulama Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah, dan tidak boleh bagi orang yang bisa bahasa Arab menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
– Pendapat kedua: Boleh diucapkan dengan bahasa selain Arab menurut sebagian ulama Malikiyyah jika maknanya jelas, dan boleh bagi orang yang tidak bisa bahasa Arab menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan doa yang ghayru ma’tsur, juga bisa dikelompokkan menjadi dua pendapat:
– Pendapat pertama: tidak boleh berdoa dengan bahasa selain Arab menurut ulama Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah.
– Pendapat kedua: boleh berdoa dengan bahasa selain Arab menurut sebagian ulama Malikiyyah jika maknanya jelas.
Pendapat yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan:
والدعاء يجوز بالعربية ، وبغير العربية ، والله سبحانه يعلم قصد الداعي ومراده ، وإن لم يقوِّم لسانه ، فإنَّه يعلم ضجيج الأصوات ، باختلاف اللغات على تنوع الحاجات
“Berdoa itu boleh dengan bahasa Arab juga boleh dengan selain bahasa Arab. Allah Subhaanahu mengetahui maksud dari orang yang berdoa dan mengetahui apa keinginannya, walaupun ia tidak bisa mengucapkan dengan baik. Allah mengetahui suara-suara yang tidak fasih, dengan berbagai macam bahasa mereka dan berbagai macam keinginan mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 22/488 – 489).
Syaikh Shalih al Fauzan hafizhahullah ketika ditanya, “bolehkan berdoa dengan bahasa selain Arab ketika sujud atau di posisi shalat yang lainnya?”. Beliau menjawab: “Di dalam shalat tidak boleh berbicara dengan bahasa selain Arab. Maka tidak boleh berdoa dengan bahasa selain Arab, kecuali orang yang tidak bisa bahasa Arab. Orang yang tidak bisa bahasa Arab maka ia boleh berdoa dengan bahasanya. Adapun orang yang bisa bahasa Arab maka tidak boleh ia berdoa dengan selain bahasa Arab” (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=QNwZWJk-Rxk).
Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithi rahimahullah menjelaskan,
“Mengenai doa dalam shalat, sebagian ulama menganggapnya bagian dari dzikir yang tidak boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam dan juga tidak boleh meminta yang terkait urusan dunia. Ini salah satu pendapat ulama. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa doa itu longgar perkaranya. Dan boleh mengucapkannya dengan bahasa selain Arab, sebagaimana ia boleh diucapkan dengan bahasa Arab. Inilah pendapat yang shahih.
Karena Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ المَسْأَلَةِ ما شَاءَ
“Setelah itu (setelah tasyahud), silakan berdoa meminta kepada Allah apa saja yang ia inginkan” (HR. Muslim no. 402).
Dan beliau tidak membatasi doa di sini dengan doa tertentu dan tidak mewajibkan jenis dzikir tertentu. Maka ini menunjukkan boleh berdoa apa saja dengan bahasa Arab ataupun dengan bahasa lainnya.
Namun jika seseorang bisa bahasa Arab, hendaknya ia berdoa dengan bahasa Arab. Adapun jika seseorang tidak bisa bahasa Arab, maka ia boleh berdoa dengan selain bahasa Arab.
Sebagaimana orang yang thawaf di Baitullah, ia boleh berdoa dengan selain bahasa Arab. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
الطوافُ بالبيتِ صلاةٌ
“Thawaf di Baitullah itu seperti shalat” (HR. Ibnu Hibban no. 3836, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil no.121).
Maka dibolehkan berdoa dengan selain bahasa Arab. Demikian juga dibolehkan berdoa meminta hajat-hajat duniawi. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih bahwa Nabi ketika thawaf berdoa:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
“Wahai Rabb kami, berikanlah kebaikan dunia pada kami”.
Sebagian ulama menjelaskan, hasanah di sini dalam bentuk nakirah, sehingga mencakup semua kebaikan dunia.
Demikian juga di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah:
وَأَصْلِحْ لي دُنْيَايَ الَّتي فِيهَا معاشِي
“Ya Allah jadikan kehidupan dunia kami baik, karena itulah tempat kami hidup” (HR. Muslim no. 2720).
Maka disyariatkan seseorang berdoa dalam shalatnya, walaupun meminta hajat-hajat duniawi. Demikian juga dikuatkan lagi dengan shalat istikharah. Karena dalam shalat istikharah, seseorang minta kepada Allah tentang urusan dunia.
Oleh karena itu, maka tidak mengapa seseorang dalam shalatnya berdoa dengan bahasa selain Arab dan tidak mengapa ia meminta terkait hajat-hajat duniawi.
Wallahu ta’ala a’lam” (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=3gKRr3FBzGQ).
Inilah pendapat yang nampaknya lebih kuat dari sisi dalil. Yaitu dibolehkan untuk berdoa dengan bahasa selain Arab di dalam shalat, terutama bagi yang tidak bisa bahasa Arab. Adapun bagi yang bisa bahasa Arab, lebih utama bagi dia untuk berdoa dengan bahasa Arab.
Semoga Allah memberi taufik.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id