Pertanyaan:
Apakah ada kewajiban menyamakan pemberian nafkah dan pakaian bagi masing-masing istri?
Jawab:
Pendapat yang benar adalah riwayat dari Imam Ahmad yang mewajibkan melakukan sama dalam kasus seperti tersebut di atas. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah karena tidak memberikan perlakuan yang sama merupakan tindakan kezaliman yang menunaikan kewajiban. Setiap keadilan wajib dilakukan, lain halnya dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan oleh suami maka tidak ada kewajiban untuk bersikap adil dalam masalah bersenggama, bercumbu, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. (Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Muallafatis Sa’di, dikutip dari Fatawa liz Zaujain [terjemah], Media Hidayah, Yogyakarta, 2003, hlm.107-108)
Poligami akan dirasakan berkah dan dinaungi rahmat-Nya ketika kehidupan rumah tangga dilandasi kecintaan pada Allah Ta’ala serta mengikuti sunnah Nabi mulia. Faktor keadilan dalam perkara sandang, pangan, tempat tinggal, dan jadwal giliran harus diupayakan suami sehingga para istri merasa dipenuhi hak-haknya. Tentu saja semua ini disesuaikan dengan kemampuan suami. Suami yang bertakwa dan punya perasaan takut pada Allah Ta’ala, ia tidak akan meninggalkan kewajibannya kepada para istri dan anak-anaknya karena ia menempuh kewajiban besar dan mulia untuk menjaga, mengurus, membimbing, dan memberikan segala yang terbaik kepada istrinya agar rumah tangga sakinah, mawadah dan penuh rahmat-Nya.
Kehidupan poligami tak hanya identik dengan kebahagiaan dan keharmonisan, namun juga tanggung jawab di sisi-Nya, mampukah dengan ta’adud kualitas dan kuantitas iman dan takwa lebih meningkat. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan indah potret poligami yang mempesona. Meskipun beliau sangat mencintai Aisyah radhiyallahu ‘anha, namun beliau sangat perhatian dan selalu berupaya adil dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagi giliran di antara istri-istri beliau dengan adil, maka beliau pun berdoa :
??????????? ????? ???????? ??????? ???????? ????? ?????????? ??????? ???????? ????? ????????
“Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang ku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memiliki.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud (No. 2134), at-Tirmidzi No. 1140), Ibnu Majah (No. 1971), Ibnu Hibban (No 1305 – al-Mawarid), al-Hakim (II/187), al-Baihaqi (VII/298), dan Ibnu Abi Syaibah (No. 17713). Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil (No. 2018))
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 129 :
?????? ?????????????? ???? ??????????? ?????? ?????????? ?????? ?????????? ? ????? ??????????? ????? ????????? ????????????? ???????????????? ? ?????? ??????????? ???????????? ??????? ??????? ????? ????????? ?????????
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Muhammad bin Sirin mengatakan: “Aku bertanya kepada ‘Abidah tentang ayat ini, maka ia berkata: “Ini tentang rasa cinta dan jima’.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsir-nya, V/314)
Ibnu Qudamah berkata: “Kami tidak mengetahui adanya (perselisihan) antara para ulama bahwa tidak wajib pembagian rata antara istri-istri dalam jima’, namun jika seorang suami mampu untuk membagi rata dalam jima’ maka itulah yang terbaik dan lebih utama dan lebih sempurna dalam berbuat adil dan tidak wajib pula pembagian rata dalam perkara-perkara selain jima’ seperti ciuman, sentuhan (usapan), dan yang semisalnya, karena jika tidak wajib pembagian rata pada jima’ maka pada perkara-perkara yang mengantarkan kepada jima’ juga lebih tidak wajib.” Al-Mugni VII/234-235)
Kecintaan yang lebih besar kepada salah seorang istri terkadang sulit dihilangkan, lebih-lebih jika wanita itu memiliki kelebihan, seperti kecantikannya atau keshalihannya. Namun, diupayakan jangan terlalu dinampakkan dan diekspose sedemikian rupa sehingga membuat istri-istri lainnya terluka hatinya karena sering kali pertikaian dan konflik dalam rumah tangga berpoligami dipicu oleh perasaan cemburu karena suami atau istri tidak mampu berlaku adil.
Dan seorang istri perlu lebih qana’ah dan berbaik sangka pada suaminya karena kebutuhan rumah tangga di antara para madunya tentunya berbeda dan tidak bisa otomatis disamakan, baik karena perbedaan kebutuhan hidup, jumlah anak, dan berbagai hal yang sulit disamakan. Di sinilah, masing-masing istri hendaklah merasa ridha dan jangan terlalu menuntut suami menafkahinya melebihi kemampuannya, asalkan kebutuhan pokoknya terpenuhi sebagaimana standar keumuman.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi
- Fatawa liz Zaujain, Dakhilullah bin Bakhit al-Muthrafi, (Terjemah berjudul “Kepada Pasangan Suami Istri”), Media Hidayah, Yogyakarta, 2003.
- Suami Idaman Istri Pilihan, Abu ‘Abdil Muhsin Firanda, Pustaka Muslim, Yogyakarta.
Artikel Muslimah.or.id