Bismillah.
Saudariku, yang semoga Allah merahmati kalian di mana pun kalian berada. Pernahkah kalian mendengar pepatah, “Iri tanda tak mampu”? Ya, pepatah ini sudah sering kita dengar. Di mana anak kecil, yang melihat mainan temannya, dan kemudian ingin merebut mainan tersebut dari temannya. Di mana seorang wanita yang melihat tas baru tetangganya, dan merasa tetangga tersebut tak pantas menerimanya, dan dialah yang lebih pantas. Di mana seorang laki-laki melihat teman kerjanya naik pangkat, sedangkan dia masih dalam tetap keadaannya. Ia membenci itu, dan merasa teman kerjanya tak pantas, dan dialah yang lebih pantas mendapatkannya. Maka, ketahuilah wahai saudariku, ini termasuk hasad yang dilarang.
Ingatkah kalian akan Iblis yang enggan sujud kepada Nabi Adam ‘alaihi salam ketika diperintahkan oleh Allah? Iblis durhaka kepada Allah dikarenakan hasad yang ada pada dirinya. Ia tidak menerima kenyataan bahwa Adam yang tercipta dari tanah lebih mulia daripada Iblis yang tercipta dari api, demikian juga lantaran ilmu yang dimiliki Adam lebih tinggi. Ingatkah kalian kisah Habil dan Qabil, dua anak Nabi Adam ‘alaihi salam. Ketika Qabil membunuh Habil lantaran hasad yang ada pada dirinya. Ia tidak menerima kenyataan bahwa Habil dinikahkan dengan saudaranya yang lebih cantik jelita dibandingkan dengan wanita yang dinikahkan padanya? Lantaran hasad pun, Qabil tidak peduli dengan apa yang dikurbankannya kepada Allah. Ia mengurbankan hasil pertanian yang paling buruk. Sedangkan Habil mengurbankan hasil peternakan yang paling bagus. Kurban Habil pun diterima oleh Allah karena ketakwaan yang ada pada Habil. Karena itu pula, bertambahlah hasad Qabil, lantas ia membunuh Habil. Ya, itulah dampak hasad. Hasad yang tidak dibendung dapat mengantarkan kepada maksiat-maksiat selanjutnya yang lebih besar.
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Hasad (dengki) adalah dosa yang pertama kali dilakukan di langit dan di bumi. Di langit adalah dengkinya Iblis kepada Nabi Adam ‘alaihi salam dan di bumi adalah dengkinya Qabil kepada Habil.”
Definisi Hasad
Hasad artinya membenci datangnya nikmat Allah kepada orang lain. Jadi, hasad bukan hanya sekadar mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang lain. Bahkan, ia adalah ketidaksenangan seseorang terhadap nikmat yang Allah berikan kepada selainnya. Yang demikian ini adalah hasad, baik ia mengharapkan hilangnya nikmat itu atau tetap ada, tetapi ia membenci hal itu.
Pengertian ini sebagaimana yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu beliau berkata, “Hasad adalah kebencian seseorang terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain.” (Kitaabul ‘Ilmi, halaman 71)
Kebanyakan Manusia Tidak Selamat dari Hasad
Hampir seluruh manusia pernah terjangkiti hasad. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Maksudnya yaitu bahwasanya hasad adalah penyakit jiwa, dan ia adalah penyakit yang menguasai, tidak ada yang selamat darinya kecuali hanya segelintir orang. Karenanya dikatakan, “Tidak ada jasad yang selamat dari hasad, akan tetapi orang yang tercela menampakkannya dan orang yang mulia menyembunyikannya.” (Majmuu’ Al Fatawaa 10/125-126)
Kenapa hasad sulit dihindari? Ibnu Rajab Al Hanbali berkata, “Hasad tertanam di tabi’at manusia, yaitu manusia akan membenci jika ada seorangpun -yang sejenis dengannya (sesama manusia)- yang mengunggulinya dalam suatu keutamaan.” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hlm. 217)
Akan tetapi, lantas apakah kita harus pasrah dan mengikuti penyakit hasad yang merongrong dalam hati kita?
Terlarangnya Sifat Hasad
Allah ta’ala melarang seseorang mengharapkan segala apa yang Allah ta’ala lebihkan dan dermakan atas sebagian manusia dari sebagian yang lain.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
Untukmu yang Dirundung Hasad
Saudariku, ketahuilah. Jika ada seorang yang benci ketika Allah memberikan nikmat kepada sebagian hambaNya dan itu tidak diberikan kepada orang tersebut, maka ini adalah tanda dari lemahnya iman. Allah-lah Sang Pemberi Nikmat, dan Ia berhak memberi nikmat kepada sebagian hamba-Nya. Jika seseorang membencinya, itu tanda orang tersebut telah menentang takdir Allah.
Maka jika orang hasad menyadari dia menentang takdir Allah, maka keimanannya akan mendorongnya untuk meninggalkan hasad dan meminta pertolongan kepada Allah agar terjaga dari hasad. Orang yang beriman dengan takdir, dia tidak akan hasad, karena dia yakin bahwa apa yang Allah takdirkan itulah yang terbaik untuknya.
Orang yang hasad selalu dalam Al Hamm, yaitu kesusahan memikirkan sesuatu yang belum terjadi, dan Al Hazn yaitu kesusahan memikirkan sesuatu yang sudah terjadi. Maka orang yang hasad akan terjangkiti penyakit galau tidak bahagia. Padahal bahagia itulah yang dicari setiap orang. Dia memikirkan masa depan orang lain, memikirkan nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain. Dan hatinya sakit dengan bencana yang ternyata meleset kepada orang lain. Dan kebahagiaan tidak akan datang padanya hingga penyakit hasad tersebut hilang dari dirinya.
Beriman kepada Takdir Allah
Di antara kiat menghilangkan hasad adalah belajar tentang iman kepada takdir Allah, karena apabila seseorang kuat ilmunya terhadap takdir, maka akan bertambah keyakinannya. Jika seorang hamba meningkat kualitas keimanannya kepada takdir, maka tak masalah baginya jika saudaranya mendapatkan nikmat yang lebih besar dari pada dirinya, karena ia tahu bahwa semua itu dari Allah, dan itulah yang terbaik bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan: 2)
Allah-lah yang berhak memberikan nikmat kepada sebagian hamba-Nya, dan Allah tidaklah ditanya tentang apa yang Allah lakukan tapi manusialah yang akan ditanya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya: 23)
Allah memberi dengan keutamaan-Nya dan tidak memberi dengan keadilan-Nya. Yakin bahwasanya di setiap takdir Allah ada hikmah di baliknya yang tidak semua orang dapat mengetahuinya. Hingga ia akan sibuk dan terus memperbaiki diri dan menambah keimanan dirinya dengan ketaatan kepada Allah ta’ala. Dia berfirman yang artinya, “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf: 19)
Paksakan untuk Berbuat Baik kepada Orang yang Dihasadi
Adapun amal yang bermanfaat bagi orang yang hasad, adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan konsekuensi hasad. Paksa lidahnya untuk memuji orang yang dihasadi. Hendaklah dia paksa untuk tawadhu di hadapannya. Paksa dirinya untuk mengantarkan dan memberikan kebaikan kepada orang yang didengki. Paksakan untuk mendoakan mereka dengan kebaikan, terlebih dalam keadaan rahasia. Yakinlah bahwasanya Allah mendengar doamu, dan malaikat juga ikut mendoakan hal semisal untukmu. Maka ketika orang yang didengki mengetahuinya, maka hatinya pun akan nyaman, dan bahkan dia akan cinta dengan orang yang dengki, dan hal tersebut mengantarkan hilangnya hasad. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)
Ada Hasad yang Dianjurkan
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Syarh Muslim (464/2), para ulama mengatakan: Hasad dibagi menjadi dua, yaitu hasad haqiqi dan majazi. Hasad haqiqi yaitu mengangankan hilangnya nikmat dari yang punya nikmat, dan ini haram berdasarkan kesepakatan para ulama dengan nash-nash yang shahih. Adapun Hasad majazi (ini disebut juga ghibthah) yaitu berangan mendapatkan nikmat semisal yang didapatkan orang lain tanpa hilangnya nikmat itu darinya. Jika dalam perkara dunia, maka boleh. Jika berkenaan dengan ketaatan maka dianjurkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Tidak boleh hasad (ghibthah) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugrahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al-Quran dan As-Sunnah), ia mengamalkannnya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allahul Muwaafi
[Triani Pradinaputri, S.Si]
Referensi:
- Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsariy, 1416 H, Al Wajiz fii ‘Aqidatis Salaf Ash-Shalih, Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan (e-book).
- Yazid Abdul Qadir Jawaz, 2010, Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu, Pustaka At-Taqwa, Bogor.
- Musthafa Al Adawi, 1415 H, Fiqhul Hasad, Darus Sunnah, Mesir (e-book).
- Firanda Andirja, 2012, Bersihkan Hati Anda dari Noda Hasad, https://firanda.com/index.php/artikel/penyakit-hati/275-bersihkan-hati-anda-dari-noda-hasad, di akses tanggal 23 Oktober 2017.
- Anonim, 2012, Kronologi Pembunuhan Habil, diakses tanggal 23 Oktober 2017, http://kisahmuslim.com/1968-kisah-pembunuhan-habil.html