Dari Mahmud bin Labid bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sesuatu yang paling menakutkan yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, Allah azza wa jalla akan berfirman kepada mereka pada hari kiamat pada saat manusia dibalas karena perbuatan mereka,’Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepadanya ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan di sisi mereka?’”
- Riya dalam iman, dan inilah keadaan orang-orang munafik.
? ??? ???? ????? ?????? ????? ????
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman’.” (QS. Al-Baqarah: 14).
Dan akibatnya adalah neraka.
- Riya’ dengan (ibadah) wajib atau sunnah, maka dia menampakkannya ketika ia sendiri.
- Riya’ dengan bentuk ibadah, seperti membaguskannya dan memperhatikan bentuk dhahirnya saja
- Riya’ dengan ucapan, dan ini khusus bagi para pemberi nasihat, maka dia menghafal agar dia pandai berbicara, berdebat, dan berdiskusi atau untuk memuji dirinya sendiri dan mempersiapkan proyek-proyeknya.
- Riya’ dengan keadaan orang yang berbuat riya’, seperti (menampakkan) kurus dan pucatnya badan, agar disangka bersungguh-sungguh dalam beribadah, dan juga seperti menampakkan suara yang lemah dan keringnya bibir agar disangka berpuasa. Ini adalah masalah yang besar dan samudra yang bergelombang, termasuk ke dalamnya riya’ dengan pakaian, cara berjalan dan kewibawaan.
- Riya’ dengan (akibat) yang terjadi setelah perbuatan, seperti orang yang menyukai agar diberi ucapan salam terlebih dulu, diberi sambutan dengan wajah yang ceria, dicukupi keperluan-keperluannya dan diberi kelapangan dalam majelis.
- Riya’ dengan mencela diri, Mutharrif berkata, “Cukuplah seseorang dianggap sebagai ithara’ (melampaui batas dalam memuji), jika dia mencela dirinya di hadapan orang-orang seolah-olah engkau ingin memujinya dengan celaan tersebut, dan hal ini buruk menurutku.”
- Mengharapkan dunia dengan mengikhlaskan amal. Syaikhul Islam berkata, “Seperti orang yang tujuannya adalah pengagungan dan pujian dari manusia –misalnya-, dan dia mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapat dengan ikhlas, maka dia di sini tidak mengaharapkan Allah, akan tetapi dia menjadikan Allah sebagai perantara (untuk mewujudkan) keinginannya yang rendah itu.”
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal ini karena terkadang tujuan manusia itu adalah mendapatkan ilmu dan hikmah, atau mendapatkan mukasyafah dan ta’tsirat, atau mendapatkan penghormatan dan pujian dari manusia, atau tujuan-tujuan lainnya, dan dia mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapatkan dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya, maka jika dia bertujuan untuk mendapatkan hal tersebut dengan ikhlas kepada Allah dan mengarapkan Wajah-Nya, maka ini saling bertentangan; karena orang yang menginginkan sesuatu karena sesuatu yang lain, maka yang kedua itulah yang dituju secara dzatnya, sedangkan yang pertama digunakan karena ia adalah perantara kepadanya, maka jika dia ikhlas kepada Allah, dengan tujuan agar menjadi seorang alim, orang pintar, orang yang memiliki hikmah, mukasyafah, tasharrufat, dan yang semisalnya, maka dia berarti tidak menginginkan Allah, akan tetapi dia menjadikan Allah sebagai perantara untuk mendapatkan tujuannya yang rendah tersebut.” (Dar’u Ta’arudh an-Naql wa al-Aql, 6/66-67).
Oleh karena itu, asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pelaku sebab mengetahui bahwasanya akibat itu tidak dinisbatkan kepadanya (tetapi dinisbatkan kepada Allah). Apabila dia menyerahkannya kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dan dia memalingkan pandangannya dari akibat, maka dia lebih dekat kepada ikhlas. Maka seorang mukallaf, apabila melaksanakan perintah dan larangan dengan sebab tanpa memikirkan hal lain selain perintah dan larangan tersebut, maka berarti dia telah keluar dari bagian (dunia)nya, melaksanakan hak-hak Rabb-nya, dan melaksanakan tugas ‘ubudiyyah. Berbeda halnya apabila pelaku melihat dan memperhatikan akibat, maka sesungguhnya ketika dia berpaling kepadanya, berarti dia menghadap setengahnya saja, sehingga menghadapnya dia kepada Rabb-nya dengan melakukan sebab adalah dikarenakan menghadapnya dia kepada akibat, dan tidak diragukan lagi perbedaan antara dua tingkatan ini dalam masalah ikhlas.” (Al-Muwafaqat, 1/219-220).
Dan setelah asy-Syatibi menceritakan riwayat,
?? ???? ??? ?????? ????..
Beliau rahimahullah berkata, “ini sering terjadi dikarenakan seseorang memperhatikan akibat (hasil) dari sebab-sebab tersebut, dan bisa jadi perhatiannya (terhadap akibat ini) menutupi, sehingga akan menghalangi antara pelaku sebab dan perhatiannya kepada sebab. Dan dengan hal tersebut, seorang ahli ibadah akan memperbanyak ibadahnya, dan seorang alim tertipu dengan ilmunya, dan lain sebagainya.” (Al-Muwafawat, 1/220).
- Meninggalkan amal karena takut riya’. Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal untuk manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ , dan ikhlas itu adalah disucikannya dirimu oleh Allah dari keduanya.”
Syaikhul Islam sangat keras sekali terhadap orang-orang yang melarang untuk melakukan amal yang disyariatkan karena takut riya’, dan beliau menjelaskan bahwasanya ini adalah termasuk di antara tanda-tanda orang-orang munafik yang senantiasai mencela kaum mukminin yang taat beribadah.
Disadur ulang dari Min Rawaai’il Mukhlishiin (edisi terjemah), Dr. Ubaid bin Salim al-Amri
Diketik ulang oleh: Ummu ‘Abdirrahman