Setiap kita mendengar kata ‘jailangkung’, sebagian di antara kita mungkin ada yang langsung ingat dengan kalimat “datang tak dijemput, pulang tak diantar.” Akan tetapi yang akan kita bahas di sini bukan mengenai si jailangkungnya, melainkan kalimat yang kerap kali orang ingat ketika mendengar kata ‘jailangkung’.
Sebagian wanita ada yang memperlakukan suaminya bak jailangkung tadi, yaitu ketika suami datang, ia tidak menjemput dan menyambutnya secara kurang baik. Begitu pula ketika suaminya mau berangkat bekerja, ia pun acuh tak acuh.
Tatkala suami memasuki rumah, ada sebagian wanita –semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka– menyambutnya dengan wajah suram dan serbuan dengan pelbagai pengaduan, mulai dari urusan anak, tetangga, maupun kesempitan hidup. Pun, ia mengejutkannya dengan kabar berita orang lain, yang justru membebani dirinya dengan kedukaan dan kesedihan.
Padahal, sang suami datang dari rutinitasnya yang begitu melelahkan dan meletihkan. Hendaknya seorang wanita menyambut kedatangan suami dengan penuh keceriaan, kelembutan, dan senyuman yang menawan. Hal tersebut akan memberinya rasa ketenangan dan kedamaian. Kemudian, melepaskan pakaiannya ataupun hal-hal lainnya dari berbagai bentuk pemuliaan terhadap seorang suami.
Imam Malik –rahimahullah– pernah ditanya mengenai seorang wanita yang berlebih-lebihan dalam memuliakan suami. Ia menyambut kedatangan suaminya, lalu melepaskan pakaiannya dan tetap berdiri di tempat hingga sang suami duduk? Ia menjawab, “Menyambut kedatangan seperti itu termasuk hal yang dibolehkan. Sedangkan, berdirinya hingga suami duduk, maka hal tersebut janganlah dilakukan, sebab ini termasuk perbuatan orang-orang yang sombong yang telah diingkari oleh ‘Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah–.”
Ada beberapa contoh mengenai kemuliaan wanita shalihah, dan bagaimana mereka menyambut kedatangan suami yang membawa sesuatu yang mengkhawatirkan ataupun menyusahkan hatinya. Sehingga ia dapat menghilangkan ataupun meringankan kesusahan yang dialami suaminya. Dan, tak ada yang lebih menunjukkan hal itu melebihi apa yang dilakukan Khadijah –radhiyallahu ‘anha– saat menyambut Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam pada saat turun wahyu kepada beliau. Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam mengalami ketakutan dan menemuinya, seraya berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Tatkala rasa takut telah sirna dan beliau memberitahukan suatu kabar yang membuat beliau mengkhawatirkan dirinya, Khadijah pun berkata kepada beliau, “Sekali-kali tidak. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan dirimu. Sesungguhnya engau benar-benar telah menyambung hubungan kekerabatan, menanggung beban berat, memberi orang yang tak punya, menjamu tamu, dan menolong kebenaran.”
Maksud menanggung beban berat, yakni memberikan nafkah kepada orang yang lemah, yatim, dan miskin. Al-Kallu asalnya adalah Ats-Tsaqlu (beban berat) dan al-i’ya’ (lemah). Memberi orang yang tak punya, maksudnya memberikan kepada manusia apa yang tidak mereka dapatkan pada selain dirimu (Muhammad), berupa faedah-faedah yang berharga dan akhlak yang mulia. Menolong kebenaran, maksudnya bahwa engkau (Muhammad) tidak akan tertimpa suatu keburukan, karena Allah telah menjadikan pada dirimu akhlak dan karakteristik yang mulia.
Demikian pula kisah sambutan Ummu Sulaim terhadap suaminya, Abu Thalhah. Di dalam Shahih Muslim dari Anas –radhiyallahu ‘anhu–, ia berkata, “Ketika seorang putra hasil pernikahan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim meninggal dunia, maka Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, ‘Jangan kalian beritahu Abu Thalhah tentang kematian putranya, sampai aku sendiri yang akan memberitahukannya. Ketika Abu Thalhah datang, maka Ummu Sulaim segera menyambut dan menyediakan makan malam baginya. Abu Thalhah pun menyantapnya. Lalu, Ummu Sulaim berdandan cantik yang tidak dilakukan sebelumnya, hingga Abu Thalhah pun menggaulinya.
Tatkala Ummu Sulaim melihat Abu Thalhah merasa puas atas pelayanan itu, maka ia pun berujar, ‘Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika suatu kaum meminjamkan perabot kepad sebuah keluarga, lalu mereka meminta kembali barang pinjamannya tersebut, apakah keluarga itu berhak menolaknya?’ Abu Thalhaah menjawab, ‘Tidak’. Selanjutnya, Ummu Sulaim bertutut, ‘Begitulah putramu. Ia telah meninggal dunia diambil oleh Pemiliknya.’ Abu Thalhah pun marah seraya berkata, ‘Engkau berikan pelayanan kepadaku dengan memuaskan, lalu engkau beritakan tentang kematian putraku.’ Maka, Abu Thalhah segera mendatangi Rasulullah Shallallaahu’alaihi wa Sallam dan menceritakan mengenai peristiwa itu. Rasulullah Shallallaahu’alaihi wa Sallam pun bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua pada malam yang telah kalian lalui’.” Anas bin Malik melanjutkan, “Kemudian, Ummu Sulaim pun hamil.” Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa seseorang dari kalangan Anshar berkata, “Aku melihat keduanya memiliki sembilan orang anak yang kesemuanya hafal Al Qur’an.”
—-