Di negeri kita, banyak ditemukan bangunan bersejarah, bahkan sebagiannya telah diklasifikasikan sebagai cagar budaya. Akibatnya, bangunan kuno tersebut tidak boleh dihancurkan. Kalaupun dipugar, maka harus dibangun kembali seperti sedia kala, bahannya boleh baru, namun bentuk dan modelnya harus mengikuti bentuk semula.
Apabila anda melanggar ketentuan ini, niscaya anda berurusan dengan penegak hukum. Sudah tentu urusannya bisa panjang, seakan-akan anda telah berbuat kejahatan besar.
Kalau anda bertanya: apa sih konsep adanya cagar budaya tersebut? Jawabannya sederhana: kenangan sejarah agar anak cucu mengenal masa lalu atau alasan serupa lainnya.
Wah, simpel sekali kalau begitu? Ya, nampaknya memang begitu.
Nah, kalau bangunan cagar budaya tidak boleh diubah harus dipertahankan dan ternyata perilaku semacam ini dapat diterima bahkan menjadi kesepakatan internasional, lalu mengapa banyak yang sewot apabila kita berusaha mempertahankan kemurnian agama?
Urusan agama tidak boleh diubah bentuk fungsi dan tatacaranya. Kalaupun terjadi “pemugaran”, maka harus dikembalikan seperti sedia kala alias “tajdid”. Mengapa banyak umat Islam yang dapat menerima konsep “cagar budaya”, namun menentang upaya pemurnian agama yang artinya ialah menerapkan Islam seperti yang diamalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya?
Padahal apabila kita memurnikan agama seperti sediakala, maka dijamin benar dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, apabila kita mempertahankan cagar budaya, maka sangat menyusahkan, biaya perawatannya mahal, kegunaannya kurang maksimal, dan alih-alih bisa mengancam keselamatan karena kondisi bangunan yang telah rapuh.
Ayo sobatku! Kita semua mengenal Islam yang murni dan mengamalkannya serta membersihkan diri dari segala bentuk modifikasi alias bid’ah dalam urusan ibadah kepada Allah.
—
Penulis: Ust. Dr. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.
Artikel Muslimah.or.id
 
			 
 
 
					
 
 
 




