Saudariku muslimah.. pernahkan terbesit dalam hati, untuk apakah kita melakukan ini dan itu? Melakukan berbagai amalan saleh dan berusaha keras menjauhkan diri dari maksiat, untuk apa atau untuk siapa semua itu kita lakukan? Jawabannya, seorang manusia diciptakan tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Sesuatu yang dikatakan sebagai misk hati dan air kehidupan, sesuatu yang membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang munafik. Sesuatu yang menjadi rahasia seorang hamba dengan Rabbnya. Ruh orang-orang yang bertakwa, perdagangan orang-orang yang beruntung, dan harta rampasan orang-orang yang mukhlis. Dan yang paling penting adalah sesuatu itu merupakan salah satu syarat diterimanya suatu amalan.
Definisi ikhlas
Ada beberapa perkataan para ulama mengenai definisi ikhlas. Ikhlas adalah menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya tujuan ketaatan. Ketaatannya hanya untuk (taqarrub) mendekatkan diri kepada Allah saja, tanpa menginginkan yang lainnya, seperti berbuat untuk makhluk, mengharapkan sifat yang terpuji di hadapan manusia, menyukai pujian makhluk atau sesuatu yang semisal yang bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dikatakan juga, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dan menetapkan pandangan kepada Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Ikhlas adalah menjadikan bergerak dan diamnya seorang hamba, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan hanya untuk Allah Ta’ala semata, tidak tercampuri oleh hawa nafsu dan keinginan dunia. (al-Ikhlashu li Man Arada al-Khalash)
Tidak diragukan bahwa perkara ini bukanlah perkara yang mudah. Keikhlasan itu membutuhkan usaha yang sangat berat sehingga seorang hamba itu bisa mendapatkan keikhlasan dengan sempurna di dalam hatinya.
وقد سئل سهل بن عبد الله التستري ، أي شيء أشد على النفس ؟ قال : الإخلاص لأنه ليس لها فيه نصيبٌ
Sahl ibn ‘Abdillah at-Tustari ditanya, ‘Sesuatu apakah yang paling berat untuk jiwa?’ Beliau menjawab, ‘Ikhlas. Karena tidak ada bagian untuk jiwa dalam keikhlasan itu.’ Sufyan ats-Tsauri berkata, ‘Tidak ada yang lebih menyakitkanku daripada niatku. Sungguh niat itu berbolak-balik di dalam hatiku.’
Beberapa dalil tentang ikhlas
Ikhlas adalah hakikat dari agama ini. Allah Subhahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama ini dengan lurus . . .” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Tidaklah diperintahkan di dalam syariat kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah Ta’ala semata. Artinya, menjadikan tujuan seluruh ibadah zahir dan batin itu hanyalah mengharap wajah Allah Ta’ala semata dan mendekatkan diri kepada-Nya dan menolak seluruh agama yang menyelisihi agama tauhid ini. Dalam ayat ini dikhususkan pada ibadah salat dan zakat karena keutamaan keduanya melebihi ibadah-ibadah lainnya. Tauhid dan ikhlas, itulah dinul qayyimah, artinya agama yang lurus yang mengantarkan ke surga, sedangkan selainnya adalah jalan yang mengantarkan ke neraka. (Taisiru Karimi ar-Rahman, hal. 1099)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. al-An’am: 162)
Dalam ayat tersebut, Allah mengkhususkan dua ibadah (salat dan berkurban) karena kemuliaan dan keutamaan keduanya. Keduanya juga menunjukkan kecintaan kepada Allah. Keikhlasan agamanya hanya untuk Allah semata dan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan hati, lisan, serta amalan zahir dan berkorban dengan memberikan harta yang disenangi oleh jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Ta’ala. Seorang yang paling ikhlas dalam halat dan korbannya melazimkan keikhlasannya dalam seluruh amalanya. Dan apa saja yang datang dan pergi dari kehidupan ini dan kematian yang telah ditakdirkan, seluruhnya hanyalah untuk Allah Ta’ala semata. (Taisiru Karimi ar-Rahman, hal. 306)
Baca juga: Belajar Ikhlas Dari Para Salaf
Ikhlas dan jujur (ash-shidqu)
Ikhlas merupakan amalan hati yang bersanding dengan amalan hati lainnya, yaitu jujur (sidq). Keikhlasan tidak akan ada kecuali dengan adanya kejujuran dan sebaliknya, keikhlasan tidak akan bersanding dengan kedustaan baik secara bahasa, adat terlebih secara syariat. Sebuah kalimat yang indah yang mengumpulkan dua lafal tersebut (ikhlas dan jujur) adalah sabda Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الدين النصيحة -قالها ثلاثاً – قالوا : لمن يا رسول الله؟ قال : لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama ini adalah nasihat.” (Nabi mengulanginya sampai tiga kali). Kami bertanya, ”Untuk siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk kaum muslim pada umumnya.” (HR. Muslim)
Jika kita merenungi makna kata ”nashihah” dalam hadis di atas, maka akan kita temukan terkumpul dalam makna nashihah tersebut dua makna, yaitu ash-shidqu (jujur) dan al-ikhlas (ikhlas). Sesuatu yang nashih (murni) adalah yang khalish (murni), tidak tercampuri oleh apapun. Kemudian jika seseorang memberikan suatu nasihat yang bermanfaat kepada yang lain, hal ini dilakukan karena menginginkan kebaikan untuk saudaranya. Hal tersebut tidak akan timbul kecuali karena kejujuran seseorang itu ketika mencintai saudaranya, kejujuran nasihat yang disampaikannya, serta keikhlasan yang bersumber dari hatinya.
Saudariku muslimah..
Mari kita sejenak menengok ke dalam hati kita, marilah kita bersemangat dalam memperbaiki kualitas amalan-amalan kita sebagaimana para salaf selalu bersemangat memperbaiki kualitas amalan mereka. Jika bukan untuk-Nya, maka untuk apa kita bercapek-capek di dunia yang fana ini. Bukankah kita ini hanyalah manusia yang diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya? Karena itu, jadilah sebaik-baik manusia, jadikanlah amalan kita adalah sebaik-baik amalan untuk bekal kembali ke kampung halaman yang merupakan akhir dari perjalanan kita, yaitu dengan mengikhlaskan niat hanya untuk Allah Ta’ala semata. Jangan pernah meremehkan suatu perbuatan yang sederhana, dan merugilah kita ketika sombong dengan amalan yang tampak besar dalam pandangan. Ikhlas itu berat, namun membuat jiwa ini ringan. Ringan ketika memberi, ringan ketika harus berkorban, ringan ketika menerima takdir yang tak pernah kita sangka.
اللّهُمِّ أَعِنّي على ذِكرِكَ وشُكرِكَ و حُسنِ العِبَادَتِكَ
“Ya Allah, tolonglah diriku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan untuk beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang baik.”
Dalam doa tersebut, kita memohon pertolongan kepada Allah untuk berzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik. Berzikir mencakup seluruh amalan kebaikan, semisal membaca al-Qur’an dan menyibukkan diri dengan ilmu. Dalam doa ini, zikir disebutkan lebih awal daripada syukur, karena ketika seorang hamba itu tidak berzikir, maka berarti pula dia tidak bersyukur. Dalam doa tersebut, kita memohon kepada Allah agar diberikan taufik untuk bisa beribadah dengan ibadah yang baik. Ibadah yang baik adalah ibadah yang ikhlas. Karena jika suatu ibadah itu tidak ikhlas dan tidak sesuai dengan sunah, maka ibadah tidak akan diterima dan tidak memberikan manfaat kepada pelakunya.
Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita dalam beribadah, berzikir, dan bersyukur kepada-Nya dalam setiap perkara dan keadaan yang kita hadapi.
***
Penulis: Ummu Ahmad Rinautami Ardi Putri
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Sulthan ibn Surai asy-Syamri, al-Ikhlashu li Man Araada al-Khalash (Maktabah Asy-Syamilah).
- Safar ibn ‘Abdirraahman al-Hawali, al-Ikhlashu wa al-Imanu bi al-Qadari wa al-Ghaibi lilhawali (Maktabah Asy-Syamilah).
- Syaikh Abdurrahman ibn Nashir as-Sa‘dy, Taisiru Karimi ar-Rahmani, Daar Ibnul Jauzi.
- Syarh Hisnul Muslim.
sukron
Assalamu’alaikum..
saya mohon izin copy paste segala ilmu yang ada di website ini.
untuk di share lewan halaman facebook ini : https://www.facebook.com/pages/Sisilain_99/565419853519017
terimakasih
Wassalam :)
iklas itu mudah dikata sulit dinyatakan.