Mengenal dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bagian dari keimanan, bahkan merupakan pokok yang utama dalam agama Islam. Tidaklah seseorang dikatakan sebagai seorang muslim hingga dirinya mengikrarkan syahadat,
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ
“Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Dan salah satu syarat dalam syahadat ini adalah Al–‘Ilmu, yaitu memiliki ilmu atau pengetahuan akan apa yang telah disaksikan.
Setiap muslim wajib untuk mengetahui dan bersemangat dalam mempelajari sirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap muslim harus mengetahui bagaimana kisah kelahiran Nabi hingga wafat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengetahui keutamaan-keutamaan beliau, mukjizat-mukjizat yang Allah karuniakan kepada beliau, bagaimana adab dan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seyogyanya setiap muslim mengambil teladan dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah manusia terbaik, yang harum dan bertabur hikmah perjalanan kehidupannya, seorang kekasih Ar–Rahman, yang Allah Tabaraka wa ta’ala telah berfirman sebagai bentuk pujian akan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Faidah mempelajari sirah
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al Badr hafizhahullah menyebutkan faidah-faidah dari mempelajari sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya mempelajari sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harum perjalanan hidupnya adalah santapan bagi hati, cahaya bagi jiwa, kebahagiaan dan kenikmatan, serta penyejuk mata, bahkan mempelajari sirah adalah bagian dari agama Allah Subhanahu wa ta’ala dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah. Karena kehidupan Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kehidupan yang penuh dengan pengorbanan, pemberian, kesabaran, dan keteguhan di atasnya, juga perjuangan, kesungguhan, dan perjalanan dalam merealisasikan peribadatan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, dakwah serta penyeruan kepada agama Allah ‘Azza wa jalla.
Dalam mempelajari sirah, terdapat beberapa faidah yang sangat agung dan manfaat-manfaat yang beragam yang akan aku sebutkan sebagiannya, sebagai bentuk pemantik untuk bersemangat, bersabar, berkesinambungan, dan perhatian terhadap pelajaran sirah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faidahnya adalah:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan dan panutan bagi semesta alam, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun akhlak
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Bentuk perealisasian terhadap ayat ini adalah dengan menjadikan beliau panutan dan menyusuri petunjuknya yang bersumber pada pengetahuan tentang sejarah Nabi dan juga petunjuk beliau yang mulia ‘alaihisshalatu wassalam.
Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya yang lurus adalah patokan timbangan dalam mengukur kebenaran amalan seseorang
Amalan yang sesuai dengan petunjuk dan jalan Nabi ‘alaihisshalatu wassalam itulah yang diterima; sedangkan yang tidak sesuai dengan petunjuk dan jalan beliau, maka akan tertolak.
Mengenai makna ini, Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah ta’ala berkata sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam pendahuluan kitabnya Al–Jami’ li Akhlaqi Ar–Rawi wa Adabi As–Sami’,
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر ؛ فعليه تعرض الأشياء ، على خُلقه وسيرته وهديه ، فما وافقها فهو الحق ، وما خالفها فهو الباطل
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah patokan tertinggi yang bergantung terhadap petunjuknya segala sesuatu. Baik akhlaknya, sirahnya, dan petunjuknya. Segala hal yang sesuai dengan hal-hal tersebut, itulah kebenaran. Dan yang menyelisihinya adalah kebatilan.”
Mempelajari sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu seseorang untuk memahami kitab Allah ‘Azza wa jalla (Al–Qur’an)
Karena kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya adalah bentuk praktik dan pengamalan terhadap Al-Qur’an. Ketika Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.” (HR. Ahmad no. 25813)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Yang dimaksud dengan akhlak di sini adalah agama, yaitu di atas agama yang sempurna dan lengkap.
Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan secara maksimal berkaitan dengan perintah-perintah yang harus dikerjakan serta larangan-larangan yang harus dijauhi dan ditinggalkan di dalam Al-Qur’an.
Mempelajari sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat memperkuat kecintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman seseorang di antara kalian sampai aku menjadi yang paling ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh umat manusia.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan terdapat riwayat dalam Shahih Bukhari bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي
“Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar aku cintai dari segala hal kecuali diriku sendiri.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
“Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamannya, sampai aku menjadi yang paling engkau cintai dari dirimu sendiri.”
Maka ‘Umar berkata,
فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي
“Sesungguhnya sekarang, demi Allah, engkau benar-benar yang paling aku cintai dibandingkan diriku sendiri.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْآنَ يَا عُمَرُ
“Sekarang, wahai ‘Umar.” (HR. Bukhari no. 6632)
[Bersambung]
Baca juga: Mengenal Pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Badr, Abdurrazaq bin Abdul Muhsin. Min Fawaid As-Sirati An-Nabawiyyah. Diakses tanggal 19 September 2025.


