Meniatkan segala amal hanya untuk Allah
Banyak orang yang menjaga stamina tubuhnya di masa muda, dengan harapan di masa tua nanti tubuhnya mempunyai stamina yang masih terjaga. Banyak orang yang meluangkan waktunya untuk olahraga, repot-repot untuk mengurusi makanan untuk menjaga kesehatannya. Tentu ini bukanlah hal yang tercela. Bahkan, jika ia diniatkan untuk menjaga badan agar bisa senantiasa beribadah dengan baik, maka dia akan diganjar pahala. Sebagaimana hadis dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما الأعمال بالنية
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Syekh Shalih Al-Ushaimi hafizhahullah menjelaskan hadis ini, bahwa niat adalah keinginan di dalam hati dalam mengerjakan hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. [1] Syekh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud niat dalam hadis ini adalah sesuatu yang dikhususkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan pendapat lain mengatakan bahwa niat itu umum untuk segala amal. Selama amal tersebut diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ia akan memberikan pahala untuk pelakunya. Meskipun amal tersebut adalah amal yang berkaitan dengan kebiasaan, semisal makan, minum, atau tidur, maka pelakunya akan diberikan pahala jika dia niatkan hal tersebut untuk ketakwaan di atas ketaatan. [2]
Jadi, semua amal, selama itu diniatkan untuk Allah, maka bisa bernilai ibadah meskipun amal tersebut merupakan kebiasaan sehari-hari.
Memprioritaskan kuatnya iman
Namun, tidak cukup itu saja. Mengatur gaya hidup, makan teratur, dan olahraga bukanlah prioritas tertinggi dalam menjaga agama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف, وفي كل خير
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, semua mukmin itu baik.” (HR. Muslim no. 2664)
Hadis ini tidaklah berbicara tentang kuatnya fisik, melainkan kuatnya iman. Sehingga seseorang dengan imannya yang kuat tersebut tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, namun juga kepada orang lain. Dengan iman yang kuat, dia juga bisa mengajak orang lain kepada kebaikan. [3] Sehingga dengan ini, tentu kekuatan iman harus lebih diutamakan daripada kekuatan fisik.
Menjaga batasan-batasan Allah
Kuatnya iman seseorang akan berkonsekuensi dalam penjagaan seseorang terhadap hak-hak Allah. Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احفظ الله, يحفظك. احفظ الله تجده تحاهك
“Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kau akan dapati Allah di hadapanmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516)
Maksud dari hadis ini adalah, yaitu dengan menjaga batasan-batasan Allah, dengan mematuhi perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, membenarkan segala informasi yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah, beribadah kepada-Nya dengan mencocoki syariat-Nya, bukan dengan hawa nafsu semata dan juga bukan dengan kebidahan. Allah akan menjagamu di setiap urusan baik agama dan juga dunia sebagai balasan yang sesuai. Allah Ta’ala berfirman,
جَزَآءً وِفَاقًا
“Sebagai balasan yang setimpal.” (QS. An-Naba: 26)
Dari setiap ketaatan yang kita lakukan, setiap penjagaan syariat yang kita lakukan, maka Allah pasti akan membayarnya dengan hal yang setimpal; sebagaimana maksiat, kesalahan, dan dosa juga akan Allah balas dengan balasan yang setimpal. [4]
Allah Ta’ala berfirman,
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan dalam kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)
Amal berupa penjagaan terhadap batasan-batasan Allah, maka balasannya juga berupa penjagaan dari Allah. Ketika batasan-batasan Allah dijaga, maka akan didapati bahwa Allah berada di hadapannya. Yaitu, berupa keberpihakan dan perhatian di segala urusan agama maupun dunia.
Waktu muda adalah waktu ketika badan masih sehat, pikiran masih kuat. Maka, di saat itulah kita harus lebih perhatian dalam menjaga batasan-batasan Allah, dan juga banyak mengingat-Nya. Masih di dalam hadis yang sama diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تعرف إلى الله في الرخاء, يعرفك في الشدة
“Kenalilah Allah di waktu luang, maka Allah akan mengenalmu di waktu sempit.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516)
Barang siapa yang mengikhlaskan amalnya untuk Allah di dalam keadaan luang, maksudnya ketika dia tidak sedang kesusahan, dia dalam keadaan yang aman dan senang, maka dia akan mendapati kebaikan dari Allah. Dia akan terhindar dari hal-hal yang membahayakan ketika dia sedang dalam keadaan sulit. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2-3)
Berkebalikan dengan itu, akibat yang akan dihadapi ketika tidak banyak mengingat Allah, maka Allah pun akan melupakannya. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik,
نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
“Mereka melupakan Allah, maka Allah akan melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67)
As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam tafsirnya, mereka tidaklah mengingat Allah kecuali sedikit saja, maka Allah akan melupakannya, tidak memberikannya rahmat-Nya, tidak memberikannya taufik dalam mengamalkan kebaikan, dan Allah tidak memasukkannya ke dalam surga. Bahkan, Allah akan meninggalkannya di lapisan neraka yang paling dalam, mereka kekal di dalamnya.
Kisah orang-orang saleh yang senantiasa menjaga Allah
Allah Ta’ala juga berfirman ketika menceritakan kisah Nabi Yunus ‘alaihisalam yang terjebak di dalam perut ikan paus,
فَلَوْلَآ أَنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِى بَطْنِهِۦٓ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. As-Saffat: 143-144)
Dan juga dikisahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5974) dan Muslim (no. 2743) tentang tiga orang pemuda yang terjebak di dalam gua. Batu-batu gua runtuh hingga menutup jalan keluar dari gua tersebut. Dan mereka bertawasul kepada Allah Ta’ala dengan amal-amal saleh mereka, yang mereka lakukan ketika mereka sedang dalam keadaan lapang. Di antara mereka ada yang bertawasul dengan berbuat baik kepada orang tua. Ada yang bertawasul dengan menjaga amanah, bahkan mengembangkannya sampai ia kembalikan itu semua kepada pemiliknya. Dan ada yang bertawasul dengan meninggalkan perbuatan keji semata-mata karena takut kepada Allah, padahal ia mampu untuk melakukan perbuatan keji tersebut. Dengan itu, Allah bukakan jalan keluar untuk mereka. Allah hilangkan kesusahan mereka. Allah bukakan pintu gua tersebut untuk mereka, hingga akhirnya mereka bisa keluar dari dalam gua.
Ini bukan sekedar kisah, namun Allah ceritakan kisah ini dalam rangka mengingatkan, agar kita berilmu tentangnya, dan kita beramal dengannya. Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176)
As-Sa’di rahimahullah menceritakan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, Allah memberikan perumpamaan, memberikan contoh, dalam setiap kisah di dalam Al-Qur’an dan kisah yang terucap dari lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar kita merenungkan, kita mengetahuinya. Ketika seseorang sudah mengetahui hal tersebut, maka dia akan terdorong untuk beramal. [5]
Semoga dengan ini, Allah memberikan kita hidayah taufik untuk menjaga waktu kita dalam menjaga batasan-batasan Allah, banyak mengingat Allah agar kita istikamah di atas agama ini hingga tua, hingga kita menjumpai pertemuan dengan-Nya. Aamiin
Baca juga: Ilmu Syar’i (Ilmu Agama): Nutrisi Utama bagi Hati
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Tafsir As-Sa’di
- Al-’Ushaimi, Shalih bin Abdullah bin Hamd, Syarh Al-Arbain, Kitab ke-8 dalam Barnamij Muhimmatil ‘Ilmi.
- Al-Badr, Abdurrazaq bin Abdul Muhsin, Fathul Qowiyyil Matin fii Syarhil Arbain wa Mutammatil Khamsiin.
Catatan kaki:
[1] Syarh Arbain, hal. 15.
[2] Fathul Qowiyyil Matin, hal. 89.
[3] Ini dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan di dalam Ithaful Kiram (hal 229-230); Syekh Shalih Al-Utsaimin di dalam Syarh Riyadus Shalihin (2: 77); dan Majmu’ Al-Fatawa (10: 953).
[4] Fathul Qowiyyil Matin, hal. 143.
[5] Tafsir As-Sa’di.



