Seorang hamba yang diberikan taufik, dia akan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki dirinya, mensucikan dirinya. Bersungguh-sungguh dalam mencari keselamatan dari keburukan dan kebinasaan, baik di dunia maupun di akhirat. Keselamatan di negeri akhirat adalah sebuah proyek terbesar bagi seorang hamba yang beriman. Ia akan mencurahkan seluruh kesungguhannya untuk proyek tersebut. Bahkan, hal ini sampai menimbulkan kekhawatiran bagi orang terbaik di umat ini setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah tiga khalifah pertama, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Dikisahkan dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Ketika itu, aku sedang duduk di naungan sebuah tembok. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melewatiku. Ia kemudian memberikan salam kepadaku. Namun, aku tidak menyadari bahwa ia telah lewat dan memberikan salam. Dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pergi hingga ia menemui Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Lalu ‘Umar bercerita kepada Abu Bakar, ‘Mengherankan… Aku melewati ‘Utsman, dan aku memberikan salam padanya, namun dia tidak membalas salamku!’
‘Umar dan Abu Bakar menemuiku di tempatnya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, sampai mereka berdua memberikan salam kepadaku. Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘Saudaramu, ‘Umar datang menemuiku, kemudian dia menceritakan bahwa dia melewatimu dan memberikan salam kepadamu. Namun, kamu tidak membalas salamnya. Apa yang membuatmu seperti itu?’
Aku mengatakan kepadanya, ‘Demi Allah! Aku tidak menyadari dia melewatiku dan juga memberikan salam.’
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘‘Utsman benar. Sungguh ada yang menyibukkan pikiranmu dari hal ini!’
Aku mengatakan, ‘Betul.’
Abu Bakar bertanya, ‘Apa itu?’
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘Allah ‘Azza wa Jalla telah mewafatkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum kami bertanya kepadanya tentang keselamatan dari perkara (akhirat) ini.’
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘Aku telah bertanya tentang hal itu.’
‘Utman berkata, ‘Engkau dengan ayah dan ibuku, engkau lebih berhak untuk mengetahui hal itu.’
Abu Bakar melanjutkan, ‘Wahai Rasulullah, apa yang menyelamatkan kita dari akhirat? Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قبل مني الكلمة التي عرضت على عمي, فردها علي, فهي نجاة
“Barangsiapa yang menerima satu kalimat dariku yang itu aku tawarkan kepada pamanku yang kemudian ia menolaknya dariku (yaitu kalimat tauhid, laa ilaaha illallah, pen.), maka itulah keselamatan.” (HR. Ahmad no. 20)
Barangsiapa yang merenungkan kisah mulia ini, dia akan mengetahui bahwa perkara kesalamatan di negeri akhirat adalah perkara yang sangat penting. Sampai inilah yang membuat gaduhnya pikiran orang-orang yang beriman lagi jujur hatinya. Inilah kisah ‘Utman radhiyallahu ‘anhu yang begitu khawatir dengan perkara keselamatan di negeri akhirat. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengatakan kepadanya,
وعثمان في الجنة
“Dan ‘Utsman di surga.” (HR. Abu Daud no. 4649)
Dan juga perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما ضر عثمان ما عمل بعد اليوم
“Tidaklah membahayakan ‘Utsman apa yang dia lakukan setelah hari ini.” (HR. At-Tirmidzi no. 3701, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Al-Misykah, no. 6073)
Selain itu, terdapat pula kisah dari Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia dahulu berada dalam rumahnya di sisi istrinya dalam keadaan menangis. Kemudian istrinya tersebut bertanya sebab tangisannya. Ia mengatakan, “Aku mengingat firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا
“Dan tidak ada seorangpun darimu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.”
ثُمَّ نُنَجِّى ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا۟ وَّنَذَرُ ٱلظَّٰلِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam: 71-72)
“Aku tidak tahu apakah kita akan selamat darinya ataukah tidak!” (HR. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, 4: 631)
Jika seperti ini keadaan orang-orang terdahulu di antara sahabat dalam memikirkan hal yang bisa menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat, sedangkan mereka sudah diberikan kabar gembira bahwasanya mereka masuk surga, maka bagaimana seharusnya kondisi orang-orang setelahnya?!
Baca juga: Sahabat Terbaik Seorang Muslim
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari ‘Asyru Muujibat Linnajah, hal. 3-6; karya Syekh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullahu Ta’ala.



