Di antara hak istri atas suaminya adalah bersikap adil antara istri dan madunya jika dia memiliki lebih dari satu istri. Adil di antara mereka dalam nafkah, tempat tinggal, bermalam, dan semua yang bisa diterapkan keadilan di dalamnya. Karena ketika suami condong kepada salah satu di antara istri-istrinya, hal tersebut termasuk dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى أَحَدِهِمَا, جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَقُهُ مَائِلٌ
“Barang siapa memiliki dua istri, lalu condong (berlaku tidak adil) kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuhnya dalam keadaan miring sebelah.” (HR. Abu Dawud no. 2133, At-Tirmidzi no. 1141, dan An-Nasa’i no. 1969)
Adapun dalam hal-hal yang tidak mungkin diperlakukan secara adil, seperti rasa cinta, tenangnya jiwa, maka dia tidak berdosa. Karena hal tersebut di luar kemampuan seseorang. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَن تَسْتَطِيعُوٓا۟ أَن تَعْدِلُوا۟ بَيْنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. An-Nisa: 129)
Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi jatah dengan adil kepada istri-istri beliau radhiyallahu ‘anhunna. Kemudian beliau berdoa,
اللَّهُمَّ هَذَا قِسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ, فَلَا تَلِمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
“Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa yang aku kuasai (yakni dalam keadilan lahiriyah), maka janganlah Engkau mencela aku atas apa yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai (yakni kecenderungan hati).” (HR. Abu Dawud no. 1140 dan An-Nasa’i no. 1971)
Namun, seandainya salah satu di antara istri-istrinya dilebihkan dalam perihal bermalam atas rida dari istri yang lain, maka tidak mengapa. Sebagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jatah malam Saudah kepada Aisyah ketika Saudah memberikan jatah malamnya kepada Aisyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang berujung pada wafatnya beliau, beliau bertanya,
أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ أَنْ يَكُوْنَ حَيْثُ شَاَءَ. فَكَانَ فِيْ بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ
“Di mana (jatah bermalam)ku besok? Di mana (jatah bermalam)ku besok?” Kemudian istri-istrinya memberikannya izin untuk bermalam di mana pun beliau inginkan. Maka, beliau bermalam di rumah Aisyah hingga wafatnya.” (HR. Bukhari no. 5217 dan Muslim no. 2443)
Seorang suami adalah pemimpin bagi istrinya, yang ini adalah hak terbesar suami atas istri. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi mereka (istri-istri) mempunyai hak yang semisal dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, dan bagi para laki-laki, mereka mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada istri-istri mereka.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Sebagai pemimpin, suami menunaikan segala sesuatu yang bertujuan untuk kemaslahatan istrinya, mendidik, dan mengarahkannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)
Selanjutnya, di antara hak suami atas istri adalah menaati perintahnya kecuali perintah yang merupakan kemaksiatan kepada Allah. Menjaga dirinya dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku memerintahkan kepada seseorang untuk sujud kepada manusia, sungguh aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 2140 dan At-Tirmidzi no. 1159)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فِأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ, فَبَاتَ غَضْبَانٌ عَلَيْهَا, لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istri untuk mendatangi tempat tidurnya, kemudian istri tersebut enggan untuk mendatanginya, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepada istrinya, maka malaikat melaknat istri tersebut sampai masuk waktu pagi.” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436)
Kemudian, hak suami atas istri adalah tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi kebahagiaan suami dalam pergaulan meskipun hal tersebut adalah ibadah yang sunah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهْدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ, وَلَا تَأْذَنُ لِأَحَدٍ فِيْ بَيِتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang istri untuk berpuasa (sunah) dalam keadaan suaminya hadir kecuali dengan izinnya. Dan seorang istri tidak boleh mengizinkan siapa pun masuk ke dalam rumahnya kecuali atas izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1026)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan rida suami atas istrinya sebab masuknya ia ke dalam surga. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ, دَخَلَتْ الْجَنَّةَ
“Di mana pun seorang istri meninggal dalam keadaan suaminya rida kepadanya, maka ia masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854)
Allahu a’lam.
[Selesai]
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1434 H. Huququ Da’at Ilaihal Fitratu wa Qararatha Asy-Syari’atu. Muassasah Asy-Syaikh Muhammad Shalih bin Al-Utsaimin Al-Khairiyyah, Riyadh, hal. 27-30.