Inilah seharusnya yang dilakukan orang sakit
- Hendaknya orang yang sakit merasa ridha dengan ketatapan Allah Ta’ala, bersabar atasnya serta berprasangka baik kepada Allah bahwa ketetapan Allah itu pasti baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara (yang menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia tertimpa kebahagiaan dia bersyukur maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لا يموتنَّ أحَدُكم إلّا وهو يُحسِنُ الظَّنَّ باللهِ تعالى
“Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala”.[1]
- Hendaknya seseorang memposisikan dirinya antara rasa khauf (takut) dan raja’ (harap). Takut akan adzab Allah karena dosa-dosanya dan harapan mendapatkan rahmat-Nya.
Dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihai wasallam suatu ketika menjenguk seorang pemuda yang sedang sekarat. Kemudian beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”
Pemuda tersebut menjawab, “Demi Allah wahai Rasulullah aku sangat mengharapkan rahmat Allah namun aku juga takut akan dosa-dosaku.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah terkumpul pada hati seorang hamba perasaan seperti ini (menggabungkan rasa khauf dan raja’) kecuali Allah akan beri apa yang ia harapkan dan Allah amankan dia dari apa yang ia takutkan.”[2]
- Sekalipun sakit yang dideritanya bertambah parah akan tetapi tetap tidak diperbolehkan untuk mengharapkan kematian berdasarkan hadits Ummul Fadhl radhiyallahu ‘anha,
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemui mereka sementara itu Abbas, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang mengeluh, diapun berharap segera mati kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
‘Wahai Pamanku! Janganlah engkau mengharap kematian. Karena sesungguhnya jika engkau adalah orang yang memiliki banyak kebaikan dan (waktu kematianmu) diakhirkan maka kebaikanmu akan bertambah dan itu lebih baik bagimu. Begitu juga sebaliknya, jika engkau orang yang banyak keburukannya dan (waktu kematianmu) diakhirkan maka engkau bisa bertaubat darinya maka ini juga baik bagimu. Maka janganlah sekali-kali engkau mengharapkan kematian’.[3]
Imam Bukhari, Muslim, dan Baihaqi dan selain mereka telah mengeluarkan hadits dari Anas secara marfu’ diantaranya berbunyi, “Jika seseorang terpaksa untuk melakukannya maka hendaknya ia berkata,
اللهما أَحْيِنِي مَا كانت الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
‘Ya Allah, hidupkanlah aku (panjangkan usiaku), jika hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku’“.[4]
- Jika orang yang sakit tersebut memiliki tanggungan kewajiban kepada orang lain yang belum tertunaikan, dan dia mampu untuk menunaikannya maka hendaknya ia segera menunaikannya. Namun jika tidak, hendaknya ia menulis wasiat tentang kewajiban yang belum ia tunaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik terhadap kehormatannya atau hartanya maka hendaknya ia selesaikan (permasalahan tersebut) hari ini (di dunia), sebelum dia dituntut untuk menunaikannya, ketika sudah tidak ada lagi dinar maupun dirham (hari kiamat). Jika ia memiliki (pahala) amalan shalih maka akan diambil sesuai dengan tingkat kezalimannya dan jika ternyata ia tidak memiliki pahala kebaikan maka keburukan (baca: dosa) orang yang terzalimi tersebut akan ditimpakan kepadanya.”[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?
Mereka (para sahabat) menjawab, ‘Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan harta’.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut diantara umatku kelak adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, akan tetapi dia pernah mencela orang yang ini, memfitnah yang itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah orang itu dan memukul orang yang ini. Maka mereka diberi kebaikannya…, jika kebaikannnya telah habis sebelum lunas apa yang menjadi tanggungannya maka kesalahan (baca: dosa) mereka (orang yang terzalimi) akan dipikulkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan ke dalam neraka.’“[6]
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mati masih memiliki hutang maka di sana (akhirat) kelak tidak ada dinar dan dirham namun yang ada hanyalah kebaikan dan keburukan.”[7]
Dan Imam Thabrani (Al-Kubra) meriwayatkan dengan redaksi,
“Hutang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati dengan membawa hutang namun ia berniat (saat masih hidup) untuk melunasinya maka aku adalah walinya kelak. Dan barangsiapa yang mati membawa hutang namun ia tidak ada niat untuk melunasinya maka orang inilah yang akan diambil kebaikannya kelak di saat tidak dinilai dinar dan dirham.”[8]
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Pada masa perang uhud, suatu malam ayahku memanggil diriku dan berkata,
‘Aku tidaklah bermimpi kecuali menjadi orang pertama yang terbunuh diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku tidaklah meninggalkan untukmu sesuatu yang lebih mulia dari pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesungguhnya aku memiliki hutang maka lunasilah. Dan aku wasiatkan kepadamu, berbuat baiklah kepada sesama saudaramu.’ Maka jadilah beliau orang yang terbunuh pertama kali…”[9]
- Dan seharusnya (orang yang sakit-pen) bersegera untuk membuat wasiat (seperti halnya wasiat Abdullah radhiallahu ‘anhu di atas-pen). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidaklah pantas bagi seorang muslim melewati malam-malamnya sementara dirinya ingin mewasiatkan sesuatu kecuali wasiat tersebut telah tertulis di sisinya.”
Ibnu Umar berkata, “Tidaklah aku melewati malam-malamku sejak aku mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut kecuali tertulis wasiat di sisiku.”[10]
- Dan kewajiban (orang yang sakit) adalah berwasiat kepada keluarga dekat yang bukan ahli waris. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kalian, apabila maut menjemput kalian, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 180)
- Diperbolehkan baginya berwasiat sepertiga dari hartanya dan tidak boleh lebih dari itu. Namun yang lebih utama seseorang berwasiat kurang dari sepertiga harta. Berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
“Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di haji wada’. Aku jatuh sakit dan hampir saja mendekati kematian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjengukku. Akupun bertanya, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan tidak ada yang mewarisinya kecuali seorang putriku. Maka bolehkah aku berwasiat dua pertiganya?’
Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’
Aku berkata, ‘Bagaimana jika separuh hartaku?’
Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’
Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika sepertiga harta?’
Beliau menjawab, ‘Iya sepertiga harta dan sepertiga itu sudah banyak. Wahai Sa’ad, sungguh jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih bagimu dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, dengan mengemis kepada manusia. Wahai Sa’ad tidaklah engkau menafkahkan sesuatu, sementara engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala karenanya. Sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.’” [seorang perawi berkata, “Maka sepertiga itu boleh”] [11]
Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku senang jika manusia mengurangi wasiatnya, kurang dari sepertiga sampai seperempat hartanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sepertiga itu sudah banyak.'”[12]
- Ketika berwasaiat, hendaknya dipersaksikan oleh dua orang muslim yang adil. Jika tidak ada maka dua orang yang bukan muslim, dengan terlebih dahulu diminta untuk bersumpah, jika dia ragu atas persaksian mereka berdua. Sebagaimana penjelasan dalam firman Allah Tabaraka wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ (106) فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا إِثْمًا فَآخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (107) ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (108)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat, lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu. ‘(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.’ Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) berbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, ‘Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri`. Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah: 106-108)
- Adapun wasiat kepada orang tua dan anggota keluarga yang menjadi ahli waris maka hal ini tidak diperbolehkan. Karena hukum ini telah dihapus dengan ayat-ayat waris. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya ketika berkhutbah di haji wada’. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberikan kepada tiap orang yang memilki hak (warisan) jatahnya masing-masing. Karena itu, tidak ada wasiat untuk Ahli waris.”[13]
- Diharamkan merugikan orang lain ketika berwasiat. Seperti berwasiat agar sebagian ahli waris tidak mendapatkan haknya atau melebihkan jatah warisan (dari yang seharusnya) kepada sebagian ahli waris. Allah Ta’ala berfirman,
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya. Baik sedikit ataupun banyak menurut bagiian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa: 7)
Dalil lain adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Janganlah berbuat yang merugikan. Barangsiapa merugikan maka Allah akan merugikan dirinya dan barangsiapa yang menyusahkan orang lain maka Allah akan menyusahkannya.”[14]
- Wasiat yang mengandung kezaliman adalah wasiat yang batal dan tertolak. Berdasakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami (perkara agama) yang bukan bagian darinya maka ia tertolak.”[15]
Dan juga berdasarkan hadits Imran bin Hushain, “Bahwasanya ada seorang laki-laki memerdekan enam budak saat menjelang kematiannya [tidak ada harta lain yang ia miliki kecuali budak-budak tersebut]. Datanglah ahli warisnya dari arab badui kemudian memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang ia perbuat. Maka Nabi pun bertanya, ‘Apa benar dia berbuat demikian?’ Lantas beliau juga menegaskan, ‘Kalau saja kami mengetahui tentang hal ini insyaallah kami tidak akan mensholatinya.’ Tarik kembali budak-budakmua, lalu merdekakan dua orang saja, sementara empat sisanya tetap menjadi budak.'”[16]
- Karena pada umumnya yang terjadi dikalangan manusia saat ini adalah membuat aturan dalam agama mereka (baca: bid’ah), terutama terkait (tata cara) mengurus jenazah, maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk berwasiat, agar jenazahnya diurus jenazahnya dan dikafani sesuai dengan sunnah nabi. Sebagai realisasi firman Allah Ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim :6)
Oleh karena itu banyak diantara kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasaiat akan hal ini. Dan atsar tentang mereka sebagaimana yang kami (penulis) sebutkan sangatlah banyak. Akan tetapi tidak mengapa jika diringkas sebagiannya, yaitu:
- Dari Amir Ibn Sa’ad bin Abi Waqqas bahwasanya bapaknya pernah berkata ketika sedang sakit yang mengantarkan kepada kematiannya, “Buatkanlah untukku liang lahat dan letakkanlah batu merah di bagiannya. Sebagaimana yang dilakukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[17]
- Dari Abu Burdah berkata, “Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pernah berwasiat disaat beliau sekarat, ‘Jika kalian berangkat membawa jasadku maka perceptalah langkah kaki kalian, janganlah kalian mengiringkan jenazahku dengan tempat bara api (dupa), janganlah kalian jadikan sesuatupun berada di atas lahadku yang bisa menghalangiku dengan tanah, dan janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Dan aku bersaksi sungguh aku berlepas diri dari wanita yang mencukur rambut, menampar pipi dan merobek-robek tatkala mendapat musibah. Para sahabat bertanya, ‘Apakah engkau pernah mendengar hal ini dari Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.'”[18]
Maraji’: Ahkamul Janaiz wa Bida’uhu (hal. 11-18), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
Penerjemah: Tim Penerjemah Muslimah.or.id
Murojaah: Ust Ammi Nur Baits
Catatan Kaki:
[1] Kedua hadis diatas diriwayatkan Imam Muslim, Baihaqi dan Imam Ahmad.
[2] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi dengan sanad hasan, Ibnu Majah, Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Az- Zuhd (24-25) dan Ibnu Abi Dunya dalam At-Targhib (4/141). Lihat pula dalam Al-Misykah (1612).
[3] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/339), Abu Ya’la (7076), dan Al-Hakim (1/339) beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat dua syaikh (Imam Bukhari dan Imam Muslim).” Hal ini disepakati oleh Imam Adz-dzahabi, hanya saja beliau menegaskan hadits ini sesuai syarat Imam Bukhari saja.
[4] Hadits ini dikeluarkan dalam Al-Irwa’ (683).
[5] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Al-Baihaqi (3/369) dan selain beliau berdua.
[6] HR. Muslim (8/18).
[7] Hadist ini dikeluarkan Al-Hakim (2/27) dan teks (hadits ini) milik beliau, Ibnu Majah, Ahmad (2/ 70-82) dari dua jalan dari IbnuUmar. Hadits pertama shahih sebagaimana penilaian Al-Hakim dan telah disepakati oleh Adz-Dzahabi. Hadits kedua hasan sebagaimana penilaian At-Tirmidzi (3/34).
[8] Hadits Shahih sebagaimana yang telah lalu. Dan dengan hadits Aisyah yang akan datang pada akhir bab.
[9] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1351).
[10] HR. Bukhari, Muslim, Ash-habussunan dan selainnya.
[11] Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1524) dan teks ini milik beliau, dua syaikh (Bukhari Muslim, dua tambahan diatas adalah milik Muslim dan ash habussunan).
[12] Hadits ini dikeluarkan Ahmad (2029 dan 2076), dua syaikh dan Baihaqi (269/6) dan selain mereka.
[13] Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan beliau menilai hasan, Baihaqi dan beliau member isyarat kuatnya hadits ini dan ternyata memang benar, karena sanad hadits ini hasan. Hadits ini memiliki banyak hadits penguat menurut Baihaqi. Lihat Majma’ zawaid (4/212).
[14] Hadits ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthniy (522), Al-Hakim (2/ 57-58) dari Said Al-Khudri dan Imam Adz-dzahabi menyepakati beliau dengan berkata, “Hadits shahih dengan syarat Imam Muslim”. Namun yang benar hadits ini hasan sebagaimana perkataan Imam Nawawi dalam Al-Arba’in dan Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawa (3/262) karena banyaknya jalan dan hadits penguat. Dan Al-Hafidz Ibnu Rajab menyebutkannya dalam Syarh Al-Arba’in (hal.219-220) kemudian aku (Syaikh Albni-pen) keluarkan dalam Irwaul Ghalil no. 888.
[15] Hadits ini diriwayatkan oleh dua syaikh (Bukhari Muslim -pen) dalam shahih beliau berdua, Ahmad dan selainnya dan lihat di Irwa (88)‘.
[16] Hadits riwayat Ahmad (4/446) dan Muslim semisal ini. Demikian juga Ath-Thahawi, Baihaqi dan selainnya. Dan tambahan tersebut dari Imam Muslim dan salah satu riwayat Imam Ahmad.
[17] Hadits ini dikeluarkan Imam Muslim dan Al-Baihaqi (3/407) dan selain beliau berdua.
[18] Hadits ini dikeluarkan Ahmad (4/397), Baihaqi (3/395) dengan lafal yang lengkap dan Ibnu Majah dengan sanad hasan.
Assalamualaykum ust..
Semoga Allah memberikanku pjg umur, aamiin.
ust sy muslimah berumur 26thn, menderita sakit jantung bocor dari ketika SMP dlu, bbrp thn ini kondisi sy mulai drop, tak bisa sembuh tnpa operasi, operasi yg biayanya tak bisa dijangkau klrga sy.
sejak drop sy slalu merasa dekat dgn kematian, kbetulan ad laki2 yg ingin meminang sy (sy mengenalnya sdh belasan thn) & dia + kluarga mengetahui detail penyakit sy serta menerima kmungkinan buruknya.
lalu berdosakah sy menerima pinangan itu ust? kita smua memang tdk ad yg tau kpn maut mnjemput, tp sy takut membuatnya kecewa..
mohon tanggapannya ust, jazakumullah khairan.
@Meranti
Wa’alaikumusalam warahmatullah wabarakatuh
Ukti tidak berdosa, yang penting pihak laki-laki sudah mengetahui hal tersebut dan bisa menerimanya. Ini adalah kesempatan bagi ukhti untuk menyempurnakan setengah agama, sayang jika dilewatkan. Banyak amalan-amalan ibadah yang terbuka melalui pernikahan, menjadi seorang istri dan ibu (misal berbakti kepada suami, dll). Semoga Allah memudahkan urusan ukhti
wajazakillahu khairan
Assalamualaikum, gimana kabar ukhti saat ini? Semoga baik2 saja dimanapun ukhti berada.
alhamdulillah, sangat bermanfaat.. izin share.. ^^
ana copas artikelnya, smoga bermanfaat bagi blog ana
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat
subhanallah
ijin sharenya,dan semoga yang sedang diuji dg ”sakit” segera diberi kemudahan.
Assalamu ‘alaikum wr wb
Allohu akbar……….sesungguhnya tidak semua orang bisa melakukan, dan itu tergantung dari tingkat kepasrahannya. Akupun belum tentu bisa……Bundaku mampu melakukan semua ujian yang diberikan, dengan cara Ikhlas, pasrah…..bahwa sakit adalah karunia dariNya…….
Alhamdulillah…..rasa sakit terlewati, walau sesungguhnya yang dirasakan adalah sebenar – benarnya sakit. Dokter dan Koaspun seringkali banyak bertanya……Apa resepnya….? Bahkan salah satu dokter yang juga seorang Ustadz, minta ijin kepada bunda bahwa di pengajian boleh enggak nama eyang saya sebut…..?
Perjalanan masih panjang baru separoh jalan yang ditempuhnya, pernah suatu ketika muncul dan terucap bunda capek…..Istighfar bunda, kami yang disampingmu semangat janganlah engkau pupus di tengah jalan…..Alhamdulillah Alloh kabulkan.
Kepada semua saudaraku muslim dan muslimah, mohon doamu buat bunda, dan mohon doanya agar ringankan kakiku melangkah demi bundaku tercinta, yang tinggal sendiri.
Wassalam
Susulan komentar yang ke dua
Dikala ayah masih ada, tidak pernah ada tanda – tanda penyakit itu akan nampak dalam diri bunda, setelah ayah tiada……muncullah penyakit kanker stadium 3 dan ganas. Kala itu bunda sering katakan kepada semua orang, inilah dosaku kepada ayahmu dimasa lalu.
Semua bunda jalani seperti komentar pertama…..walaupun beaya tidaklah sedikit, tapi bunda tidak pernah lepas dengan infaq dan shodaqoh kepada siapapun. Allohu akbar Alloh Maha Besar….disitulah akan terlihat bahwa dikala kita butuh untuk beaya tersebut selalu dimudahkan oleh Alloh swt.
Ini adalah kenyataan dan tidak saya buat – buat. Dan sebenarnyalah harta kita adalah milik orangtua kita juga.Tinggalkan sejenak kesibukanmu demi orangtuamu….dan tidak semua anak – anaknya bisa meluangkan waktu demi orangtua.
Semoga apa yang tertulis disini bisa mengingatkan kita, bahwa inilah yang seharusnya kita lakukan. Allohu akbar
alhamdulillah terima kasih bagus sekali isi dari tulisan ini, semoga bermanaaft bagi semua khususnya kita sendiri bisa mensikapi jika menghadapi sakit. akan lebih sempurna jika isinya di tambah dengan doa-doa yang berkaitan dengan makan obat, tata cara sholat bagi yang sedang sakit, dan tentu himbauan bagi yang bezuk yang sakit. semoga bermanaaft
Assalamu’alaikum..
ana izin share ya ukhti..
jazakillahu khairan katsiran..
bismillah
Meranti:
Kalau masalah jantung bocor tsb, coba urus jamkesmas, itu gratis utk operasinya
assalamu’alaikum ustadz..
belakangan ini saya mersa gelisah dgn penyakit yg saya derita,apa yg harus saya lakukan ustadz. mohon dibalas
Masha Allah, terima kasih artikel ini sangat membantu, barokalloh semuanya semoga Allah berikan sukses lancar dan barokah, dalam kesembuhan nya. aamiin ya Allah