Teladan dalam Sifat Malu
Teladan muslim dalam sifat yang mulia ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbaik sepanjang sejarah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok pemalu, lebih daripada seorang perawan yang dipingit. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Sa’id, beliau mengatakan,
وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Jika beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) melihat sesuatu yang tidak disukai, maka hal itu terlihat dari wajahnya,”
Hendaknya seorang muslim selalu menasihati saudaranya untuk menjaga sifat malu. Karena sifat malu akan mengantarkan seseorang kepada kebaikan. Sifat malu adalah bagian dari iman, dan iman mencakup seluruh kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang laki-laki yang sedang menasihati tentang sifat malu kepada saudaranya, beliau bersabda,
دعه فإنه الحياء من الإيمان
“Teruskanlah ia, karena sifat malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan hal itu untuk mempertahankan sifat malu di dalam diri seorang muslim dan melarang untuk menghilangkannya, meskipun hal itu dapat menghalangi seseorang terlalaikan haknya. Terlalaikannya hak seseorang lebih baik daripada tercabutnya sifat malu yang merupakan bagian dari iman dan perhiasan jiwa.
Allah Ta’ala memuji anak perempuan dari seorang laki-laki saleh yang Allah sifati mereka dengan sifat malu. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَمَّا وَرَدَ مَاۤءَ مَدۡیَنَ وَجَدَ عَلَیۡهِ أُمَّةً مِّنَ ٱلنَّاسِ یَسۡقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمۡرَأَتَیۡنِ تَذُودَانِۖ قَالَ مَا خَطۡبُكُمَاۖ قَالَتَا لَا نَسۡقِی حَتَّىٰ یُصۡدِرَ ٱلرِّعَاۤءُ وَأَبُونَا شَیۡخٌ كَبِیرٌ (٢٣) فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰۤ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّی لِمَاۤ أَنزَلۡتَ إِلَیَّ مِنۡ خَیۡرٍ فَقِیرٌ (٢٤) فَجَاۤءَتۡهُ إِحۡدَىٰهُمَا تَمۡشِ عَلَى ٱسۡتِحۡیَاۤءٍ قَالَتۡ إِنَّ أَبِی یَدۡعُوكَ لِیَجۡزِیَكَ أَجۡرَ مَا سَقَیۡتَ لَنَاۚ فَلَمَّا جَاۤءَهُۥ وَقَصَّ عَلَیۡهِ ٱلۡقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّـٰلِمِین (٢٥)
“Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.”
Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Ketika (Musa) mendatangi ayahnya dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia berkata, “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-Qashash: 23-25)
Sifat Malu Mencerminkan Kualitas Iman Seseorang
Malu tidak terbatas karena terlihat oleh orang lain auratnya atau aib-aib di badannya. Akan tetapi lebih daripada itu, yaitu karena terlihatnya segala keburukan yang ia punya. Banyak orang yang meninggalkan maksiat di hadapan manusia, akan tetapi dia bermaksiat tatkala sendiri. Dan seorang yang beriman haruslah memiliki sifat malu kepada Allah, merasa tidak nyaman ketika Allah mengetahui keburukan-keburukan sifatnya, maksiatnya, dan kelalaiannya. Sedangkan Allah Maha Melihat, dan seseorang tidak mungkin menutupi aibnya dari Allah Ta’ala. Maka, inilah hakikat bahwasanya malu adalah bagian dari iman, bahkan bisa mencapai derajat ihsan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَان
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh Jibril ‘alaihissalam tentang Ihsan,
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu?‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim: 102)
Ini menunjukkan bahwa malu dan iman adalah satu kesatuan. Ketika tercabut rasa malu dari diri seseorang, maka tercabut pula imannya. Ibnu Hibban mengatakan dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqala, “Jika kuat rasa malu seseorang, maka kuat juga kemuliaannya dan lemah sifat hinanya. Jika lemah rasa malu seseorang, maka kuat sifat hinanya dan lemah kemuliaannya.”
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Wadi’iyyah, Ummu Abdillah, 1426 H/ 2005, Nashihatii Lin Nisaa, Daarul Atsar, Shan’a, Yaman.
Bin Ibrahim Al-Jaarrullah, Abdullah bin Jaarullah, Al-Hayaau wa Atsaruhu fii Hayaati Muslim. https://d1.islamhouse.com/data/ar/ih_books/single2/ar_assault_and_its_impact_in_the_lives_of_muslim.pdf