Ingin hati tenang jauh dari rasa cemas saat obsesi dan impian-impian indah yang diangankan belum terwujud? Ingin terhindar dari rasa bangga diri dan ujub tatkala apa yang kita cita-citakan terwujud dan justru menambah rasa syukur kita? Bagaimana seharusnya sikap seorang mukmin agar bisa menerima ketetapan dan takdirnya yang sudah menjadi goresan pena Allah Ta’ala?
Semoga tulisan ini mampu membuka hati kita bahwa takdir itu akan menjadi manis ketika kita mampu memahaminya dengan iman. Erat kaitannya dengan tauhid rububiyah yakni mengesakan Allah Ta’ala dalam semua perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla, mengatur dan memberi rezeki. Juga sangat berhubungan dengan tauhid asma dan sifat yang khusus hanya dimiliki-Nya. Karena mentakdirkan dan menetapkan masuk dalam cakupan sifat kesempurnaan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
???? ??????? ??? ??????????? ??? ????????? ????? ???? ??????????? ?????? ??? ????????? ???? ?????? ??? ????????????? ? ????? ??????? ????? ??????? ???????? ?????????? ?????????? ?????? ??? ????????? ????? ??????????? ?????? ??????????? ? ????????? ??? ??????? ????? ?????????? ???????
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Seharusnya mukmin memahami eksistensi takdir agar keimanannya lurus, hadis Jibril yang membicarakan tentang rukun iman menyebutkan,
?? ???????? ??????????? ???????? ?? ???????
“Dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim no. 8)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Takdir itu tidak ada yang buruk. Yang buruk hanya ada pada yang ditakdirkan (al-maqdur, artinya takdir dari sisi manusia). Takdir jika dilihat dari sisi perbuatan Allah, semua takdir itu baik, sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu.” Jadi, takdir Allah itu selamanya tidak ada yang jelek. Karena ketetapan takdir itu ada karena rahmat dan hikmah. Kejelekan murni itu hanya muncul dari pelaku kejelekan. Sedangkan Allah itu hanya berbuat baik saja selama-lamanya.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 88)
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma berkata, “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya, maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu selain keadaan yang Allah plihkan untuknya. Inilah batasan sikap selalu rida terhadap semua ketentuan takdir dalam semua keadaan yang Allah berlakukan bagi hamba-Nya.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3: 262)
Mukmin yang sempurna imannya akan menyadari di balik rencana Allah ada banyak kebaikan meskipun mungkin itu berat untuknya. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi jangan pernah resah dan gelisah dengan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala serta tak perlu iri dengan takdir yang telah ditetapkan untuk orang lain, karena kewajiban hamba adalah beriman pada semua ketentuan Allah Ta’ala dengan hati ikhlas dan yakin akan pertolongan Allah Ta’ala saat Allah Ta’ala menguji kita dengan perkara-perkara yang kurang kita sukai.
Manusia hendaknya berikhtiar menjadi mukmin terbaik dengan berdoa, agar dimudahkan menjalankan ketaatan, dijauhkan dari dosa, selalu berbaik sangka kepada Allah Ta’ala dan menempuh jalan-jalan yang mengantarkan pada takdir yang baik. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menakdirkan berbagai macam ketentuan-ketentuan, Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan makhluk dengan takdir, membagi ajal mereka dengan takdir, membagi rezeki mereka dengan takdir, membagi ujian juga dengan takdir, membagi keselamatan juga dengan takdir, memerintah dan melarang (juga dengan takdir). Dan Iman Ahmad berkata, “Takdir adalah kekuasaan Allah.” (Syifaa’ Al-Aliil, karya Ibnul Qayyim, hal. 28)
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan, Terjemah (Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif, Darul Haq Jakarta, 1999).
Majalah El-Fata, Edisi 09 Vol. 17, tahun 2017.