Mencium tangan orang tua, ulama, atau, yang memiliki kemuliaan seakan sudah menjadi sebuah kebiasaan di masyarakat kaum muslimin. Lantas bagaimana sebenarnya tinjauan para Salaf seputar hukum mencium tangan? Di bawah ini kami nukilkan fatwa ulama yang semoga memahamkan kaum mukminin agar lebih mengerti dan beramal sesuai dengan hukum syariat Islam.
Soal:
Bagaimana hukum mencium tangan dan bagaimana hukum mencium tangan seseorang yang memiliki keutamaan, misalnya guru dan sepertinya? Bagaimana pula hukum mencium tangan paman dan lainnya yang lebih tua? Apakah mencium tangan kedua orang tua ada tuntunannya dalam syariat? ada orang yang mengatakan bahwa mencium tangan mengandung kehinaan (menghinakan diri sendiri)
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjawab:
Menurut kami, itu boleh untuk menghormati dan bersikap sopan terhadap kedua orang tua, ulama, orang-orang yang memiliki keutamaan, kerabat yang lebih tua, dan sebagainya.
Ibnul Arabi telah menulis risalah tentang mencium tangan dan sejenisnya, sebaiknya merujuk kepada risalah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa bila mencium tangan itu dilakukan terhadap kerabat-kerabat yang lebih tua atau orang-orang yang memiliki keutamaan, ini sebagai penghormatan, bukan menghinakan diri dan bukan pula bentuk pengagungan. Memang kami dapati sebagian guru kami mengingkari orang yang cium tangan kepada mereka dan melarangnya. Hal itu karena sikap tawadhu’ mereka, bukan berarti mereka mengharamkannya. Wallahu a’lam.
(Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin [1852])
Soal:
Bolehkah mencium tangan ulama?
Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih menjawab,
Mayoritas ulama Salaf dan ulama setelah mereka dari ahli fiqih mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali berpandangan bahwa boleh saja seseorang mencium tangan ulama, imam, orang, guru, maupun orang yang memiliki keutamaan, sebagai tanda memuliakannya. Sementara itu Imam Malik berpendapat bahwa hal tersebut makruh atau dibenci, beliau mengingkarinya. Beliau di dalam kitab Al Fawaqih Al Diwani (II/326), berkata yang redaksinya menunjukkan tidak disukainya perbuatan tersebut. Meskipun itu tangan orang yang ulama, orang yang sudah tua, pemimpin, orang tua baik yang baru, atau sudah lama pulang dari bepergian jauh. Begitulah pendapat mazhab Malikiyah. Sebagian ulama mengumpulkan beberapa atsar yang ada dalam sebuah bagian kajian tersebut.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (XI/ 57) berkata, “Al Hafidz Abu Bakar bin Al Muqri mengumpulkan atsar-atsar yang pernah kami dengar dalam sebuah bab tersendiri tentang mencium tangan. Terkait masalah tersebut terdapat banyak hadits dan atsar. Yang paling bagus adalah hadits Zara’ al-Abdi, ketika mengutus Abdul Qais, katanya, “Kami melakukannya setelah usai melakukan perjalanan jauh, mencium tangan dan kaki Nabi”, hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud.
Ada juga hadits Mazidah al-Ashri, isinya semakna. Hadits Usamah bin Syarik, katanya, “Kami menyambut Nabi dengan mencium tangannya”, sanad hadits ini kuat.
Ada hadits Jabir yang menyebutkan bahwa Umar berdiri menyambut Nabi sembari mencium tangannya. Demikian juga hadits Buraidah tentang kisah seorang Arab Badui dan sebuah pohon, di dalam kisah ini ia berkata, “Wahai Rasulullah izinkan aku mencium kepalamu dan kedua kakimu. Orang Badui itu pun diberi izin”.
Bukhari meriwayatkan di dalam Al-Adab al-Mufrad dari Abdurrahman bin Razin, katanya, “Salamah bin al Akwa’ mengeluarkan tangannya yang besar layaknya milik unta, kemudian kami berdiri dan menciumnya”. Tsabit mengisahkan dirinya pernah mencium tangan Anas bin Malik.
Diriwayatkan pula bahwa Ali pernah mencium tangan dan kaki Abbas bin Abdul Muththalib, ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Muqri.
Diriwayatkan dari jalan Abu Malik al-Asyja’i, katanya, “Kepada Ibnu Abi Aufa dikatakan, ‘Ulurkan tanganmu yang pernah engkau gunakan untuk berbaiat kepada Rasulullah! Kedua tangannya pun diulurkan hingga aku menciumnya”.
Kesimpulannya, perbuatan itu (cium tangan) diperbolehkan asal pelakunya tidak dikhawatirkan akan tertipu atau terkena fitnah (bahaya). Memang ada riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi pernah melarang seseorang yang akan mencium tangan beliau, beliau bersabda, “Ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang ajam/asing non-Arab kepada para raja, sementara saya ini hanyalah orang biasa seperti kalian”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al-Ausath, Al Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya. Semua riwayat berasal dari jalan Yusuf bin Ziyad al-Wasithi dari Abdurrahman bin Ziyad bin An’am al Ifriqi dari Aghar Abu Muslim dari Abu Hurairah. Semuanya, sekali lagi, berasal dari Yusuf bin Ziyad dan gurunya yang statusnya dha’if.
Al-Syaukani, dalam Nailul Authar (Il/103), berkata tentang hadits tersebut, “Sumbernya dari Yusuf bin Zi yad al-Wasithi yang lemah, dari gurunya Abdurrahman bin Ziyad bin An’am al-Ifriqi yang juga lemah”.
Hadits semisal yang melarang mencium tangan tidak ada yang sekuat riwayat-riwayat di muka, yang membolehkan mencium tangan. Wallahu a’lam.
(Dari Aktsar min Mi-ah Fatawa karya Khalid bin Abdullah al-Mushlih).
Semoga dengan penjelasan di atas cara seorang mukmin berhati-hati agar terhindar dari perilaku berlebih-lebihan dalam memuliakan seseorang yang memiliki keutamaan, dan dengan niat mulia dan menghargainya, bukan mengkultuskannya, yang bisa jadi orang yang dicium nya menjadi bangga hati, sombong, atau merasa lebih mulia dari orang lain. Wallahu a’lam.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi:
1. Majalah Fatawa, vol VI/ no. 03
2. Majalah Fatawa, vol VI/ no. 06
Artikel Muslimah.or.id