Syaikh Shalih bin al-Fauzan rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana cara bagi seorang muslim agar tidak bersifat hasad? Bagaimana seorang muslim menolak hasad yang datang kepada diri dan keluarganya?
Syaikh Shalih Al Fauzan memberikan jawaban bahwa hasad adalah keinginan agar kenikmatan orang yang dihasadi hilang. Inilah sifat yang tercela, karena merupakan sifat iblis dan orang-orang Yahudi serta orang-orang jahat dan jelek budi pekertinya, baik yang dahulu maupun sekarang. Hal ini dikarenakan ia protes kepada Allah akan takdir dan ketetapan-Nya serta tidak ridha dengan pembagian-Nya.
Seorang muslim mestinya mencegah dirinya dari bersifat hasad dengan perasaan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah serta mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak beriman seseorang di antara kalian, hingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.” (HR. Muslim)
Adapun menolak hasad dari orang-orang yang hasad kepada diri dan keluarganya adalah dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari kejahatan mereka. Juga bisa dengan sedekah dan berbuat baik kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan. Terlebih saat ia mendapatkan harta yang dilihat oleh orang-orang di sekelilingnya yang membutuhkan. Maka hendaknya ia bersedekah kepadanya dan menghindarkan pandangan manusia dan penglihatan mereka terhadap apa yang ada padanya (berupa harta atau semisalnya). Wallahu a’lam. (Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shahih al-Fauzan, jilid 46/7)
Maraknya hasad atau kedengkian di antaranya disebabkan adanya persaingan dengan orang lain untuk tujuan tertentu, seperti orang berilmu lainnya. Pedagang makanan iri dengan sesama pedagang makanan dan lain sebagainya. Semua ini kadang berpangkal masalah untuk memperebutkan bagian dari kenikmatan dunia. Hasad bisa sebatas lintasan pikiran di hati, tetapi bisa juga berwujud perkataan, bahkan menjadi amalan, seperti menzalimi orang lain yang dia benci dengan media perdukunan, seperti sihir dan santet. Tujuannya adalah sirnanya nikmatnya dan ia mendapatkan kenikmatan yang diinginkannya. Di antara kiat-kiat lain agar terhindar dari hasad adalah:
- Sibukkan diri untuk memikirkan apa yang telah diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla.
- Hindari terlalu sibuk memikirkan apa yang dimiliki orang lain. Berupaya menyadari bahwa hasad akan menyengsarakannya, menambah dosa, dan membahayakan akhiratnya.
- Lawanlah dengan sekuat tenaga dengan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahkan dengan memberi hadiah untuk orang yang dihasadi agar sifat itu sirna.
Semoga dengan kebaikan ini, Allah ‘Azza wa Jalla membalikkan hatinya yang tadinya memiliki hasad menjadi bersifat baik dan mencintai saudaranya. Jangan balas kedengkiannya dengan ucapan dan perilaku serupa, tetapi berikanlah maaf dan bersikaplah lembut. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat-Nya yang Mulia.
?????? ????? ?? ???????? ?????????? ????? ????? ??????? ??? ???????? ???????????
“Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura : 40).
Baca juga: Mengikir Hati Yang Berkarat
Hendaklah seseorang mengetahui bahwa menjauhi sifat hasad bisa mengubah suatu keadaan yang Allah ‘Azza wa Jalla sudah takdirkan. Hasad hanya menambah kerusakan dan kerugian baginya.
Hendaklah seseorang mengetahui bahwa menjauhi sifat hasad dapat memasukkan seseorang ke dalam surga, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengabarkan adanya seseorang yang kelak masuk surga, padahal para sahabat melihatnya tidak banyak melakukan amalan shalih. Dia masuk surga dengan sebab sifat yang dimilikinya, yaitu tidak hasad terhadap nikmat Allah Ta’ala berikan kepada orang lain. (Musnad Imam Ahmad, III/166)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila Anda melihat orang dikaruniai nikmat oleh Allah, maka Anda jangan membencinya, tetapi ucapkanlah, “Ya Allah, tambahkan kepadanya karunia-Mu dan berikan kepadaku yang lebih utama daripada apa yang telah Engkau berikan kepadanya.” (Kitabul ‘Ilmi, hlm. 74).
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi:
1. Majalah El-Fata, edisi 07, vol. 15/2015.
2. Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Yazid Abdul Qodir Jawas, Pustaka at-Takwa, Bogor, 2015.
3. Majalah Al-Furqon, edisi 169, Vol.10 th ke-15.