Dianjurkan memberi nama anak itu mufrad (satu kata) atau idhafah (bentuk penyandaran). Nama anak yang terdiri dari satu kata, contohnya “Yusuf” saja, sedangkan yang berbentuk idhafah (bentuk penyandaran), contohnya “Abdurrahman”.
Demikianlah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menamai anak. Beberapa contoh nama mereka, yaitu Muhammad, Abu Bakar (nama aslinya ‘Abdullah), ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Abu Hurairah (nama aslinya ‘Abdurrahman), Thalhah, ‘Ukasyah, Hudzaifah, Qatadah, Sufyan, Abdurrahman, Hanzhalah, dll.
Demikian juga kebiasaan para ulama salaf, di antaranya Imam asy-Syafi’i (nama aslinya Muhammad), Imam Ahmad (bin Hambal), Imam Malik (bin Anas), Abu Hanifah (nama aslinya Nu’man), al-Bukhari (nama aslinya Muhammad), an-Nawawi (nama aslinya Yahya), Ibnu Hajar (nama aslinya Ahmad), Ibnu Taimiyah (nama aslinya Ahmad), Ibnul Qayyim (nama aslinya Muhammad), dst.
Perhatikanlah, maka kita dapati nama-nama mereka hanya terdiri dari satu kata atau idhafah. Dan dimakruhkan memberi nama dengan nama murakkab (beberapa kata), seperti “Muhammad Shiddiq”, “Muhammad Sa’id”, “Yusuf Ismail”, atau semisalnya. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Tasmiyatul Maulud mengatakan:
و تكره التسمية بالأسماء المركبة، مثل : محمد أحمد، محمد سعيد، فأحمد مثلاً فهو الاسم، محمد للتبرك … وهكذا. وهي مدعاة إلى الاشتباه والالتباس، ولذا لم تكن معروفة في هدي السلف، وهي من تسميات القرون المتأخرة
“Dimakruhkan nama murakkab (bersusun), seperti: Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id, dll. Biasanya namanya “Ahmad” saja, tetapi ditambahkan “Muhammad” untuk tabarruk (ngalap berkah). Dan nama-nama seperti ini mengakibatkan kerancuan. Oleh karena itu, (nama-nama tersebut) tidak pernah dikenal di masa salaf. Nama-nama seperti ini adalah kebiasaan orang belakangan.” (Tasmiyatul Maulud, hlm. 13)
Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin mengatakan:
هذه أسماء جديدة لم تكن معروفة فيما سبق، والأصل الأسماء المفردة أو المضافة كعبد الله وعبد الرحمن أو زين العابدين ونحوه، فأما الأسماء المبدوءة بمحمد كمحمد أمين ومحمد سعيد هذه لا أصل لها فيما نعلم
“Nama-nama seperti ini adalah nama-nama model baru, yang tidak dikenal di masa salaf. Asalnya nama itu mufrad (tunggal) atau idhafah, seperti “Abdullah” atau “Zainul Abidin” atau semisalnya. Adapun nama-nama bersusun, seperti “Muhammad Amin” atau “Muhammad Sa’id” ini tidak ada asalnya.” (Dinukil dari https://islamqa.info/ar/answers/256964)
Adapun, sebagian ulama atau bahkan sebagian saudara kita yang menggunakan nama murakkab (termasuk penulis sendiri), tentu saja kita hendaknya memberi uzur dan berprasangka baik. Bisa jadi orang tua mereka belum mengetahui tuntunan tentang hal ini, dan juga memberi nama dengan nama murakkab hukumnya tidak sampai level haram atau berdosa.
Jika nama dirasa kurang panjang, bisa gunakan nama kunyah. Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, atau diawali dengan “Ummu” atau “Bintu”. Misal, namanya “Yusuf”, kemudian ditambah kunyah “Abu Shalih”, menjadi “Abu Shalih Yusuf”. Misal, namanya “Fathimah”, kemudian ditambah kunyah “Ummu Ahmad”, menjadi “Ummu Ahmad Fathimah”. Ini juga merupakan sunnah Nabi. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
كَانَ النَبِيُّ – صلى الله عليه وسلم–أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Aku memiliki saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rasulullah shallallahu‘ alaihi wa sallam datang, beliau memanggilnya, “Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair (burung peliharaannya)?’” (HR. Bukhari no.6203, Muslim no.215)
Dalam hadis ini bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil anak kecil dengan nama kunyah.
Jika masih kurang panjang, bisa ditambahkan nasab ayah. Semisal nama ayahnya adalah “Ahmad” maka menjadi “Abu Shalih Yusuf bin Ahmad”. Jika masih kurang panjang lagi, bisa ditambahkan nisbah kepada negerinya. Semisal Yusuf adalah orang Jawa, maka “Abu Shalih Yusuf bin Ahmad al-Jawi”. Ibnu Katsir menjelaskan :
فمن كان من قرية فله الانتساب إليها بعينها، وإلى مدينتها إن شاء، أو إقليمها ومن كان من بلدة ثم انتقل منها إلى غيرها فله الانتساب إلى أيهما شاء، والأحسن أن يذكرهما، فيقول مثلاً: الشامي ثم العراقي، أو الدمشقي ثم المصري، ونحو ذلك. وقال بعضهم: إنما يسوغ الانتساب إلى البلد إذا قام فيه أربع سنين فأكثر، وفي هذا نظر
“Seseorang yang berasal (lahir) dari suatu daerah, berhak dinisbatkan kepada nama daerah tersebut secara spesifik. Atau kepada nama kotanya, jika ia mau. Atau kepada nama provinsinya. Namun, seseorang yang tinggal di suatu daerah, lalu ia pindah ke daerah lain, maka ia boleh dinisbatkan kepada daerah yang mana saja. Namun, yang lebih utama disebutkan keduanya. Contohnya: Fulan asy-Syami tsumma al-’Iraqi (Fulan orang Syam kemudian orang Irak), atau contoh lain: Fulan ad-Dimasyqi tsumma al-Mishri (Fulan orang Damaskus kemudian orang Mesir), atau semisal itu. Sebagian ulama mengatakan: “Seseorang berhak dinisbatkan kepada suatu negeri jika ia tinggal menetap di sana selama 4 tahun atau lebih.” Namun, pendapat ini perlu dikritisi.” (Al-Ba’itsul Hatsits, hlm. 248)
Demikian pembahasan ringkas tentang anjuran nama mufrad atau idhafah. Sebetulnya orang-orang kita zaman dahulu sudah menerapkan sunnah ini, mereka simpel sekali dalam memberi nama anak-anaknya, seperti Susilo, Mulyono, Paijo, Suratno, Slamet, Painem, Juminten, Hastuti, Istiqomah, dll. Simpel bukan?
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama
painem ….
Assalamualaikum. Ustad,saya sdh berikan kepada anak bayi Nama Muhammad. Namun,krna sdh ada peraturan baru dari pemerintah bahwa nama tidak boleh satu kata,dan minimal 2 kata. Mohon nasihatnya ustad tambahan Nama anak saya yg sudah ada kata Muhammad. Sehingga bisa sesuai sunnah.
Jazakallah khairan
Ana bikin nama anak ana ukasyah tpi pemerintah menyuruh nama anak harus 2 suku kata, pa yg harus ana lakukan ea