Sudahkah kita ikhlas?
Saudaraku, sudahkah kita ikhlas dalam menuntut ilmu? Sudahkah kita beribadah hanya untuk mengharap wajah Allah Subhanahu wa ta’ala? Saudaraku, ikhlas bukanlah perkara yang mudah, tetapi ikhlas merupakan suatu perkara yang sulit dilakukan. Amalan seseorang akan diterima apabila memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas, memurnikan niat hanya karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
Hal ini diperkuat dengan banyaknya ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan seseorang untuk beribadah ikhlas karena Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
????? ???????? ?????? ???????????? ??????? ??????????? ???? ???????? ?????????
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melaikan agar mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
??????? ???????? ???????????? ???????? ??????? ?????? ?? ????? ?????? ??????? ?????????? ??? ????? ?????????? ??????????? ??? ????? ??????????? ????? ??????? ?????????? ????????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ??????????? ??? ?? ??????? ?????
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
??? ??????? ???? ?? ?????? ??? ????? ?? ???? ????? ???????
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu memiliki amal shalih yang tersembunyi, maka hendaklah dia melakukannya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf no.35768, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih al-Jami’ no.6018).
Ikhlas itu berat
Dalam sebuah riwayat yang lain, yakni dari Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri rahimahullah ,ia berkata:
??? ????????? ??????? ??????? ??????? ???? ????????
“Aku tidak pernah memperbaiki sesuatu yang lebih sulit daripada niatku”
Menjaga keikhlasan niat merupakan salah satu modal yang harus dipegang erat oleh seorang penuntut ilmu. Apabila dalam menuntut ilmu tidak disertai dengan keikhlasan niat maka ibadah tersebut dapat berubah menjadi kemaksiatan yang termasuk ke dalam dosa besar, seperti munculnya sifat riya’ dan sum’ah. Dengan demikian, seorang penuntut ilmu diharapkan senantiasa membersihkan hatinya dari hal-hal yang dapat mengotori niatnya, seperti keinginan untuk menonjolkan diri, menjadikan ilmu sebagai batu loncatan untuk meraih kekayaan, pujian, atau pun popularitas. Di samping itu, sebagai seorang penuntut ilmu, hendaknya mengikuti jalan para salafus shalih yaitu para sahabat dan para ulama sesudah mereka, untuk memegang teguh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan perdebatan atau berbicara berlebihan dalam persoalan ilmu.
Ibnul Qayyim berkata dengan menyebut dari selainnya, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, yang mana ia tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga ia bisa memalingkannya”. Sementara itu, Syaikhul Islam berkata, “Mengikhlaskan ketaatan kepada Allah adalah sesuatu yang Allah tidak akan menerima amal tanpanya, ialah yang dengannya Allah mengutus para rasul yang awal dan yang akhir, menurunkan semua kitab suci dengannya, dan disepakati oleh orang beriman. Inilah intiasari dakwah para Nabi, yang merupakan inti dari al-Qur’an yang poros isinya berkisar padanya.” (Dahsyatnya Ikhlas Bahayanya Riya’, hlm. 10).
Sudahkah sikap kita sesuai dengan sunnah Rasulullah?
Di samping niat yang ikhlas karena Allah dan ittiba’ (sesuai dengan tuntunan Rasulullah), seorang penuntut ilmu hendaknya berhias dengan adab-adab yang baik, seperti sikap iffah (menjaga kesucian diri), tawadhu kepada kebenaran, sabar, santun, tenang “seperti burung” yang mencakup penampilan yang berwibawa, sopan, dan rendah hati, sabar menanggung kehinaan demi kemulian ilmu, serta patuh kepada kebenaran. Tidak terlupa, penuntut ilmu harus berhati-hati terhadap sikap-sikap yang bertentangan dengan adab-adab tersebut, seperti sikap angkuh. Hal ini dikarenakan sikap angkuh merupakan bagian dari kemunafikan dan kesombongan. (Perhiasan Penuntut Ilmu, hlm. 13).
Nah, teruntuk para penuntut ilmu, ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan sekadar untuk dihafalkan apalagi hanya untuk menambah wawasan. Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan terakhir, tetapi pengantar untuk tujuan yang lebih agung, yaitu rasa takut kepada Allah, merasa diawasi Allah, bertakwa kepada Allah, dan mengamalkan ilmu-ilmu-Nya.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Orang miskin yang paling miskin adalah orang yang menghabiskan umurnya untuk mencari ilmu yang tidak ia amalkan sehingga ia kehilangan kelezatan dunia dan kebaikan akhirat. Ia akan datang (pada hari Kiamat) dalam keadaan bangkrut bersama kuatnya hujjah (tuntutan) atasnya.”(Shaidul Khaatir, hlm. 140, cet. Maktabah Darul Bayan).
Selanjutnya, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa ilmu memiliki enam tingkatan, antara lain:
Pertama, baik dalam bertanya;
Kedua, diam dan mendengarkan dengan baik;
Ketiga, memahami dengan baik;
Keempat, menghafalkannya;
Kelima, mengajarkannya; dan
Keenam, mengamalkannya dan memperhatikan batasan-batasannya. (Miftaah Daaris Sa’aadah (I/511), karya Ibnul Qayyim rahimahullah. Lihat: Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu, hlm. 50).
Untuk itu saudaraku, hakikatnya, buah dari ilmu adalah amal. Hendaknya kita senantiasa meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala supaya dimudahkan dalam mengamalkan ilmu dan mengikhlaskan niat hanya untuk mencari ridha-Nya.
***
Referensi:
- Bakr Bin Abdullah Abu Zaid, Hilyah Thalibil ‘Ilmi (Perhiasan Penuntut Ilmu), Al Qowam, Solo
- Dr. Ubaid bin Salim al-Amri, Dahsyatnya Ikhlas Bahayanya Riya’, Darul Haq, Jakarta
- Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu, Pustaka at-Taqwa, Bogor
Penulis: Anggie Dipamora Hartono
Artikel Muslimah.or.id