Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Nikmat teragung yang akan diraih oleh penduduk surga ialah melihat wajah Allah yang mulia. Hal ini telah ditetapkan di dalam Al-Qur`an, hadits mutawatir, dan kesepakatan ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala berfirman,
??????????? ?????????? ?????????? ???????????
“Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada balasan yang terbaik dan tambahannya.” (QS. Yunus : 26)
Makna dari “balasan yang terbaik” ialah surga, sedangkan makna “tambahannya” ialah menyaksikan wajah Allah yang mulia.
Allah Ta’ala juga berfirman,
?????? ??? ??????????? ??????? ??????????? ????????
“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (QS. Qaf : 35)
Yakni, di dalam surga, sedangkan makna “tambahannya” ialah melihat wajah Allah.
Kenikmatan memandang wajah Allah yang mulia bagi penghuni surga merupakan ketetapan yang tidak ada keraguan sedikit pun. Bahkan, itu merupakan kenikmatan yang paling lezat dan ganjaran bagi penduduk surga. Dikarenakan mereka dahulu di dunia benar-benar beriman dengan perkara gaib, meskipun mereka tidak mampu menyaksikan-Nya. Lantas Allah Jalla wa ‘Ala memuliakan mereka dengan Allah tampakkan diri-Nya di kampung akhirat supaya mereka mampu melihat-Nya dengan mata kepala mereka. Merekalah orang-orang yang beriman di dunia, walaupun mereka tidak dapat menyaksikan-Nya sehingga balasan terbesar bagi mereka adalah memandang wajah Allah pada hari kiamat dan menikmatinya.
Di dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
????????? ?????????? ????????? ?????? ???????????? ????? ???????? ????????? ???????? ????????? ??????? ???????? ????????? ??????? ?????? ????????? ?????????
“Sungguh kalian akan menyaksikan Rabb kalian pada hari Kiamat sebagaimana kalian menyaksikan bulan di malam purnama dan sebagaimana kalian menyaksikan matahari di siang hari yang cerah tanpa tertutup awan.” (HR. Bukhari no. 554, 806, 7434 dan Muslim no. 182)
Hal itu karena Allah Jalla wa ‘Ala memberikan kekuatan kepada mereka di akhirat sehingga mereka mampu memandang Rabbnya. Adapun di dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa dilihat karena manusia tidak mampu menyaksikan-Nya. Sebab manusia di dunia sangatlah lemah fisiknya, kemampuannya, dan panca indranya sehingga mereka tidak mampu melihat Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Demikian pula, supaya keimanan mereka terhadap alam gaib semakin sempurna. Yang ini merupakan tingkatan iman yang paling tinggi.
Oleh karena itu, tatkala Musa ‘alaihis salam meminta agar Allah menampakkan diri-Nya, Allah sampaikan bahwa Musa tidak akan mampu melihat-Nya. Padahal, Musa merupakan kalimullah ‘Azza wa Jalla yang Allah istimewakan dengan Dia berbicara dengannya, Dia perdengarkan suara-Nya tanpa perantara malaikat, bahkan Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman secara langsung, lantas Musa mendengar-Nya dan berdialog dengan-Nya. Meskipun, Musa ‘alaihis salam memperoleh kedudukan yang istimewa ini, ketika ia meminta kepada Rabbnya, “Ia berkata, Wahai Rabbku, nampakkanlah diri-Mu agar aku dapat melihat-Mu.” Karena ia rindu ingin menyaksikan Rabbnya saat ia mendengar firman-Nya. Lalu Allah menjawab, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Yakni, ketika di dunia. “Karena engkau tidak mampu memandang-Ku.” Kemudian Allah ingin menunjukkan ketidakmampuan Musa menyaksikan Allah di dunia, “Akan tetapi lihatlah ke gunung itu.” Tidak diragukan bahwa gunung lebih besar, lebih kuat, dan lebih kokoh dibandingkan manusia. Meskipun demikian, gunung tersebut tidak mampu bertahan tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan diri-Nya, “Ketika Tuhannya menampakkan diri-Nya kepada gunung itu, Dia jadikan gunung itu hancur luluh.” Allah jadikan gunung tersebut debu yang berhamburan. Gunung tersebut menjadi rata dan berubah menjadi pasir karena keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Dan Musa pun jatuh pingsan.” Dia pingsan karena rasa takut dan pengagungan kepada Allah. Dia pun jatuh pingsan ke tanah. Tatkala ia sadar dan hilang rasa takutnya serta kembali normal kesehatan dan akalnya, ia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama beriman.” (QS. Al-A’raf : 143)
Kisah ini menunjukkan bahwa Allah Jalla wa ‘Ala tidak bisa dilihat oleh seorang pun di dunia sekali pun ia mencapai martabat dan kemuliaan yang tinggi. Bahkan, Musa ‘alaihis salam tidak mampu menyaksikan Rabbnya di dunia. Demikian juga, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam ketika beliau diangkat ke langit, beliau tidak melihat Rabbnya dengan kedua matanya, menurut pendapat yang lebih kuat. Inilah pendapat yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ahlus sunnah bahwa beliau tidak menyaksikan Tuhannya dengan matanya. Akan tetapi, beliau hanya melihat-Nya dengan hatinya. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang mampu memandang Allah di dunia. Allah simpan rukyah (kemampuan memandang wajah-Nya) tersebut untuk para wali-Nya di surga pada hari Kiamat nanti. Merekalah yang kelak akan memandang wajah Allah, penglihatan mereka akan sejuk dengan menyaksikan wajah Allah, mereka menikmati dan berlezat-lezat melihat Rabb mereka Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur`an dan as-sunnah. Ulama kaum muslimin yang terdiri dari salafush shalih dan pengikut mereka menyepakati benarnya akidah bahwa rukyah Rabb Subhanahu wa Ta’ala di negeri akhirat itu pasti terjadi bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dengan demikian, wajib mengimani dan meyakininya. Oleh karena itu, para ulama memasukkan keimanan terhadap rukyah ke dalam permasalahan dan pokok akidah dan mereka menyebutkannya di buku-buku akidah. Supaya seorang muslim meyakini, membenarkan, dan mengimaninya, sedangkan seseorang yang mengingkari rukyah kaum mukminin kepada Rabbnya di hari Kiamat, maka ia divonis sebagai orang kafir –setelah mengetahui dalil-dalil yang menetapkannya- karena ia mendustakan Allah, Rasul-Nya, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Kami memohon ampunan kepada Allah.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya.
Diterjemahkan dari kitab Majalis Syahri Ramadhan al-Mubarak, karya Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, cetakan Dar ‘Ashimah, Riyadh, hlm. 102-104.
Penerjemah: Deni Putri Kusumawati
Muraja’ah: Ustadz Yulian Purnama