Bismillahirrahmanirrahim.
Tahukah Anda, di negeri dengan penduduk yang terkenal dengan orang-orang workaholic atau mempunyai komitmen yang tinggi untuk bekerja sekalipun seperti Jepang, ternyata memiliki 25 ribu gelandangan. Sejumlah 1.697 di antaranya berada di Tokyo. Mayoritas dilatarbelakangi oleh kegagalan. Ketika mereka mengalami kegagalan dalam sebuah rencana, mereka akan menghilangkan identitas dirinya dengan menjadi gelandangan; meninggalkan rumahnya, meninggalkan keluarganya karena mereka merasa malu dengan kegagalan yang dialami. Bahkan sampai pada puncaknya, ada di antara mereka yang sampai bunuh diri. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki tawakal dan mereka tidak tau konsep bagaimana rida pada keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala; dan hal itu berangkat karena mereka tidak memiliki Tuhan.
Di antara hal yang perlu kita perhatikan ketika kita memiliki rencana adalah tawakalkan rencana tersebut kepada Allah dan rida pada semua keputusan Allah setelah menyelesaikan rencana. Sebagaimana penjelasan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah radhiyallahu ‘anhu ketika seorang manusia memiliki rencana, maka di depannya ada takdir. Bagaimana sikap yang tepat agar kita tidak selalu memikirkan rencana, agar hati kita tidak bergantung dengan sebab (usaha) yang kita miliki, dan hati kita tidak merasa kehilangan ketika mengalami kegagalan:
Pertama: Tawakal kepada Allah ketika kita memiliki rencana.
Kedua: Rida pada semua keputusan Allah setelah melakukan rencana.
Jika seseorang bisa menyeimbangkan dua hal ini, setiap dia memiliki rencana, maka insyaallah dia tidak akan terlalu bergantung dengan sebab dan tidak akan merasa kehilangan ketika dia mengalami kegagalan.
Jangan bergantung kepada sebab (usaha)
Bersemangatlah dan jangan malas dalam ikhtiar dengan mengambil sebab. Namun, sebagai insan yang beriman kepada takdir Allah, kita tidak boleh hanya bergantung kepada sebab. Ketika sudah melakukan sebab, maka bertawakallah kepada Allah dan sabar serta rida dalam menyikapi hasil yang diberikan oleh Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah dan janganlah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, ‘Qaddarullah wa maa sya’a fa’ala.’ Karena perkataan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.” (HR. Muslim)
Tentang tawakal
Barangsiapa yang mewujudkan takwa dan tawakal, dia akan dapat menggapai seluruh kebaikan agama dan dunianya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya jalan keluar dan memberi dia rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Alah, maka Dia itu cukup baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allah dalam rangka mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan menghilangkan sesuatu yang tidak disukai, disertai rasa yakin dan diiringi dengan melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan. Tawakal harus mencakup dua perkara. Pertama, bersandarnya hati kepada Allah dengan jujur dan yakin sebenar-benarnya. Kedua, harus disertai dengan mengambil sebab-sebab yang diperbolehkan oleh syariat untuk mencapai tujuannya tersebut.
Barangsiapa yang lebih banyak bersandar kepada sebab, maka kurang rasa tawakalnya kepada Allah dan telah menafikan penjagaan Allah. Seolah-olah dia menjadikan sebab semata sebagai sandaran yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang dia inginkan atau menghilangkan sesuatu yang tidak disukai. Sebaliknya, barangsiapa yang hanya bersandar kepada Allah namun tidak disertai usaha mengambil sebab, berarti telah mencela hikmah Allah Ta’ala, karena hanya Allah yang menjadikan segala sesuatu dengan sebab.
Dari Umar bin Khaththab, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian seperti seekor burung. Pagi-pagi ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi)
Sabar dan rida
Sehubungan dengan apa yang tidak disukainya, seorang hamba bisa menempati salah satu dari dua derajat, yaitu rida atau sabar. Rida adalah yang lebih utama, adapun sabar hukumnya wajib bagi setip insan yang beriman.
Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita yang dihadapinya segera hilang. Sementara rida adalah berlapang dada atas ketetapan Allah dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya. Karena keridaan menghilangkan deritanya disebabkan hatinya dipenuhi oleh ruh yakin dan ma’rifah. Apabila rida semakin kuat, ia mampu menepis seluruh rasa sakit dan derita. Akan tetapi, hanya mereka yang berma’rifah dan bermahabah saja yang dapat mencapai tingkatan rida. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpa karena mereka tahu bahwa musibah itu datang dari Dzat yang dicintainya.
Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Barangsiapa yang rida, niscaya ia akan mendapatkan rida-Nya. Barangsiapa kesal dan benci, niscaya ia akan mendapatkan murka-Nya.” (HR. At-Tirmidzi)
Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah menjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan rida; serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan, kekesalan, dan kemurkaan.”
***
Penulis: Atma Beauty Muslimawati
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Adika Mianoki. 2014. Jawaban 3 Pertanyaan Kubur. Yogyakarta: Pustaka Muslim.
Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dan Imam Al-Ghazali. 2004. Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih. Solo: Pustaka Arafah.