Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Alhamdulillaah, wash-sholaatu was salaamu ‘alaa Rasuulillaah wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi wa man waalah. Amma ba’du,
Saudariku, yang kucintai karena Allah…
Bersyukurlah, hingga detik ini hidayah Islam masih tetap meliputimu. Walhamdulillaah… semoga Allah menetapkan nikmat ini hingga ajal datang menghampiri. Karena, apalah artinya jika rizki dari langit dan bumi tercurah, sementara kita tertahan dari nikmat Islam dan nikmat tauhid.
Namun, hendaknya kita tidak terlena dan merasa telah aman. Sebab ujian itu laksana tamu. Datang, berlalu, datang kembali, begitu seterusnya. Seperti ujian yang satu ini, yang seringkali kita luput darinya. Perkara yang samar, yang Rasuulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam peringatkan para sahabat dalam sabda beliau,
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”
Para sahabat pun bertanya,”Wahai Rasuulullaah, apakah syirik kecil itu?”
Beliau menjawab, “riya’.”
(HR. Ahmad, Shahih).
Para sahabat saja, yang merupakan generasi utama umat ini dikhawatirkan terjangkiti riya’, bagaimana dengan kita???
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk mengenal lebih jauh tentang riya’ dan berupaya untuk menjaga diri darinya.
Apa itu Riya’?
“Menampakkan ketaatan agar dilihat manusia dan menuai pujian darinya”, inilah definisi dari riya’. Cukuplah seseorang dikatakan telah berlaku riya’ jika memenuhi kedua syarat berikut: 1) yang ditampakkan adalah amalan ibadah, dan 2) bertujuan agar dilihat dan dipuji manusia.
Jadi, tidaklah dikatakan riya’ yang syirik, apabila yang ditampakkan adalah selain amal ibadah meskipun tujuannya agar dilihat dan dipuji manusia. Pun, tidaklah seseorang dikatakan riya’ jika ia menampakkan ibadah bukan bertujuan meraih pujian manusia, tetapi untuk memberikan contoh yang baik kepada orang lain dalam amal ibadah, sedangkan ia termasuk orang yang ditokohkan di masyarakatnya.
Di samping riya’, mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan sum’ah. Apa itu sum’ah? Ringkasnya, sum’ah ialah melakukan suatu amalan ibadah agar manusia mendengar dan memujinya. Jadi, riya’ terkait dengan amalan-amalan yang dapat dilihat manusia, seperti sholat, sedekah, dan yang semisalnya. Adapun sum’ah, erat kaitannya dengan amalan-amalan qauliyah (amalan lisan -ed), yang dapat didengar manusia, seperti membaca Al-Qur`an dan melafadzkan dzikir untuk didengar dan dipuji manusia.
Pembagian Riya’ Berdasarkan Hukumnya
Riya’ jika ditinjau dari hukumnya dibagi menjadi dua, yaitu syirkun akbar dan syirkun asghar.
~Syirkun Akbar (syirik besar)
Riya’ dapat dihukumi syirik besar apabila seseorang meniatkan seluruh amalannya semata-mata untuk dilihat dan dipuji manusia tanpa sedikitpun terbesit niat untuk meraih keridhoan Allah ‘Azza wa Jalla, ia hanya ingin tinggal aman di lingkungan kaum muslimin, terjaga darah dan hartanya, maka ini riya’ kaum munafikin. Riya’ seperti ini tidak muncul dari diri seorang mukmin. [Lihat : I’aanatul Mustafid, Syaikh Sholeh Al-Fauzan].
Tidak tanggung-tanggung, seluruh amal ibadah yang terkontaminasi riya’ bisa menyeret pelakunya pada syirik besar. Dosa besar nomor wahid yang pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah sampai ia bertaubat. Sebagaimana dalam surah An-Nisaa’ ayat 48, yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (akbar) dan Dia mengampuni dosa di bawah tingkatan (syirik akbar) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.”
Benar, bukanlah perkara yang ringan dan mudah untuk menghadirkan keikhlasan dan menjauhkan diri dari riya` dalam setiap amal yang kita lakukan. Bahkan seseorang yang mengklaim dirinya telah ikhlas dalam beramal, sehingga ia ujub dengan amalnya, maka hakikatnya dia belum ikhlas. Maka saudariku, tetaplah engkau waspada!
~Syirkun Asghar (Syirik Kecil)
Riya’ dihukumi syirik kecil apabila menjangkiti sebagian amal-amal ibadah yang dilakukan seorang mukmin. Lihatlah, orang-orang mukmin amat rentan akan syirik jenis ini. Jadi, tak ada celah untuk kita terlena dan merasa telah aman dari kesyirikan!
(Bersambung, in syaa Allah)
*****
Penulis: Mentari Anggun
Muroja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslimah.or.id