Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali harapan tidak sesuai kenyataan. Ketika awal menikah, cinta begitu menggebu. Impian begitu ideal atau seringkali kekurangan tidak menjadi pertimbangan. Namun setelah menikah, kita akan menemui persoalan-persoalan dalam rumah tangga yang memerlukan solusi atau penyelesaian.
Persoalan ini sangat beragam. Mulai dari persoalan ekonomi, keluarga besar, sampai anak-anak. Ketika kehidupan menemui persoalannya, saat itulah pikiran mulai teralihkan. Dari rasa cinta yang awalnya begitu bergairah akhirnya beralih menjadi memikirkan masalah. Akhirnya perasaan ini pudar.
Pada saat masalah tidak terselesaikan, yang timbul akhirnya kekecewaan. Awalnya melihat melihat istri begitu cantik, sekarang kok menjadi kelihatan tua. Awalnya melihat suami tampan dan romantis, sekarang jadi begitu menyebalkan. Jadi seolah-olah pasangan tidak sesuai keinginan. Padahal sejak awal itulah pilihannya. Ketika mau menikah masing-masing bisa menerima kekurangan. Kenapa sudah menikah jadi berat dan selalu ingin mengeluh? Mengapa ini bisa terjadi?
Ini bisa terjadi ketika pernikahan hanya dilandasi rasa cinta karena naluri semata. Biasanya begitu bergairah dan menggebu-gebu serta biasanya memang hanya distimulasi dengan fakta-fakta indah saja. Begitu ketemu fakta yang tidak indah, langsung cintanya memudar. Beda bila pernikahan itu dilandasi oleh komitmen pada suatu nilai. Komitmen ini bisa komitmen moral seperti dalam rangka menghormati orang tua ataupun komitmen pendidikan anak. Tetapi komitmen yang paling tinggi atau yang terkuat adalah komitmen karena agama.
Memang komitmen moral bisa menjadi perekat, tetapi yang paling kuat adalah komitmen agama. Ali bin Abi Thalib –radhiyall?hu ‘anhu– ketika menjawab orang yang meminta pertimbangan kepadanya dengan nasihat, sebagaimana yang dituturkan oleh Hasan, “Nikahkanlah ia dengan orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebab jika lelaki itu mencintainya, ia pasti memuliakannya. Dan jika ia tidak menyenanginya, ia tidak akan berbuat zhalim kepadanya.”
“Kurang” itu Bawaan Setiap Orang
Kurang artinya tidak cukup. Namanya saja kurang, tak ada orang yang mau, karena ia tidak sesuai dengan harapan yang biasanya melahirkan masalah. Namun, sesuatu yang kurang ini justru ada pada setiap orang, termasuk pasangan Anda, bahkan Anda pun tak terkecualikan darinya.
Anggaplah kekurangan pasangan itu melahirkan persoalan, akan tetapi bukankah ia juga memiliki kebaikan-kebaikan? Dan secara umum, kebaikannya lebih besar dan lebih banyak. Karena itu Anda jangan melulu memandang dengan mata marah dan kesal, karena lumrah dalam kondisi marah dan kesal, yang terlihat di depan mata adalah keburukan.
Imam asy-Syafi’i berkata: “Mata kerelaan itu buta terhadap segala aib sebagaimana mata kebencian membuka keburukan.”
Al Qur’an mengajak melihat dua sisi, kelebihan dan kekurangan secara berimbang, dalam konteks perceraian yang biasanya terjadi dalam kondisi benci, ayat Al Qur’an memerintahkan untuk tidak melupakan keutamaan di antara pasangan. Firman Allah Jalla Jalaaluhu,
? ????? ???????? ????????? ?????????? ????? ????? ????? ??????????? ???????
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 237)
Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallaahu’alaihi wa Sallam bersabda:
??? ???????? ???????? ?????????? ??? ?????? ??????? ??????? ?????? ??????? ?????
“Hendaklah seorang mukmin tidak membenci seorang mukminah, jika dia tidak menyukai perangainya niscaa dia menyukai yang lain.” (Riwayat Muslim)
————————————————————————————
Diketik ulang dari Majalah Nikah Volume 11, No.6
Artikel muslimah.or.id