Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ’anhu bertutur, “Barang siapa ikhlas niatnya dalam meniti jalan yang benar — walaupun hanya untuk dirinya sendiri — Allah akan berikan kecukupan kepadanya dalam hubungan antara dia dengan orang lain. Dan barang siapa berhias dengan sesuatu yang tidak dia miliki, maka Allah akan memberikan keburukan padanya.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengomentari perkataan Umar radhiyallahu ’anhu di atas, “Perkataan ini mirip sabda Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam dan pantas jika keluar dari seorang ahli hadits yang menyampaikan kedua kalimat ini sebagai bagian dari simpanan-simpanan ilmu dan infak terbaik dari keduanya. Mudah-mudahan bermanfaat bagi yang lainnya dengan sebaik-baik manfaat.
Adapun kalimat pertama (barang siapa yang ikhlas niatnya dalam meniti jalan yang benar — walaupun hanya untuk dirinya sendiri — Allah akan berikan kecukupan padanya dalam berhubungan antara dia dengan orang lain), ini merupakan sumber dan asal dari kebaikan.
Sedangkan kalimat yang kedua (Dan barangsiapa berhias dengan sesuatu yang tidak dia miliki, maka Allah akan memberikan keburukan padanya), ini merupakan asal dan bagian dari kejelekan.
Jika seorang hamba niatnya ikhlas karena Allah; tujuan, keinginan, dan amalannya hanya mengharap wajah-Nya, maka Allah akan senantiasa bersamanya, karena sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan. Puncak ketakwaan dan kebaikan adalah mengikhlaskan niat hanya kepada Allah didalam mengamalkan kebenaran, dan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang tidak tertandingi oleh sesuatu pun.
Apabila Allah telah menyertai seseorang, maka siapakah yang dapat mengalahkan atau menimpakan kejelekan padanya?
Apabila Allah telah bersama seorang hamba, maka siapa yang merasa takut?
Kalau Allah tidak lagi menyertai seorang hamba, maka siapa lagi yang diharapkan pertolongannya? Siapa lagi yang dapat dia percaya? Siapa lagi yang akan menolongnya selain Allah?
Jika ada seseorang yang mengamalkan kebenaran untuk orang lain, sebenarnya mengamalkan hal itu untuk dirinya sendiri adalah lebih utama.
Dia ikhlaskan amalan itu karena Allah, untuk Allah, dan dia tidak lakukan itu semua untuk siapa pun.
Andai saja langit yang tujuh, bumi, dan gunung-gunung menghalanginya, niscaya Allah akan mengatasi semua permasalahannya.
Hanya saja, biasanya seseorang melalaikan dan tidak sempurna keikhlasannya pada tiga perkara: tujuan, keinginan, dan amalan; dua di antaranya atau salah satunya.
Barang siapa yang amalannya dalam kebatilan maka dia tidak akan ditolong oleh Allah. Kalau seandainya ia ditolong oleh seseorang, itu tidaklah bermanfaat baginya, sejatinya dia adalah orang yang hina dan tidak tertolong.
Apabila yang dia amalkan adalah kebenaran namun ia tidak ikhlas karena Allah tetapi untuk mencari pujian, ucapan terima kasih dan balasan dari makhluq-Nya, atau tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan perkara duniawi, dan mengamalkan al-haq hanyalah sebagai perantara untuk mendapatkan dunia, maka semua itu tidak menjadi jaminan baginya untuk mendapatkan pertolongan.
Sesungguhnya Allah hanya menjamin pertolongan-Nya untuk siapa yang sungguh-sungguh berada di jalan-Nya dan berjihad untuk meninggikan kalimat-Nya. Bukan untuk orang-orang yang beramal demi diri dan hawa nafsunya, karena yang seperti ini bukanlah orang yang bertakwa, bukan pula termasuk orang yang berbuat kebaikan. Kalau pun dia tertolong, itu hanyalah sebatas kebenaran yang ada padanya, karena Allah tidak menolong hamba-Nya kecuali siapa saja yang berada dalam kebenaran.
Seandainya suatu negara dikuasai oleh ahlul bathil maka Allah akan menolong mereka sebatas kesabaran yang ada pada penduduk negeri itu, karena sesungguhnya kesabaran akan selalu tertolong. Apabila orang yang bersabar itu di atas kebenaran, pada akhirnya dia akan mendapatkan pertolongan. Namun apabila orang yang bersabar itu di atas kebathilan, maka pada akhirnya dia tidak akan mendapatkan pertolongan.
Jika seorang hamba beramal di atas kebenaran, ikhlas karena Allah, tetapi menyandarkan kepada diri dan kekuatannya dalam beramal — tidak menyandarkannya kepada Allah, tidak minta pertolongan, bertawakkal dan menyerahkan urusannya hanya kepada Allah, tetapi dia merasa bahwa usaha dan kekuatan itu tidaklah muncul kecuali dari usahanya sendiri — maka baginya kehinaan dan lemahnya pertolongan sesuai dengan apa yang dia amalkan.
Inti dari permasalahan ini adalah: murninya kedua tauhid (uluhiyyah dan rububiyyah) pada diri seseorang dalam beribadah kepada Allah — tanpa tercampuri apa pun — akan menjamin pertolongan baginya walau dia dipimpin oleh musuh-musuh Allah.
Imam Ahmad rahimahullah — dengan sanad yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha — ; dia berkata, “Barang siapa dibenci oleh manusia karena berada di atas keridhaan Allah maka cukuplah baginya ridha Allah. Barang siapa mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang dibenci Allah maka Allah akan menyerahkan urusannya kepada manusia.”
— Selesai perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah —
— Bersambung, insyaallah —
Disalin dari buku Menjadi Istri Sejati oleh Badr bin Ali bin Thami Al-‘Utaibi. Judul asli: ’Isyruuna Nashiihah Li-Ukhtii Qobla Zawaajiha, Penerbit: Cahaya Tauhid Press, Malang.
Disertai pengeditan bahasa oleh Redaksi Muslimah.Or.Id.
—
Artikel Muslimah.Or.Id
Tapi seringkali menemui seseorang yg sangat khusyuk beribadah,tapi tidak mendalami ajaran2 islam,sehingga dia terkesan ‘terserah orang mau bilang apa yang penting Alloh maha tahu yang ada di dalam hatiku’…padahal sebenarnya yang orang bilang adalah sebuah kritikan baik,jika dia mau mendengarkan.