Sanad yang Terputus1
- Penjelasannya
- Pembagiannya
- Hukumnya
1. Sanad yang terputus (منقطع السند) adalah yang tidak bersambung sanadnya, dan telah disebutkan bahwa di antara syarat hadits shahih yang berjumlah lima, salah satunya adalah bersambung sanadnya.
2. Sanad yang terputus terbagi menjadi empat: mursal, mu’alaq, mu’dhal dan munqathi’.
Mursal (المرسل)
Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak mendengar langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam2.
Mu’allaq (المعلق)
Mu’allaq adalah hadits yang dihilangkan awal atau terkadang yang dimaksudkan adalah yang dibuang semua sanadnya, seperti perkataan Imam Bukhari, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingat Allah di setiap keadaannya”3. Adapun hadits yang dinukil penulis kitab, misal Umdatul Ahkam yang dinisbatkan pada aslinya, maka tidak dinilai sebagai hadits mu’allaq karena orang yang menukil tidak menyandarkan hadits tersebut pada dirinya. Akan tetapi dinisbatkan, misal “Diriwayatkan oleh Abu Daud”.
Mu’dhal (المعضل)
Mu’dhal adalah hadits yang dibuang di tengah-tengah sanadnya, dua rawi secara berturut-turut.
Munqathi’4 (المنقطع)
Munqathi’ adalah hadits yang dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut. Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk di dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhal dan munqathi’ itu sendiri5.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, ia berkata, “Menceritakan pada kami Abdullah bin Az Zubair Al Humaidi6, ia berkata, telah menceritakan pada kami Sufyan, ia berkata, telah menceritakan pada kami Yahya bin Sa’id Al Anshari, ia berkata, telah mengngabarkanku Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwasannya ia mendengar dari Alqamah bin Abi Waqash Al Laitsi mengatakan, aku mendengar ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu di atas mimbar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya'” hingga akhir hadits.
Maka jika dibuang dari sanad tersebut, ‘Umar bin Khattab radhyiallahu ‘anhu, dinamakan hadits mursal.
Jika yang dibuang Al Humaidi dinamakan hadits mu’allaq.
Jika yang dibuang Sufyan dan Yahya dinamakan hadits mu’dhal.
Jika yang dibuang Sufyan saja atau bersama at-Taimi dinamakan hadits munqathi’.
3. Seluruh hadits munqathi’ ditolak dikarenakan ketidaktahuan keadaan rawi yang dibuang. Namun berikut ini adalah munqathi’ yang dikecualikan dari penolakan tersebut:
- Mursal sahabat7
- Mursal kibar tabi’in8. Menurut sebagian besar ulama adalah shahih jika dikuatkan oleh mursal yang lain atau diamalkan para sahabat atau dengan qiyas.
- Mu’alaq. Jika dengan bentuk kata yang tegas dalam kitab yang komitmen dengan hadits-hadits shahih, seperti Shahih Bukhari9.
- Hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari jalan yang lain yang memenuhi semua persyaratan untuk diterimanya hadits10.
Tadlis
- Penjelasannya
- Pembagiannya
- Tingkatan mudallis
- Hukum perawi yang mudallis
1. Tadlis (التدليس) adalah membawakan hadits dengan satu sanad sehingga dipahami bahwa sanad tersebut lebih tinggi dari pada kualitas senyatanya.
2. Tadlis terbagi menjadi dua: tadlis isnad dan tadlis guru.
Tadlis isnad (تدليس الإسناد)
Tadlis isnad adalah seorang rawi meriwayatkan dari orang yang dijumpainya, hadits yang tidak dia dengar atau tidak dia lihat perbuatannya dengan kata-kata yang bisa dipahami bahwa orang tersebut mendengar atau melihatnya secara langsung. Contohnya: “Ia berkata” (قال), “ia melakukan” (فعل), “dari fulan” (عن فلان), “fulan berkata” (قال فلان), ”fulan melakukan” (فعل فلان) dan yang semisal itu.
Tadlis guru (تدليس الشيوخ)
Tadlis guru adalah seorang rawi menamakan gurunya, atau mensifatinya dengan nama atau sifat yang tidak terkenal sehingga gurunya tidak dikenal. Hal ini disebabkan mungkin karena gurunya lebih muda darinya, dan ia tidak suka jika diketahui meriwayatkan dari yang lebih muda, atau agar orang mengira gurunya banyak, atau maksud-maksud lainnya.
3. Rawi mudallis ada banyak; ada yang dha’if dan ada yang tsiqoh seperti Hasan Al Bashri, Humaid At Tuwaili, Sulaiman bin Mahron Al ‘Amasy, Muhammad bin Ishaq dan Walid bin Muslim. Al Hafidz Ibnu Hajar mengklasifikasikan rawi mudallis menjadi lima tingkatan:
- Rawi yang tidak divonis melakukan tadlis kecuali langka. Seperti Yahya bin Sa’id.
- Rawi yang para imam masih berlapang dada terhadap tadlisnya (masih dimaafkan). Oleh karena itulah para ulama masih memakai riwayatnya dalam kitab shahih karena dia adalah seorang imam dan sedikitnya tadlis yang dia lakukan jika dibandingkan dengan riwayat yang dia sampaikan, semacam tadlisnya Imam Sufyan Ats-Tsauri. Atau karena rawi tersebut tidak melakukan tadlis kecuali dari seorang rawi yang tsiqah, semacam Imam Sufyan bin ‘Uyainah.
- Rawi yang sering melakukan tadlis tanpa membatasi diri dengan rawi-rawi yang tsiqoh. Sehingga yang tidak disebutkan boleh jadi rawi tsiqah ataupun rawi yang dha’if. Semacam Abu Zubair Al Makiy.
- Rawi yang mayoritas tadlisnya adalah rawi yang dha’if dan tidak dikenal. Seperti Baqiyah bin Al Walid.
- Orang yang disamping melakukan tadlis, memiliki kelemahan karena faktor lain. Misal, ‘Abdulah bin Luhai’ah11.
4. Hadits mudallis tidak diterima kecuali mudallisnya adalah orang yang tsiqah (terpercaya), dan dia menegaskan bahwa ia mengambilnya secara langsung dari gurunya dengan perkataan “aku
mendengar fulan berkata” (سمعت فلان), “aku melihat ia melakukan” (رأيته يفعل), “telah menceritakan padaku” (حدثني فلان) dan yang semacam itu. Akan tetapi riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dengan bentuk tadlis dari rawi tsiqah yang mudallis, maka haditsnya diterima karena umat Islam menerima semua riwayat dari kedua Imam tersebut dengan tanpa perincian.
Mudhtharib
- Penjelasannya
- Hukumnya
1. Mudhtharib (المضطرب) adalah hadits yang para rawinya berselisih dalam sanad atau matannya yang tidak mungkin dikompromikan.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar radhiyallahu’anhu bahwasannya ia berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku melihat engkau beruban”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku beruban karena memikirkan yang Allah turunkan dalam surat Hud dan surat-surat sejenisnya.”
Hadits ini diperselisihkan dalam 10 masalah. Hadits ini ada yang diriwayatkan secara maushul dan mursal. Ada yang mengatakan dari Abu Bakar, ada yang dari ‘Aisyah atau Sa’ad dengan perselisihan yang tidak mungkin dikompromikan atau dirajihkan (dipilih yang lebih kuat).
- Jika mungkin dikompromikan;
Maka wajib dikompromikan dan hilanglah status idhthirab12.
Contohnya:
Perbedaan riwayat tentang jenis ihram Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji wada’. Sebagian mengatakan Nabi haji ifrad saja, ada yang mengatakan haji tamatu’ ada juga yang mengatakan bahwa Nabi melakukan haji qiran13.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada kontradiksi dalam hal tersebut. Nabi melakukan tamatu’ qiran. Qiran bisa juga disebut tamatu’. Tamatu’ ada dua macam, yaitu tamatu’ dengan makna tamatu’ dan tamatu’ dengan makna qiran. Tamatu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tamatu’ qiran. Dan nabi menyendirikan perbuatan manasik haji dan menggandengkan antara dua ibadah yaitu umroh dan haji. Maka haji itu adalah haji qiran dengan menyatukan manasik. Jadi, disebut haji ifrad dengan pertimbangan bahwa Nabi mencukupkan degan satu tawaf dan sa’i, dan disebut mutamatu’ dengan pertimbangan kesenangan yang beliau dapatkan dengan meninggalkan salah satu dari dua safar.” - Jika mungkin dirajihkan;
Wajib mengamalkan yang dan hilanglah status idhthirab.
Contohnya:
Perselisihan pada riwayat hadits Barirah radhiyallahu ‘anha ketika dia dimerdekakan dari status budak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya pilihan antara tetap bersama suaminya atau berpisah dari suaminya14.Perselisihannya: Apakah suaminya adalah orang yang merdeka atau budak?Diriwayatkan dari Al Aswad dari ‘Aisyah15 radhiyallahu ‘anha bahwasannya suaminya adalah orang yang merdeka. Tapi riwayat dari ‘Urwah bin Zubair16 dan Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar bahwasannya suaminya adalah seorang budak.
Yang dinilai rajih dari kedua riwayat tersebut riwayat ‘Urwah bin Zubair dan Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar dikarenakan kedekatan keduanya dengan ‘Aisyah. ‘Aisyah adalah bibi dari ‘Urwah dan bibi dari Qasim. Sedangkan Al Aswad tidak punya hubungan dengan ‘Aisyah ditambah ada keterputusan di dalam riwayatnya.
2. Hukum hadits mudhtarib adalah dha’if dan tidak dapat dijadikan hujjah. Karena idhthirabnya menunjukkan adanya rawi yang tidak kuat hafalannya. Akan tetapi jika idhthirab tersebut tidak berkaitan dengan pokok hadits, maka tidak mengapa.
Contohnya:
Perselisihan perawi dalam hadits dari Fadhalah bin ‘Ubaid rodhiallahu ‘anhu, bahwasannnya ia membeli kalung pada perang Haibar sebanyak 12 dinar. Pada kalung tersebut terdapat emas dan manik-manik. Ia berkata, “Maka aku memisahkannya dan aku mendapatkannya nilainya lebih dari 12 dinar. Lalu aku menceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun bersabda, “Kalung tersebut tidak boleh dijual sampai dipisah.”
Maka pada riwayat yang lain, Fadhalahlah yang membeli kalung tersebut. Riwayat lainnya, ada orang lain selain Fadhalah yang bertanya tentang hukum membeli kalung tersebut.
Dalam riwayat lain: Bahwasannya itu emas dan manik-manik.
Pada riwayat yang lain: Emas dan permata.
Riwayat yang lain: Manik-manik yang digantungi emas.
Riwayat yang lain: dengan nilai 11 dinar.
Riwayat yang lain: dengan nilai 9 dinar.
Riwayat yang lain: dengan nilai 7 dinar.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perselisihan ini tidaklah menyebabkan kelemahan hadits, karena maksud pokok dari berdalil dengan hadits tersebut tetap terjaga dan tidak ada perselisihan di dalamnya, yaitu pelarangan jual beli sesuatu yang belum terpisah. Adapun jenisnya atau kadar, ukuran harganya maka dalam hal ini tidak memiliki hubungan dengan menjadi idththirab atau tidak.”
Demikian pula bukan penyebab idhthirab, perbedaan tentang nama perawi, kunyahnya atau yang semacam itu, padahal yang dimaksudkan adalah sama sebagaimana didapatkan pada banyak hadits-hadits yang shahih.
3 Atau hadits yang dibuang di awal sanad. Awal sanad adalah orang yang berada di atas pencatat hadits. Orang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah akhir sanad. Terkadang dibuang semua sanadnya oleh Imam Bukhari. Mu’allaq dalam Imam Bukhari disebutkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam salah
satu kitabnya.
5 Sebagaimana Islam itu punya tingkatan, yaitu Islam, Iman, Ihsan. Jadi, Islam itu ada di Islam itu sendiri.
7 Semacam ucapan Ibnu Abbas tentang turunnya wahyu pertama kali. Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum hijrah. Maka tentu dia tidak mengetahui dan tidak menyaksikan langsung kejadian di awal wahyu, sehingga tentu dia mendapatkan dari sahabat yang lain. Mursal shahabi tidak mempengaruhi keabsahan hadits. Karena meski kita tidak mengetahui sahabat yang dibuang, akan tetapi itu tidaklah masalah karena semua sahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah adil.
8 Kibar tabi’in : mereka yang mayoritas riwayatnya berasal dari para sahabat, seperti Sa’id bin Musayyib, ‘Urwah bin Zubair. Jadi, mereka sedikit meriwayatkan dari sesama tabi’in.
9 Akan tetapi, hadits mu’allaq dalam Shahih Bukhari bukanlah sebagai bagian dari Shahih Bukhari meskipun ia tercantum dalam kitab Shahih Bukhari. Oleh karena itu ketika orang menyampaikan hadits mu’allaq Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari harus disebutkan, “Diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu’allaq” karena mu’allaq tersebut bukan bagian dari Shahih Bukhari. Karena judul asli kitab Shahih Bukhari adalah Al Jam’i As Shahih Al Musnad. Al Jami’ yaitu kitab hadits yang mengumpulkan hadits dalam banyak bab, baik fikih dan selainnya. Kalau hanya dalam bab fikih saja disebut Sunan. Mu’allaq dalam Shahih Bukhari ada kata-kata yang tegas ada yang tidak tegas. Jika yang tidak tegas maka Imam Bukhari tidak menjamin keshahihan hadits ini. Sedangkan Al Musnad adalah yang bersanad.
10 Ada pertanyaan, “Apakah semua hadits yang shahih diamalkan?” Belum tentu. Dilihat dulu, apakah hadits tersebut mansukh. Jadi masih harus melihat hal yang lainnya. Misalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika ada jenazah lewat. Hadits ini shahih. Tapi kemudian mansukh. Karena setelah itu nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk berdiri ketika jenazah lewat. Dan juga tidak setiap hadits dha’if ditinggalkan. Jika bisa naik menjadi hadits hasan lighairi, maka hadits dha’if tersebut bisa diamalkan.
Bismillah
Saya mau idzin untuk meng-copy file ini.
Jazzakumullahu Khairan wa baarakallahu fiikum.
barookaallohufikum
kepada yang menyediakan file ini sy mhon izin mengcopy nya dan trimakaasih
Jazakallah ilmunya, ijin copy.
Mustahalah Hadits serie 7 dan 8 ada tidak?
Syukron
Assalmu’alaikum wr.
Trims u penulis dan penyedia file ini (muslimah.or.id), sgt bermnafaat bg pemerhati ilmu Hadits. Kok ga’da daftr refrensnya mas?
Dimana letak footnotenya?
aku ikutan ngopy file ini ya? T.Q
ga da lafadz hadits mu’dholnya ya????
izin copy dan potong