Dakwah adalah tanda kasih sayang
Seringkali ketika mendapat suatu ilmu yang berharga, yang membuat kita semakin takut kepada Allah, semakin memunculkan rasa harap kita kepada Allah, kita menginginkan untuk menyebarkan hal tersebut kepada orang-orang tersayang. Maka, ini merupakan suatu pertanda baik bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian, hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya Jami’ Al-’Ulum wal Hikam (1: 306), “Hadis Anas ini menunjukkan bahwa seorang mukmin adalah orang yang membahagiakan saudaranya yang beriman. Dia menginginkan bagi saudaranya tersebut apa yang ia inginkan untuk dirinya juga dalam kebaikan. Dan hal ini akan menimbulkan kelapangan dada, bebasnya hati dari penyakit, rasa benci, dan hasad.” (Fathul Qowiyyil Matiin, hal. 133)
Ketika seseorang itu menginginkan yang baik bagi saudaranya, hal ini merupakan tanda baiknya iman seseorang kepada Allah dan hari akhir. Karena selamatnya hati dari penyakit merupakan konsekuensi dari iman. Termasuk di antara kebaikan yang kita ingin berikan kepada saudara kita adalah nasihat. Dari Abu Ruqayyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدين النصيحة. قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan muslimin secara umum.” (HR. Muslim)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (الدين النصيحة) menandakan bahwa nasihat adalah pondasi dan hal yang sangat penting dalam agama. Dakwah ini adalah nasihat yang ingin kita hadiahkan kepada saudara kita dalam iman, dalam rangka memperbaiki diri dengan harapan yang besar untuk mendapatkan kasih sayang Allah Ta’ala, agar kita dan saudara kita dalam iman bisa menjadi sahabat selamanya di surga. Allah Ta’ala berfirman,
ٱلْأَخِلَّآءُ يَوْمَئِذٍۭ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Di antara niat yang harus kita pegang dalam menuntut ilmu adalah agar kita bisa menjadi orang yang menebarkan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami (Rasulullah), lalu ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Bisa jadi orang tersebut lebih paham (lebih mengerti) daripada orang yang pertama kali mendengarnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2657, beliau menilai hadis ini hasan shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
ليبلغ الشاهد الغائب, فإن الشاهد عسى أن يبلغ من هو أوعى له منه
“Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena bisa jadi orang yang hadir itu menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR. Bukhari no 67)
Sampaikan ilmu, meskipun merasa tak didengar
Sampaikanlah ilmu, meskipun dirimu merasa tak didengar. Tulislah ilmu, meski kau merasa tak ada yang membaca. Karena eksistensi ilmu harus selalu ada, meski mungkin tak didengar maupun dibaca. Sampaikanlah ilmu karena Allah, bukan karena pendengarnya, maupun pembacanya. Karena akan ada masa di mana ilmu itu hilang, tidak diketahui orang, dan di situlah saatnya orang-orang menjadi bodoh akan Tuhannya. Itu adalah masa di mana ilmu dilupakan dan hilang. Ini merupakan petunjuk bahwasanya ilmu mengenai agama adalah hal yang penting untuk umat.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan di dalam Al-Qaulul Mufid (hal. 239), “Ketika ilmu itu hilang, maka kebodohan akan menggantikannya. Dan ketika kebodohan telah menempati posisinya, maka jangan tanya bagaimana keadaan manusia. Akan datang suatu masa, ketika mereka tidak mengetahui bagaimana cara beribadah kepada Allah, dan bagaimana cara mendekatkan diri kepada-Nya.”
Hilangnya ilmu juga bisa disebabkan karena meninggalnya para ulama, dan juga ketika orang-orang berpaling dari ilmu. Terlalu sibuk dengan urusan dunia, dan tidak ada ketertarikan dalam hal agama. Dan adakalanya, ilmu antara ada dan tiada. Itulah ketika banyak orang yang membaca tentang ilmu, namun tidak mengamalkannya.
Ilmu: Antara ada dan tiada
Yaitu ketika ilmu itu ada, tapi tidak diamalkan; atau ketika kita mengetahui pentingnya menyebarkan ilmu, namun yang kita harapkan bukanlah wajah Allah. Yang diharapkan adalah dunia, baik berupa harta, popularitas, simpati orang, pencitraan, dan lainnya. Dakwah bukan lagi menjadi tanda cinta, bukan lagi menjadi tanda iman, tapi menjadi ‘industri’ yang menghasilkan. Dakwah adalah jihad yang memang membutuhkan harta untuk keberlangsungannya. Namun, apalah artinya, ketika dakwah dikaitkan dengan tanda cinta, namun ia masih melihat saudaranya kesulitan sedangkan ia bisa hidup mewah dari dakwah. Bukankah di antara tanda sempurnanya iman adalah “mencintai untuk saudaranya, sebagaimana ia cintai untuk dirinya”?
Keikhlasan memang hal yang abstrak, tidak ada yang mengetahui hal itu selain dia dan Allah. Namun, hendaknya kita memperhatikan jiwa kita masing-masing, dalam berdakwah, dalam menuntut dan menyebarkan ilmu. Ilmu itu untuk apa? Juga perlu kita perbaiki hati kita dengan mengenal bagaimana tanda keikhlasan seorang penuntut ilmu.
Tanda keikhlasan dalam menuntut ilmu
Syekh Wahib bin Abdussalam Bali hafizhahullah mengatakan, di antara niat yang harus dipasang oleh seorang penuntut ilmu, yang ini merupakan tanda keikhlasan seorang penuntut ilmu, adalah:
1) Menghilangkan kebodohan dalam diri.
2) Beribadah kepada Allah di atas ilmu.
3) Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menuntut ilmu, karena menuntut ilmu adalah jihad.
4) Beribadah kepada Allah dengan cara menuntut ilmu karena kegiatan tersebut adalah ibadah.
5) Meningkatkan rasa takut kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
6) Meningkatkan derajat di sisi Allah. Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
7) Waspada dalam niat menuntut ilmu untuk kepentingan dunia. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya dipelajari untuk mengharap wajah Allah (rida Allah), namun dia mempelajarinya hanya untuk memperoleh bagian dari dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no 3664 dan Ibnu Majah no 252) (Bidayah Al-Mutafaqqih, hal. 23-24)
Semoga Allah senantiasa menjaga kita, menjaga seluruh peribadatan kita kepada Allah agar terbebas dari kesyirikan. Dunia memang penuh dengan hiasan, tapi itulah tipuannya. Begitu indah, tapi sangat hina bagi orang-orang yang mengenal hakikatnya. Semoga Allah menjaga kita menjadi hamba dunia. Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam Al-Qaulul Mufid (hal. 261), “Barangsiapa yang berbuat dengan tujuan dunia, maka dialah hamba dunia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersada,
تعس عبد الدينار, تعس عبد الدرهم
“Celaka hamba dinar, celaka hamba dirham.” (HR. Bukhari)
Baca juga: Pentingnya Dakwah Tauhid Kepada Keluarga Kita
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-’Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1438. Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid. Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
- Al-Badr, Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Abbad. Fathul Qowiyyil Matin fii Syarhil Arba’in wa Tatimmatil Khomsin.
- Bali, Wahid bin Abdussalam. 1432. Bidayatul Mutafaqqih. Daarul Fawaid, Kairo.



