Sebelum membahas permasalahan di atas, maka kita perlu mengetahui juga apa hukum suara wanita, apakah ia aurat atau bukan? Ada dua pendapat para ulama mengenai hal ini:
Pertama, suara wanita termasuk aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi wanita untuk mengangkat suaranya ketika bertalbiyah (dalam ibadah haji atau umrah), atau berzikir dengan suara keras untuk memberi tahu imam jika terjadi kesalahan dalam salat. Sebaliknya, ia cukup bertepuk tangan (sebagaimana dituntunkan syariat bagi wanita dalam salat).
Dan jika hukum asalnya saja tidak boleh memperdengarkan suara kepada laki-laki asing, maka lebih-lebih lagi tidak boleh melembutkan, memanjangkan, atau memperindah suara — baik dalam bacaan (seperti membaca Al-Qur’an) maupun dalam berbicara.
Sebab, bersikap lembut dan memperindah suara biasanya menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat, sehingga dilarang untuk membuka jalan menuju kemungkaran sebagai bentuk preventif (sadd adz-dzarī‘ah).
Kedua, pendapat yang kuat di kalangan ulama adalah bahwa suara wanita bukan aurat, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā,
وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik (dengan cara yang pantas).” (QS. Al-Ahzāb: 32)
Selain itu, para wanita pada masa Nabi ﷺ dahulu berbicara dan bertanya kepada beliau di hadapan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan Rasulullah ﷺ tidak melarang mereka dari hal tersebut.
Yang diharamkan adalah berlemah-lembut dalam ucapan (khudū‘ bil-qawl), sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,
فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي في قَلْبِهِ مَرَضٌ
“Maka janganlah kamu (wahai para istri Nabi) melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzāb: 32)
Adapun membaca Al-Qur’an oleh wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahram, maka hal itu memiliki dua kondisi:
Pertama: Jika bacaannya dilagukan (dengan nada indah dan suara diperindah) — maka tidak boleh, karena dapat menimbulkan fitnah dan daya tarik terhadap lawan jenis.
Kedua: Jika bacaannya biasa saja, tanpa nada, tanpa dilembutkan atau diperindah — maka boleh, jika ada kebutuhan yang menuntutnya (misalnya dalam rangka pembelajaran).
Dalam al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah (4: 91) disebutkan:
“Apabila sumber suara berasal dari manusia, maka suara itu bisa jadi tidak berirama (biasa) atau berirama (merdu). Jika suaranya tidak berirama, maka bisa jadi suara laki-laki atau wanita. Jika suara laki-laki, tidak ada yang mengharamkan mendengarnya. Adapun jika suara wanita, maka bila pendengar merasa menikmati atau khawatir timbul fitnah, maka haram mendengarkannya. Namun jika tidak demikian, maka tidak haram. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum dahulu mendengar suara wanita ketika berbicara, dan hal itu tidak dilarang. Akan tetapi, wanita tidak boleh melembutkan, melenggokkan, atau memperindah suaranya, karena dapat menimbulkan fitnah, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,
فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي في قَلْبِهِ مَرَضٌ
“Maka janganlah kamu (wahai para istri Nabi) melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzāb: 32)
(Selesai kutipan).
Syekh Ibnu ‘Utsaimīn rahimahullahu Ta’ala pernah ditanya:
“Bagaimana hukum memperindah suara dalam membaca Al-Qur’an oleh para mahasiswi di depan dosen laki-laki di kampus, padahal hal itu bukan suatu kewajiban?”
Beliau menjawab:
“Aku tidak memandang hal itu diperbolehkan, karena Allah Ta‘ālā berfirman,
فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي في قَلْبِهِ مَرَضٌ
“Maka janganlah kamu (wahai para istri Nabi) melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzāb: 32)
Oleh karena itu, jika seorang mahasiswi membaca Al-Qur’an dengan nada dan memperindah suara, dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Cukuplah ia membaca dengan bacaan biasa yang wajar.”
(Selesai kutipan dari al-Liqā’ asy-Syahri).
Kesimpulan yang kami ambil bahwa suara wanita bukan aurat, tetapi menjadi terlarang bila digunakan dengan nada lembut, menggoda, atau memperindah bacaan di hadapan laki-laki yang bukan mahram, baik di dalam membaca Al-Qur’an maupun dalam berbicara. Tujuan syariat adalah menutup pintu fitnah, menjaga kehormatan, dan menegakkan interaksi yang terbatas sesuai kebutuhan dan adab syar‘i.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Ukhti, Jagalah Suaramu!
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslimah.or.id



