Pengertian Malu
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Riyadhus Shalihin, menjelaskan definisi malu, “Ulama mengatakan bahwa hakikat malu adalah suatu akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan hal yang jelek dan mengabaikan hak orang lain.”
Malu adalah sıfat yang mulia, perhiasan seorang insan. Karena tercabutnya rasa malu dalam diri seseorang bisa mengakibatkan segala keburukan bahkan pertumpahan darah, robeknya kehormatan, terjadinya keburukan, hilangnya sopan santun kepada orang tua, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan, keluarnya wanita dari rumahnya dalam keadaan ber-tabarruj, dan safar tanpa mahram, dan ketika dia mendengar kebaikan dan nasihat, dia menolaknya.
Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan,
خمس من علامات شقاوة؛ القسوة في القلب، وجمود العين، وقلة الحياء، والرغبة في الدنيا، وطول الأمل
“Di antara lima tanda kesengsaraan adalah: kerasnya hati, mata yang keras (karena tidak pernah menangis karena Allah), sedikitnya rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan. (Madarijus Salikin)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى : إذا لم تستح فاصنع ما شئت
“Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, apabila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
Malu Ada Dua
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan tentang hadis ini di dalam Jami’ul Ulum (hal. 199) bahwa rasa malu itu ada dua macam:
Pertama, rasa malu itu sudah menjadi karakter bawaan dari lahir, yang tidak perlu diusahakan. Dan ini adalah sebuah karunia dari Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الحياء لا يأتي إلا بخير
“Rasa malu tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dikatakan demikian, karena sifat malu akan menahan pelakunya dari melakukan hal-hal yang tercela dan akhlak yang hina. Sifat malu akan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang mulia dan akhlak yang tinggi. Oleh itu, rasa malu akan memperbaiki kualitas iman seseorang.
Kedua, rasa malu yang perlu dilatih. Caranya adalah dengan belajar mengenal Allah, mengenal keagungan-Nya, dan mendekat kepada-Nya. Dengan itu, seseorang akan mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui, mana mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada seseorang. Dan hal tersebut juga akan memperbaiki kualitas iman seseorang, bahkan akan mengantarkan seseorang kepada derajat ihsan. Rasa malu juga akan Allah karuniakan kepada seseorang yang berusaha merenungi nikmat-nikmat-Nya dan sadar diri akan kurangnya rasa syukur kepada Allah Ta’ala.
Ketika rasa malu yang dia usahakan telah hilang dari dirinya, maka sesuatu yang mencegah dia dari melakukan keburukan dan akhlak yang hina pun hilang, bahkan iman itu seakan-akan hilang dari dirinya.
Baca juga: Muslimah Cantik, Bermahkota Rasa Malu
Melatih Sifat Malu
Sifat malu pada diri manusia ada tiga, yaitu:
1) Malu terhadap Allah Ta’ala;
2) Malu terhadap manusia; dan
3) Malu terhadap diri sendiri.
Barang siapa yang malu terhadap manusia, akan tetapi tidak malu terhadap diri sendiri, maka ini menunjukkan bahwa dia adalah pribadi yang lebih buruk daripada yang lain. Barang siapa yang malu terhadap dirinya sendiri, akan tetapi tidak malu kepada Allah Azza wa Jalla, itu artinya dia tidak mengenal-Nya dan tidak mengimani bahwasanya Allah meliputi segala sesuatu. Karena manusia pasti akan malu dengan sesuatu yang ia agungkan, dan pasti akan malu dengan sesuatu yang selalu mengintainya. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمۡ یَعۡلَم بِأَنَّ ٱللَّهَ یَرَىٰ
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?” (QS. Al-‘Alaq: 14)
Ayat ini merupakan peringatan jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihatnya, maka dia akan malu untuk melakukan dosa dan maksiat. Malu kepada Allah Ta’ala adalah dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
استحيوا من الله حق الحياء
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya sifat malu.”
Kemudian para sahabat mengatakan,
إنّا نستحي من الله يا نبي الله والحمد لله
“Kami telah malu kepada Allah, wahai Nabi, alhamdulillah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
ليس ذلك ولكن من استحيا من الله حق الحياء فليحفظ الرأس وما وعى وليحفظ البطن وما حوى وليذكر الموت والبلاء ومن أراد الأخرة ترك زينة الدنيا فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء
“Bukan seperti itu. Akan tetapi, barang siapa yang malu kepada Allah dengan benar, maka hendaklah dia menjaga kepala dan pikirannya, menjaga perut dan isinya, mengingat kematian dan ujian. Dan barang siapa yang menginginkan akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang melakukan demikian, maka sungguh dia malu kepada Allah dengan sifat malu yang benar.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, disahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Ini adalah nasihat terbaik. Di dalam kepala seseorang ada ucapan, pendengaran, penglihatan, dan rasa. Tanda adanya sifat malu dalam diri seseorang adalah dia akan menjaga diri dari ucapan, penglihatan, dan pendengaran yang haram. Menjaga perutnya dari makanan dan minuman yang haram. Sifat malu menjadi tanda kuatnya agama, benarnya keyakinan dan keimanan seseorang. Adapun sifat malu terhadap manusia lain, yaitu dengan menahan diri dari mengganggu, tidak menampakkan keburukan, dan itu merupakan salah satu dari sifat malu yang akan menghasilkan harga diri yang sempurna. Dan malu terhadap diri sendiri adalah dengan introspeksi diri atas apa yang dia ucapkan, lakukan, apa yang dia dapat, apa yang dia beri. Introspeksi diri terhadap apa yang dia dengar, lihat, makan, minum, ke mana dia langkahkan kakinya, apakah halal atau haram. Apakah itu sesuai syariat atau tidak? Apakah semua itu mengantarkannya kepada surga atau neraka?
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id