Terdapat hadits dalam Sunan At Tirmidzi yang menunjukkan tentang keutamaan menafkahi penuntut ilmu syar’i. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, ia berkata:
كان أخوانِ على عهدِ رسولِ اللهِ – صلَّى اللهُ عليهِ وعلى آلِه وصَحبِه وسلَّمَ – فكان أحدُهما يأتِي النبيَّ – صلَّى اللهُ عليهِ وعلى آلِه وصَحبِه وسلَّمَ – والآخرُ يحترفُ . فشكا المحترفُ أخاه إلى النبيِّ – صلَّى اللهُ عليهِ وعلى آلِه وصَحبِه وسلَّمَ – فقال : لعلَّك تُرزَقُ به
“Ada dua orang bersaudara di zaman Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Yang satu biasa datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk menuntut ilmu syar’i), sedangkan yang satunya lagi bekerja. Maka orang yang bekerja ini mengeluh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang saudaranya (yang menuntut ilmu). Beliau pun bersabda, “Bisa jadi kamu diberi rezeki (oleh Allah) karena sebab ia (saudaramu yang menuntut ilmu agama)”
(HR. At Tirmidzi no.2345, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Takhrij Misykatul Mashabih, no.5238, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahih Al Musnad no.20).
Hadits ini dipahami oleh sebagian orang untuk meninggalkan bekerja karena fokus ibadah atau fokus menuntut ilmu, namun kemudian mengharapkan bantuan dan pemberian dari orang lain.
Pemahaman ini keliru. Kekeliruan ini kami jelaskan secara ringkas menjadi beberapa poin:
Pertama, kebanyakan para ulama membawakan hadits ini dalam bab “mafatihur rizqi wa asbabuhu” (kunci-kunci rezeki dan sebab-sebab datangnya rezeki). Maknanya, salah satu sebab lancarnya rezeki adalah gemar membantu kebutuhan para penuntut ilmu. Inilah makna yang sangat jelas ingin disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لعلَّك تُرزَقُ به
“Bisa jadi kamu diberi rezeki (oleh Allah) karena sebab ia (saudaramu yang menuntut ilmu agama)”.
Al Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan:
أي أرجو وأخاف أنك مرزوق ببركته، لا أنه مرزوق بحرفتك، فلا تمنن عليه بصنعتك
“Maksud Rasulullah adalah: aku berharap dan aku khawatir engkau diberikan rezeki oleh Allah karena sebab keberkahan saudaramu, bukan karena pekerjaanmu. Maka janganlah engkau mengungkit-ungkit pemberianmu kepada saudaramu” (Tuhfatul Ahwazi, 7/8).
Syaikh Muhammad bin Ismail Al Muqaddam rahimahullah juga menjelaskan dengan bagus:
فكثير من أهل الخير لا يقدرون على التكسب بسبب التفرغ للعلم ونحو ذلك، فمن كان ينفق عليهم يأتيه الرزق لا ليأخذه وحده، بل حتى يعطي الآخرين، ويتصدق منه على إخوانه المستحقين، فهو عبارة عن وكيل موزع يعطيه الله الرزق حتى يعطي، فإذا منع الصدقة عليهم ليدخر المال لأجل أولاده مثلاً، فقد قال الرسول صلى الله عليه وسلم.(إن لله أقوماً يختصهم بالنعم لمنافع العباد، ويقرها فيهم ما بذلوها، فإذا منعوها نزعها منهم فحولها إلى غيرهم)
“Banyak orang-orang yang sibuk dengan kebaikan, mereka tidak mampu untuk bekerja karena mereka menghabiskan waktunya dengan ilmu dan semisalnya. Maka orang (kaya) yang menafkahi orang-orang tersebut (ulama) mereka akan dimudahkan rezekinya oleh Allah, namun bukan untuk dia sendiri. Melainkan agar mereka bisa memberikannya kepada orang lain dan bersedekah kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan. Bagaikan seorang petugas zakat yang mendistribusikan harta zakat Allah amanahkan kepadanya. Namun andaikan orang-orang (kaya) tersebut memilih untuk tidak bersedekah dan menimbun hartanya untuk keperluan anak-anaknya misalnya, maka ini sebagaimana yang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kabarkan: “Allah memiliki beberapa hamba yang Allah khususkan dengan beberapa nikmat tertentu agar mereka bisa memberi manfaat kepada manusia. Dan nikmat itu akan tetap ada selama mereka menginfakkannya. Ketika mereka enggan menginfakkannya, maka Allah akan cabut nikmat tersebut dan Allah berikan kepada orang lain”” (Durus Syaikh Muhammad bin Ismail Al Muqaddam, 25/11).
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk bekerja mencari nafkah dan mengusahakan sebab-sebab untuk menjemput rezeki.
Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ
“Jika kalian telah selesai shalat, maka menyebarlah di muka bumi dan carilah karunia dari Allah” (QS. Al Jumu’ah: 10).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إن أطيب كسب الرجل من يده
“Pendapatan yang terbaik dari seseorang adalah hasil jerih payah tangannya” (HR. Ibnu Majah no.2138, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 1685).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يعول
“Seseorang itu sudah cukup dikatakan sebagai pendosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Ahmad no.6842, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).
Ketiga, para Nabi dan Rasul saja bekerja mencari nafkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أنَّ داوُدَ النبيَّ عليه السَّلامُ، كانَ لا يَأْكُلُ إلَّا مِن عَمَلِ يَدِهِ
“Sesungguhnya Nabi Daud ‘alaihissalam tidak makan kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri” (HR. Bukhari no.2073).
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bekerja. Disebutkan dalam hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu:
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَبِيعُ نَخْلَ بَنِي النَّضِيرِ، ويَحْبِسُ لأهْلِهِ قُوتَ سَنَتِهِمْ
“Bahwa Nabi shallallahu’alahi wa sallam biasa menjualkan kurma Bani An Nadhir dan menyimpan bahan makanan pokok untuk kebutuhan keluarganya selama 1 tahun” (HR. Bukhari no.5357).
Keempat, hadits di atas menunjukkan bolehnya seseorang mencurahkan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu syar’i walaupun sampai membuat tidak bekerja. Karena menuntut ilmu syar’i adalah amalan yang paling mulia dari apapun. Dan dengan adanya orang-orang yang demikian, ilmu akan terjaga. Al Munawi rahimahullah menjelaskan,
وَفِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ شُغُلَ الدُّنْيَا، وَأَنْ يُقْبِلَ عَلَى الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ وَالتَّجَرُّدِ لِزَادِ الْعُقْبَى
“Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya seseorang meninggalkan kesibukan dunia untuk fokus menuntut ilmu agama dan mengamalkannya untuk mencari bekal akhirat” (Mirqatul Mafatih, 8/3328).
Bersambung insyaallah.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id