Diantara hak yang perlu diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga adalah hak “nafkah batin” dari suami kepada istrinya. Seorang suami wajib memberi “nafkah batin” kepada istrinya, yaitu menggaulinya. Suami berdosa jika tidak menggauli istrinya sama sekali. Allah ta’ala berfirman:
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Istri-istri yang kalian khawatirkan mereka berbuat durhaka (kepada kalian), maka nasehatilah mereka, dan boikotlah mereka di tempat tidur ...” (QS. An Nisa: 34).
Mafhum ayat ini menunjukkan bahwa jika istri tidak berbuat kedurhakaan, maka tidak boleh suami memboikot istrinya dan tidak menggaulinya.
Dalam hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Sesungguhnya istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan” (HR. Bukhari no. 1975).
Hadits ini juga menunjukkan wajibnya suami memberi “nafkah batin” pada istrinya, karena itu adalah bagian dari hak istri.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang seberapa kadar wajibnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
يجب على الرجل أن يطأ زوجته بالمعروف ، وهو من أوكد حقها عليه ، أعظم من إطعامها ، والوطء الواجب ، قيل : إنه واجب في كل أربعة أشهر مرة ، وقيل : بقدَر حاجتها وقُدْرته ، كما يطعمها بقدَر حاجتها وقُدْرته ، وهذا أصح القولين
“Wajib bagi suami berhubungan intim dengan istrinya secara ma’ruf. Dan “nafkah batin” itu lebih wajib bagi suami daripada nafkah berupa makanan. Dan kadar wajibnya menggauli istri, sebagian ulama mengatakan: minimal sekali dalam empat bulan. Sebagian ulama mengatakan: sesuai dengan kebutuhan istri dan kemampuan suami. Sebagaimana nafkah makanan, itu juga sesuai dengan kebutuhan istri dan kemampuan suami. Ini pendapat yang lebih tepat” (Majmu’ Al Fatawa, 32/271).
Jadi wajibnya suami menggauli istrinya sebatas kadar yang cukup bagi istri dan sesuai dengan kemampuan suami, tidak ada batasan hari yang tertentu. Jika sekiranya sudah memenuhi kadar cukup, maka tidak wajib lagi. Dan suami berdosa jika menolak menggauli istrinya ketika belum memenuhi kadar cukup bagi istri.
Dikecualikan, jika istrinya berbuat nusyuz (kedurhakaan) pada suaminya. Maka boleh diboikot di ranjang hingga ia minta maaf dan mau kembali. Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjelaskan:
مَن هجر زوجته أكثر من ثلاثة أشهر : فإن كان ذلك لنشوزها ، أي : لمعصيتها لزوجها فيما يجب عليها له من حقوقه الزوجية ، وأصرت على ذلك بعد وعظه لها وتخويفها من الله تعالى ، وتذكيرها بما يجب عليها من حقوق لزوجها : فإنه يهجرها في المضجع ما شاء ؛ تأديبا لها حتى تؤدي حقوق زوجها عن رضا منها ، وقد هجر النبي صلى الله عليه وسلم نساءه ، فلم يدخل عليهن شهراً
“Suami yang memboikot istrinya lebih dari tiga bulan, jika itu karena istrinya berbuat nusyuz, yaitu istrinya berbuat maksiat kepada suaminya dalam perkara-perkara yang terkait hak suami. Dan si istri terus-menerus melakukannya setelah dinasehati dan diingatkan untuk takut kepada Allah, serta diingatkan untuk menunaikan hak-hak suaminya. Maka istri yang demikian boleh diboikot di ranjang seberapa pun lamanya. Sebagai bentuk hukuman baginya, sampai ia mau menunaikan hak suaminya dan sampai suaminya ridha kepadanya. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam pernah memboikot istri-istrinya, sehingga tidak digauli selama satu bulan” (Fatawa Al Lajnah, 20/261-263).
Demikian yang sedikit ini, semoga bermanfaat. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id
Assalamualaikum … saya mau konsultasi tentang hak istri. Bagaimana caranya , mohon bimbingannya. Syukron
Assalamu’alaikum ustadz, saya mau bertanya apakah jatuh talak jika suami bernyayi tanpa musik di samping saya dan di dalam kalimatnya itu ada kata2 misalnya ” lupakan aku”, “aku tidak mencintaimu seperti kemarin”, ?
Wa’alaikumussalam, cerai itu harus dengan kata-kata yang tegas “saya ceraikan kamu” atau “kita cerai” atau “saya talak kamu” dan semisalnya.