Kemudahan dalam penyebaran berita berdampak pada kemunculan mitos-mitos seputar imunisasi DPT yang mempengaruhi masyarakat. Berikut beberapa mitos dan fakta tentang imunisasi:
Mitos: Vaksin DPT tidak halal
Fakta: Terkait dengan isu kehalalan vaksin, terdapat fatwa-fatwa ulama yang secara spesifik menjelaskan bahwa hukun vaksin adalah mubah, meskipun dalam proses produksinya menggunakan enzim tripsin babi atau “bersinggungan” dengan najis babi. Diantara fatwa-fatwa ulama tersebut adalah fatwa Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian (Al-Majlis Uraba lil Buhuts wal Ifta’), Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, dan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh.[[1]]
Dari fatwa-fatwa tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum vaksin adalah mubah (halal). Enzim tripsin yang berasal dari babi tersebut telah mengalami proses pencucian dan pemurnian, sehingga tidak lagi dijumpai dalam produk akhir vaksin. Para ulama menegaskan halal atau mubahnya vaksin tersebut juga dengan mempertimbangkan kaidah lainnya, di antaranya adalah kaidah istihlah, istihlak, dan kaidah darurat. Sehingga (tetap) menganggap bahwa vaksin termasuk perkara syubhat (dan konsekuensinya harus dijauhi atau ditinggalkan), tidak bisa dibenarkan. Setelah ada penegasan dari para ulama tentang status halalnya, maka tidak layak bagi kita untuk tetap mengatakan bahwa vaksin termasuk perkara syubhat.[[2]]
Vaksin yang digunakan untuk menangani KLB difteri adalah Pentabio[[3]] dan Bio Td[[4]] produksi Bio Farma yang tidak bersinggungan sama sekali dengan enzim tripsin babi. Bio Farma adalah BUMN yang menjadi produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas produksi lebih dari 3,2 miliar dosis per tahun.[[5]]
Salah satu negara yang mengimpor vaksin dari Biofarma adalah Arab Saudi. Bahkan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Konsulate Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah Saudi Arabia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berupaya mencari terobosan untuk dapat meningkatkan ekspor produk vaksin Bio Farma ke Timur Tengah khususnya ke Saudi Arabia.[[6]]
Mitos: Imunisasi DPT dapat menyebabkan gangguan saraf
Fakta: Isu ini bermula ketika ada laporan dari the Great Ormon Street Hospital for Sick Children di London yang melaporkan bahwa 36 anak dicurigai mengalami gangguan saraf setelah dilakukan vaksinasi DPT. Penyelidikan lebih lanjut dilakukan oleh the Joint Comission on Vaccination and Immunization (JCVI), sebuah badan independen yang beranggotakan para ahli kedokteran di Inggris yang menegaskan tentang keamanan vaksin DPT.[[7]]
Mitos: KLB hanya akal-akalan produsen vaksin untuk menghabiskan stok vaksin
Fakta: Vaksin DPT diakui secara internasional efektif dalam mencegah difteri. WHO merekomendasikan vaksinasi kepada wisatawan, bayi (tiga dosis awal), dan dosis tambahan untuk anak dengan usia kurang dari tujuh tahun, anak yang lebih dari usia tujuh tahun, dan booster setiap sepuluh tahun sekali.[[8]]
Mitos: Cakupan imunisasi yang tinggi tidak malah terjadi wabah
Fakta: Data yang beredar di media sosial adalah data yang diambil untuk bayi (usia 0-2 tahun), sedangkan yang di atas umur tersebut tidak termasuk. Artinya jika cakupan imunisasi 100% artinya cakupan pada bayi, tidak pada kelompok umur yang lain. Sedangkan rincian pasien difteri mayoritas usianya di atas dua tahun, bukan pangsa pasar progam vaksinasi yang ada di Indonesia, yang bisa jadi sewaktu usia bayi tidak diimunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.[[9]]
Mitos: Difteri tidak berbahaya, bisa disembuhkan dengan home treatment atau herbal
Fakta: Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa difteri sangat mudah menular. Selain itu resiko kematian atau kecacatan sangat tinggi. Sayangnya ada pihak tertentu yang mengklaim bahwa difteri bisa disembuhkan dengan home treatment atau herbal. Klaim tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena untuk membuktikan diagnosis difteri harus ada swab (usap tenggorok untuk pemeriksaan kultur (biakan) bakteri dan pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan khusus). Jika tidak ada hasil swab, maka klaim diagnosis difteri tidak dapat diterima.
Selain itu, suatu jenis terapi atau obat direkomendasikan oleh dokter bukan hanya karena testimoni semata melainkan melalui proses penelitian yang sangat panjang. Hal ini untuk menjamin manfaat dan keamanan terapi atau obat tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Mitos: Kejadian KLB hanya terduga difteri, belum tentu terbukti sehingga tidak perlu khawatir
Fakta: Perlu diketahui bahwa untuk kasus difteri ada kasus confirmed dan kasus probable. Kasus confirmed jika secara klinis tampak ada selaput khas difteri (untuk dokter dan tenaga medis terlatih membandingkan difteri dengan diagnosis lain akan sangat mudah) disertai hasil swab positif, atau hasil pemeriksaan patologi anatomi atau ada hubungan epidemiologis dengan kasus difteri yang positif. Misalnya ada anak dengan hasil swab negatif, tetapi pernah kontak dengan anak yang positif difteri maka ini adalah kasus confirmed..
Sementara kasus probable itu jika hanya klinis yang menunjang selain itu negatif. Akan tetapi apakah kasus yang swabnya negatif bisa dikatakan bukan difteri? Perlu diketahui ada beberapa hal yang membuat swab negatif di antaranya adalah pasien sudah diberi antibiotika sebelumnya atau cara pengambilan swab yang salah. Pengambilan swab bukan hal yang mudah karena membran hasil toksin difteri sangat lengket dan mudah berdarah. Selain itu kondisi pasien anak dengan difteri tentu sakit dan rewel sehingga sulit kooperatif.[[10]]
Mitos: Anak yang sakit difteri dan dirawat di rumah sakit, lengkap imunisasinya
Definisi imunisasi difteri lengkap yaitu ketika:
– Usianya satu tahun, sudah dapat vaksin DPT atau DPaT 3x (tiga kali). Karena imunisasi DPT/DPaT kombo dengan Hib dan/atau Hepatitis B dan polio diberikan pada usia 2, 3, dan 4 bulan (atau 2, 4, dan 6 bulan).
– Usianya 18-24 bulan, sudah dapat vaksin DPT/DPaT kombo 4x (empat kali)! Ya, vaksinasi dosis ke-4 diberikan pada usia 18 bulan.
– Mendapatkan dosis DPT atau DT ke-5 di usia 5 tahun (4 – 6 tahun). Atau bila tidak mendapatkannya di praktik dokter mandiri/RS, maka dapat imunisasi DT ke-5 ini saat BIAS (bulan imunisasi anak sekolah) di kelas 1-2 SD.
– Mendapatkan dosis Td (tetanus dan difteri) ke-6 di usia 10-12 tahun.
Jadi ketika orangtua membawa anaknya dengan kecurigaan sakit difteri di usia 2 tahun, tetapi ketika ditanyakan apakah sudah lengkap imunisasinya ia menjawab sudah, padahal kenyataannya baru dapat 3 dosis sebelum berusia 1 tahun, maka artinya tidak lengkap status imunisasinya! Karena belum dapat dosis ke-4.
Begitu juga contoh lain ketika anak berusia 8 tahun dengan kecurigaan sakit difteri mengaku lengkap status imunisasinya, padahal belum dapat dosis ke-5 saat berusia 5 tahun atau saat BIAS, maka artinya belum lengkap imunisasi difterinya. Imunisasi yang tidak lengkap ini berisiko membuat anak tetap sakit, seiring menurunnya kekebalan tubuh yang diciptakan oleh vaksin. Itulah mengapa ada yang namanya dosis pengulangan atau booster pada imunisasi.
Maka petugas kesehatan harus memastikan kelengkapan status imunisasi dengan melihat buku catatan kesehatan atau buku KIA/KMS anak, bukan semata berdasarkan keterangan lisan orangtua.
Dan orangtua harus memastikan lagi status kelengkapan imunisasi anak-anaknya lewat buku catatan, serta menyimpannya dengan baik, jangan sampai hilang.
Semoga Allah segera mengangkat wabah ini. Penulis menasehatkan agar kita tidak berbicara melebihi kapasitas diri kita. Tidak mudah menyebarkan berita yang belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, apalagi menyangkut kemaslahatan umat yang besar. Jika muncul keraguan, hendaklah bertanya pada ahlinya. Jika menyangkut hukum halal-haram tanyalah pada ulama. Sedangkan jika tentang kesehatan, tanyalah pada dokter dan tenaga medis yang kredibel karena begitulah agama kita mengajarkan. Cari informasi kesehatan ke web-web yang kredibel dan ilmiah. Semoga dengan upaya itu bisa lebih mendekatkan diri kita kepada kebenaran. Mungkin saja terpikir bagi kita, ahli mungkin saja salah. Benar, ulama atau dokter tidak ma’shum yang tidak lepas dari kesalahan. Akan tetapi, jika ahli saja bisa salah, bagaimana lagi jika bukan ahlinya yang berbicara? Sarjana hukum, atau sarjana astronomi tentu lebih berpotensi untuk salah ketika bicara tentang imunisasi. Allahul musta’an.
[1] Saifudin Hakim dkk, Imunisasi Lumpuhkan Generasi? Menjawab Tuduhan Ummu Salamah, SH., Hajjam, Pustaka Muslim, 2015, hlm. 296-298.
[2] Saifudin Hakim dkk, Islam, Sains, dan Kesehatan, Pustaka Muslim, 2016, hlm. 252-257.
3 http://www.biofarma.co.id/produk/pentabio-vaksin-dtp-hb-hib-combination-vaccines-2/[3], diakses tanggal 21 Desember 2017.
4 http://www.biofarma.co.id/produk/vaksin-bio-td-vaksin-jerap-td/[4], diakses tanggal 21 Desember 2017.
5 http://www.biofarma.co.id/[5], diakses tanggal 21 Desember 2017.
6 http://www.biofarma.co.id/saudi-arabia-gunakan-vaksin-indonesia/[6], diakses tanggal 21 Desember 2017
[7] Idem, hlm. 162.
8 http://www.who.int/ith/vaccines/diphtheria/en/[8], diakses tanggal 21 Desember 2017
[9] Disarikan dari status dr Noorma Rina Hanifah https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1717782001567598&id=100000074450230, diakses tanggal 21 Desember 2017.
[10] Disarikan dari status dr Noorma Rina Hanifah https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1717782001567598&id=100000074450230, diakses tanggal 21 Desember 2017.
Penulis: Arnida Sharah Auli
Muraji’: Ustadzah dr. Ika Kartika
Artikel Muslimah.or.id