Seorang wanita yang ahli ibadah, zuhud, taat pada Allah, serta mudah dikabulkan do’a-do’anya. Tekun dalam beribadah hingga Allah memberikan padanya banyak kemuliaan. Beliaulah Nafisah, wanita shalihah putri dari Al-Hasan bin Zaid bin Hasan, cucu dari Nabi ?.
Dilahirkan pada hari Rabu 11 Rabiul Awwal pada tahun 145 Hijriah di Makkah Mukarramah. Ia memperoleh pendidikan pertama dari keluarganya yang shalih. Di usia delapan tahun, ia telah hafal Al-Qur’an. Ayah dan ibunya, Zainab putri dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, mendampinginya menuju kota Al-Madinah Al-Munawwarah. Beliau pergi ke Masjid Nabawi untuk menimba ilmu kepada para ulama dan syaikh di dalamnya. Hingga ia diberikan julukan nafisatul ‘ilmi sebelum sampai di usia pernikahannya. Selama hidup, ia telah berhaji lebih dari 30 kali, mayoritasnya ia lakukan dengan berjalan kaki.
Nafisah menikah dengan Ishaq Al-Mu’tamin, putra dari Ja’far Ash-Shadiq radhiyallahu ‘anhu di bulan Rajab 161 H. Dengan pernikahan tersebut, terkumpullah cahaya Al-Hasan dan Al-Husain karena kakek dari Nafisah adalah Al-Hasan sedangkan kakeknya Ishaq Al-Mu’tamin adalah Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
Ibadah dan Ibadah
Nafisah menghabiskan banyak waktunya di Masjid Nabawi. Ia pun menjadikan akhirat selalu berada di hadapan matanya. Banyak melaksanakan shalat malam dan membaca Al-Qur’an hingga ratusan kali. Zainab, keponakannya yang biasa membantu pekerjaan rumah Nafisah menceritakan tentang kondisi Nafisah, “Aku melayani bibiku Sayidah Nafisah selama 40 tahun. Aku tidak pernah melihatnya tidur di malam hari dan tidak melihatnya tak berpuasa kecuali pada hari ‘ied dan tasyriq. Hingga aku bertanya padanya, ‘Apakah kamu tidak mengasihani dirimu sendiri?’
‘Bagaimana aku mengasihani diriku, padahal di depanku ada jurang yang tidak bisa melewatinya kecuali orang-orang yang beruntung.’”
Zainab juga mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an dan menafsirkannya. Ia biasa membaca Al-Qur’an dan menangis.”
Pindah ke Kota Kairo
Nafisah pindah ke Kairo, Mesir pada tanggal 26 Ramadhan 193 H, 5 tahun sebelum Imam Asy-Syafi’i datang ke kota itu. Penduduk Mesir menyambutnya dengan takbir dan tahlil. Mereka menyambutnya dan menimba ilmu darinya hingga waktunya menjadi penuh, hampir-hampir menghalanginya dari kebiasaan ibadah yang dilakukannya.
Hingga suatu hari, ia keluar menemui orang-orang, “Aku sebenarnya telah berkeinginan untuk tinggal di tempat kalian ini, namun aku adalah seorang wanita yang lemah. Orang-orang sangat banyak berdatangan ke tempatku, sehingga menyibukkan diriku dari dzikir-dzikir dan bekal akhiratku. Karena itu, kerinduanku untuk kembali ke kota Madinah menjadi bertambah.”
Manusia terkejut mendengar ucapannya, dan mencegah kendaraannya untuk pergi. Mereka datang dengan jumlah ribuan. Bahkan penduduk seluruh kota berkumpul meminta pada suaminya agar tetap tinggal di antara mereka. Sampai akhirnya pemimpin kota Kairo, As-Sari bin Al-Hakam bin Yusuf turun tangan. Ia memberikan sebuah rumah yang luas kepada Nafisah, kemudian membatasi dua hari dalam sepekan untuk waktu berkunjung orang-orang pada Nafisah dalam rangka menuntut ilmu dan meminta nasihat. Untuk hari yang lain, ia gunakan untuk beribadah pada Allah. Nafisah menerima usulan pemimpin Mesir, ia pun ridha dan tetap tinggal di Mesir.
Ketika Imam Asy-Syafi’i tinggal di Mesir, ia menjalin hubungan yang kuat dengan Sayidah Nafisah. Secara rutin ia mengunjunginya, pada saat berada di perjalanan menuju halaqah ke Masjid Fistath, dan di perjalanan pulang menuju rumahnya. Dia biasa shalat tarawih di Masjid yang digunakan Nafisah shalat. Ketika pergi menemuinya, Imam Asy-Syafi’i meminta padanya do’a dan berwasiat agar Nafisah menyolatkan jenazahnya. Imam Asy-Syafi’i pun wafat, jenazahnya lewat di rumah Nafisah pada tahun 204 H, Nafisah menyolatkannya untuk menunaikan wasiatnya.
Wafatnya Nafisah
Nafisah menderita sakit yang semakin hari semakin bertambah berat, hingga mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Dokter yang memeriksanya menganjurkan untuk berbuka puasa, namun ia menjawab, “Alangkah mengherankan, sejak 30 tahun yang lalu aku berdo’a kepada Allah ? agar bisa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan puasa, apakah sekarang aku harus berbuka? Tidak bisa!” Kemudian ia beristirahat dan membaca dengan khusyu’ surat Al-An’am. Hingga sampai pada firman Allah ? yaitu surat Al-An’am ayat 127, ia pun tak sadarkan diri. Zainab, keponakannya, memeluknya, ia mendengar Nafisah mengucapkan syahadat kemudian Nafisah wafat.
Penduduk Mesir pun diselimuti duka mendalam saat mendengar wafatnya Nafisah. Sang suami berniat hendak menguburkan istrinya di makam Baqi’ di kota Madinah, namun penduduk Mesir bersikukuh dan memintanya agar menguburkannya di Mesir. Di hari pemakamannya, manusia penuh berdesak-desakan mengantarkannya.
***
Diketik ulang oleh Tim Muslimah.Or.Id dengan sedikit perubahan dan penyesuaian bahasa dari Majalah Elfata #08/Vol 15 hal 77
Artikel muslimah.or.id
Assalaamu’alaykum, mau tanya penulisan Nafisah dalam bahasa Arab bagaimana ya? Apakah نفصة atau نفسة atau gimana ya? Barakallahufikum
Wa’alaikumus salam, نفيسة