Mengingat kembali masa paling sulit umat ini akan melatih kita lebih bersyukur dan lebih tegar dalam mengadapi hal-hal sulit yang baru saja kita hadapi. Lalu angkasakan benakmu, apakah musibah paling sulit itu?
Pertama-tama tengoklah ke sekeliling, banyak kerusakan dalam tubuh umat yang pernah berjaya ini.. kemaksiatan mencekik lehernya, penyimpangan syari’at menyandung kakinya.. lantas tubuh umat ini jatuh ke jurang-jurang kehinaan dan kekalahan. Kemenangan manis yang pernah diingat sebagai kemenangan paling menakjubkan dalam sejarah, kini tidak hanya hilang dalam lembar-lembar sejarah itu sendiri, tapi benar-benar hilang dari benak-benak umatnya. Sejak kapan itu pergi? Sejak kapan kemenangan ini menjauhi umat ini? Yaitu sejak iman dan kepercayaan di hati umat ini semakin berdegradasi.. Sejak kita menjauh sedepa demi sedepa dari pemurnian penyembahan kita pada Allah Ta’ala. Sampai-sampai sekarang kita tengah berada di lembah kesyirikan namun bak semut hitam di atas batu hitam di dalam kegelapan, kita tidak mampu melihat dan menyadari dimana keyakinan, akidah, dan amalan kita sekarang berdiri.
Inilah garis yang Allah Ta’ala buat untuk kaum akhir zaman. Diantara hikmahnya agar mereka mencari kemana kemenangan itu pergi dan sejak kapan menghilang. Tidakkah kaum yang berakal sehat itu berfikir? Sejak wahyu diputus dari langit. Sejak Nabi terakhir kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam diwafatkan dalam pilihannya untuk bertemu dengan Allah Ta’ala. Setitik noda mulai melukai tubuh umat ini dan luka itu membesar bak borok yang terus berproliferasi. Tidakkah datang di benak kaum yang berakal? Ini justru mengokohkan keyakinan bahwa apa yang Nabi terakhir itu bawa adalah benar adanya sebagai kebenaran yang nyata. Yang semakin kita menjauhinya, niscaya semakin jatuh kita dalam kehancuran sebagaimana sekarang ini.
Adapun hikmah lain yang akan kita dalami dari sana, saat ini.. adakah kita pantas meratap dan mengeluh atas musibah duniawi semacam kehilangan harta dan anak, sedangkan ada musibah besar yang 1400 tahun lalu mengancam umat ini dengan kehinaan dan kehancuran? Bersedihlah di tempat yang pantas.. lalu carilah pelajaran dari musibah itu.
Sungguh ratapan dan keluhan pada hal yang tidak benar-benar me-mudharat–kanmu (merugikan-red) hanyalah kesia-siaan di dunia dan hisab-adzabnya berat di akhirat. Berpikirlah dua kali dan berkali-kali lagi untuk bersedih karena kehilangan harta, kesulitan duniawi, kehilangan anak, penyakit yang kian tidak sembuh dan nasib yang kian tidak membaik. Pun lebih dari itu menangislah atas putusnya wahyu dari langit, kerusakan yang bertolak dari sana dan usaha kita yang kian tak membaik dalam memperbaikinya.
Jika hati keras yang banyak tertawanya, banyak makannya, banyak bicara tak bermanfaatnya ini tidak bisa merasakan kesedihan yang pantas. Maka mari kita melakukan flash back ke masa lalu, bagaimana para shahabat yang membersamai nabi semasa hidupnya harus menerima ujian berat kematian al-musthafa itu. Hari dimana hari-hari setelah itu akan jauh lebih sulit dari biasa bahkan hanya untuk sekedar mempertahankan aqidah yang susah payah kita tanamkan pada hati tandus yang gemar bermaksiat ini. Bagaimana mereka memaknai kesedihan terberat itu dan bagaimana rasa dari kesedihan itu.
Kaum akhir zaman ini mungkin tidak bertemu langsung dengan utusan Allah terakhir itu, belum pernah mencicipi pertemuan bahkan perpisahan dengannya, langsung di dunia. Namun bagi yang syahadatnya diucap dengan penuh kesadaran akan konsekuensinya.. tentu mengimani utusan Allah Ta’ala tercinta itu melazimkan kesedihan atas kepergiannya.
Bagimu yang kehilangan kesedihan itu.. adakah berkenan kalian mengulang lagi sepotong kisah perpisahan yang berat dan warisan hikmah cobaan besar yang lebih pantas kau tangisi ini…? barangkali di dalam pengulangan kisah yang sudah pernah kau dengar ini, kau temukan hatimu dan kau kurangi kesedihanmu atas musibah lain yang tak sebanding dengan peristiwa ini..
“Pada awal bulan ke-3 Hijriah… bulan itu adalah bulan dimana umat Islam pantas bersyukur. Betapa Allah Yang Maha Pengasih telah memberikan umat ini hadiah besar berupa kelahiran utusan yang akan membawa wahyu dariNya sehingga kebenaran dari-Nya akan tegak kembali.. janji Allah di kitab-kitab terdahulu terpenuhi..
Begitu pun janji Allah pada kitab-Nya yang mulia, Al-Qur’an..
“1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, 2. dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, 3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”(An-Nashr :1-3)
Kemenangan telah nampak, panji-panji perang boleh beristirahat. Berbondong-bondong penduduk kota dimana nabi tercinta kita diutus telah ‘berserah diri’ dalam agungnya kebenaran yang dibawa Al-Amin, pemuda paruh baya yang 63 tahun lalu lahir di tengah-tengah mereka sebagai anak yatim yang ditinggal mati ayahnya. Dia telah menemui kemenangan itu.. di hari itu. Genaplah yang genap, sempurnalah apa yang dituju, sampailah jangkar pada dasar lautan.
Berita kemenangan itu telah jelas.. apa yang perlu diselesaikan setelahnya juga telah jelas.. Maka jiwa terjaga itu hanya tinggal menunggu keputusan Allah Ta’ala dan memilih apa yang bisa dipilih.
Dari kepalanya yang telah dia gunakan untuk menantang rantai-rantai logam di perang uhud, terasa olehnya sakit dan pening yang menguar tiba-tiba. Racun dari Khaibar yang mengendap dan menanti dititah untuk beraksi kini memulai onsetnya. Sebelum itu, tepatnya beberapa hari sebelum mulainya rasa sakit itu.. Nabi telah berkhutbah di atas mimbar demi menyampaikan belasungkawa terkait dirinya dan tentang pilihannya yang telah jatuh, atas tawaran Rabb-Nya yang Maha suci itu..
“Sesungguhnya Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba, antara (kehidupan) dunia dan apa yang ada di sisi-Nya. Namun sang hamba lebih memilih apa yang ada di sisi-Nya”
Maka dari keheningan di tengah pendengar khutbah Nabi, pecahlah tangis Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, sehingga orang terheran-heran dengan tangisannya. Ia bisa jadi satu-satunya yang memahami di antara banyak shahabat di hadapan mimbar itu, bahwa sang hamba yang diberi pillihan itu tidak lain adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Dan ada makna tersembunyi dalam umumnya kalimat itu.
Nabi menatap lembut kawan sejatinya itu, tak salah dia berikan banyak harapan dan cinta pada sosok penuh kasih sayang yang tengah terisak itu. Tak heran betapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai-Nya.. tak heran mengapa cinta itu terbalas dengan bukti betapa mudahnya perasaan dan pemahaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu untuk bersatu dengan maksud Nabi kala itu.
Nabi mengambil nafasnya untuk memulai kata-katanya kembali; “Sesungguhnya orang yang paling aku percayai dalam mendampingi dan (berkorban dengan) hartanya adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu”
Mungkin isakan tangis Abu bakar Radhiyallahu ‘anhu akan semakin keras demi mendengarnya lagi.
“Seandainya aku boleh mengambil Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu sebagai khalil (kekasih), niscaya aku telah mengambil Abu Bakar sebagai khalil, akan tetapi yang dibolehkan hanyalah persaudaraan Islam dan kecintaan dalam Islam. Tidak satu pun pintu di masjid melainkan telah ditutup, kecuali pintu Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu”
***
Permohonan Nabi Di tengah Malam
Pada tengah malam sebelum datang musibah berat umat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangukan mantan hamba sahayanya, Abu Muwaihibah lalu berkata,
“Wahai Abu Muwaihibah! Seseungguhnya aku diperintahkan untuk memohonkan ampunan bagi penghuni (pemakaman) Baqi’ ini. Karena itu, ikutlah bersamaku.”
Tatkala berdiri di tengah mereka, beliau bersabda:
“Semoga kesejahteraan tercurah atas kalian, wahai para penghuni kubur. Selamat atas kalian di pagi hari, dimana orang-orang memasuki pagi hari mereka. Berbagai fitnah telah datang bagaikan potongan malam yang gelap gulita, dimana penghujungnya mengikuti permulaannya. Yang terjadi di penghujungnya lebih buruk dari permulaannya”.
Kemudian beliau menghadap ke arah Abu Muwaihibah seraya berkata:
“Wahai Abu Muwaihibah! Sesungguhnya aku telah diberikan kunci-kunci perbenderaharaan dunia dan keabadian di dalamnya, juga surga..
Lalu aku diberi pilihan antara hal itu dengan menjumpai Rabb-ku dan Surga.”
Abu Muwaihibah berkata, “ Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu, ambillah pintu-pintu dunia, keabadaian di dalamnya, dan Surga”. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Allah, Tidak, wahai Abu Muwaihibah! Aku telah memilih pertemuan dengna Rabb-ku dan Surga.”
Kemudian beliau memohonkan ampunan untuk penghuni al-Baqi’ lalu pulang. Selepas itu, mulailah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakit yang berhujung pada wafatnya beliau. Sepulang dari Al-Baqi’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi istri-istrinya sekaligus meminta ijin pada mereka, agar dirawat di rumah Ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa. Maka mereka pun setuju.
Di Rumah Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa
Kemudian beliau mengalami demam dan sakitnya bertambah parah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat meminta dituangkan 7 kantung air agar bisa cukup segar demi menemui orang-orang dan mengimami shalat dan berkhutbah di hadapan mereka. Akan tetapi setelah itu sakitnya justru semakin parah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Aisyah agar Abu Bakar menggantikannya menjadi imam shalat. Meski sempat ditolak oleh Aisyah dengan kuat karena Abu Bakar nanti hanya akan menangis di tengah shalat. Namun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersikeras mengiginkan Abu Bakar menjadi imam shalat jamaah kaum muslimin menggantikannya.
Pada hari Senin, di hari beliau wafat, di saat orang sedang shalat shubuh dengan diimami Abu Bakar, mereka dikejutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyingkap tirai bilik Aisyah. Beliau memandang mereka dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum sambil tertawa. Lalu Abu Bakar mundur ke belakang untuk mencapai shaff karena mengira bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin keluar untuk shalat. Orang-orang hampir tergoda dalam shalat mereka karena begitu senang dengan kondisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun beliau mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya, agar menyempurnakan shalat mereka lalu beliau masuk kembali ke dalam bilik dan menutup tirai.
Lalu pulanglah Abu Bakar ke keluarganya di Sanh, beberapa orang juga bubar, beranggapan Nabi telah sembuh. Di dalam bilik, Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa menyandarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dadanya ketika Abdurahman bin Abu Bakar masuk sambil membawa siwak. Lalu Aisyah menawarkan diri untuk mengambilkan siwak untuk nabi, dan juga karena melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang siwak milik Abdurrahman. Lalu Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa haluskan siwak itu untuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersiwaklah Rasul dengan itu, sedangkan beliau masih dalam posisi bersandar pada Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa. Di antara kedua tangan beliau ada teko air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam air seraya mengucapkan:
“Tidak ada Illah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya.” Dan akhir kata yang di ucapkan beliau,“Ya Allah.. bersama Pendamping Yang Maha Tinggi.” Aisyah awalnya tidak menyadari telah berpulangnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke sisi Allah Ta’ala, karena usianya yang muda. Begitu beliau sadar, Aisyah meletakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bantal, dan mulai meratap dan menangis bersama wanita lain.
Kesedihan memenuhi langit Madinah. Wajah-wajah kaum muslimin gelisah dan gelap karena kebingungan dan kesedihan. Bahkan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, yang demikian agung itu pun, bangkit berdiri dan bersumpah di depan khalayak bahwa Rasul tidak wafat. Hingga Abu Bakar datanng dari Sanh. Dia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mendapatinya telah ditutupi kain kerudung, kemudian ia menyingkap wajahnya dan menciumnya lalu menangis dan berkata:
“Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu, Engkau selalu baik, semasa hidup maupun setelah mati. Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Allah selamanya tidak akan menimpakan kepadamu dua kematian.”
Kemudian dia keluar, sementara ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu tengah berkhutbah di hadapan banyak masyarakat. Lalu Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Duduklah, Wahai ‘Umar!” Namun ‘Umar menolak untuk duduk. Orang-orang menyambut kedatangan Abu Bakar dan meninggalkan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ia memuji Allah dan menyanjung-Nya, lantas berkata:
“Amma Ba’du, barang siapa (selama ini) menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, dan barang siapa menyembah Allahl, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup, tidak pernah mati. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula)” (AzZumar :30).
Dan Allah Ta’ala berfirman,
” Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)” (Ali ‘Imran :144).””
Seketika orang-orang tersedu-sedu, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Demi Allah, sungguh seakan-akan orang-orang belum pernah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini, hingga Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu membacanya, lalu orang-orang mengambil ayat ini darinya. Tidak seorang pun yang ia perdengarkan ayat ini kepadanya melainkan ia membacakannya.”
***
Beratnya hari-hari setelah wafatnya Rasulullah. Fitnah akan semakin mudah tumbuh. Dan wahyu Allah akan terputus dengan wafatnya utusan terakhir tersebut. Beratnya musibah ini dirasakan oleh para shahabat digambarkan dalam perkataan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu;
“Ketika hari pertama Rasulullah datang ke Madinah, maka bersinarlah segala sesuatu. Dan ketika terjadi hari wafat beliau, maka gelaplah segala sesuatu. Belum lama tangan-tangan kami menguburkan jenazah beliau, akan tetapi hati kami mengingkarinya (seakan-akan tidak percaya hal itu terjadi).”
Anas Radhiyallahu ‘anhu juga bercerita:
“Setelah meninggal Rasulullah, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata pada ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu: ‘Mari kita berkunjung ke Ummu Aiman, sebagiaman Rasulullah pun suka mengunjunginya.’
Sesampainya disana, Ummu Aiman Radhiyallahu ‘anha menangis. Keduanya berkata, ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis? Padahal apa yang ada di sisi Allah Ta’ala adalah yang terbaik bagi Rasulullah”
Ummu Aiman berkata “Aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Maka perkataan tersebut menggoncangkan hati keduanya (Abu Bakar dan ‘Umar), sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman.”
***
Tidaklah kematian Rasulullah melainkan ada banyak hikmah di dalamnya. Diantaranya adalah sebagai ujian kepada kita agar kita banyak mengoreksi iman dan perbuatan kita, apakah kita terlalu ghuluw atau malah terlalu ingkar pada Rasul-Nya. Adapun buah dari sifat pertengahan dari keduanya akan melazimkan seorang mukmin banyak-banyak bersyukur meski musibah dunia melandanya, karena musibah dunia tidak lebih berat sama sekali dengan musibah agama, bahkan musibah dunia dapat menjadi kafarat dosa bagi yang bersabar dari keluhan dan ratapan.
Semoga pengulangan kisah perpisahan ini akan menambah rasa rindu kita pada Rasulullah dan menambah keimanan kita kepada beliau. Bagi kita umat akhir zaman yang tidak sempat bertemu dengan-nya, maka sepantasnya kita menjadi yang paling merindukan perjumpaan dengan Rasulullah setelah perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Maka dengan itu semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita untuk berkumpul dengannya di Surga-Nya bersama orang-orang mukmin lain dan semoga kita termasuk orang-orang yang banyak bersyukur dan bersabar. Aamiin.
Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. 181. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. 182. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. (Ash-Shaffat:180-182)
——————————-
Artikel muslimah.or.id
Oleh : Lungit Fika Fauzia Ummu ‘Imran
Sumber :
- Al Qur’an Al Karim
- Al Habib Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi
- Tafsir Juz’Amma, Syaikh Utsaimin
- Ketika Wanita Mendapat Musibah, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah