Sebagaimana ikan salmon yang mengarungi Samudra Artik.. Mereka selalu pulang ke teluk yang sama untuk berkembang biak dan mati hingga akhir masanya.. Sebagaimana pula kupu-kupu beracun dari Meksiko.. Mereka terlahir untuk berpulang ke Amerika Utara.. Mati dalam migrasinya dan menurunkan mimpi kembali ke Meksiko kepada generasi berikutnya..
Lalu bilamana dengan manusia..?! Tidakkah sadar bahwa selayaknya ikan salmon dan kupu-kupu beracun itu, kita juga akan bermigrasi, mati dan berpulang ke sumbernya..?! Sedang kepulangan manusia bukanlah siklus yang bisa dipastikan ‘kapan’ tiba waktunya.. Maka, apabila sudah diketahui kematian itu datangnya tiba-tiba, lantas sudah sesiap apa kita menghadapinya..?! Sunnguh, cukuplah kematian sebagai pelajaran..
Banyak Mengingat Kematian
Abu Hurairah menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (dunia).” Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pemutus kelezatan (dunia) itu?” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kematian.” (HR. Al Baihaqi dalam Syua’abul Iman).
Ad Daqaaq rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, maka akan dianugerahi oleh Allah tiga keutamaan; Bersegera dalam Taubat, Giat dan semangat dalam beribadah pada Allah, dan Tumbuh rasa qana’ah dalam hati. (Lihat Al Qiyamah Ash Shughra, Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar).
Bahkan, orang-orang yang banyak mengingat kematian digolongkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang-orang yang cerdas. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bertutur, “Tatkala aku membersamai Rasulullah, terdapat seorang laki-laki Anshar datang kepada beliau, kemudian mengucapkan salam lalu bertanya, “Wahai Rasululah, siapakah diantara kaum mukminin yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” Lelaki tadi bertanya lagi, “Siapakah diantara kaum mukminin yang paling cerdas?” Beliau kembali menjawab, “Yang paling banyak mengingat kematian diantara mereka dan yang paling baik persiapannya setelah kematian. Mereka itu ialah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah).
Begitu Pedihnya Kematian
Pada suatu hari sahabat Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Ka’ab Al Ahbaar: “Wahai Ka’ab: Ceritakan kepada kita tentang kematian! Ka’ab pun berkata: Wahai Amirul Mukminin, Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda. Sehingga setiap duri menancap begitu kuat di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa. Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan tersisa..!!” (Lihat Hilyatul Auliya’, Abu Nua’im Al Ashbahani).
Adakah keraguan pada diri kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan yang paling sempurna keimanannya? Sekali-kali tidak. Akan tetapi, kemuliaan dan kesempurnaan iman beliau tidak dapat melindungi beliau dari rasa pedihnya sakaratul maut. Imam Bukhari meriwayatkan, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi sakaratul maut, beliau begitu gundah. Beliau berusaha menenangkan dirinya dengan mengusap wajahnya dengan tangannya yang telah dicelupkan ke dalam bejana berisi air. Beliau mengusap wajahnya berkali-kali, sambil bersabda: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Sesungguhnya kematian itu disertai oleh rasa pedih.” (Sebuah Renungan Terhadap Kematian, Dr. M. Arifin Badri).
Tidakkah Kita Mengambil Pelajaran…?!
Tidakkah kita mengambil pelajaran? Setelah begitu banyak orang yang tenggelam dalam gemerlapnya dunia dan disibukkan dengan senda-gurau permainan yang membuat banyak orang berpaling dari persiapan dalam menghadapi kematian. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedangkan mereka dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al Anbiya’ : 1).
Tidakkah kita mengambil pelajaran? ‘Amar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.” (Lihat Aina Nahnu Min Haa-ula-i, Syaikh Abdul Malik Qasim).
Tidakkah kita mengambil pelajaran? Pernyataan dari Tsabit Al Bunani rahimahullah -yang dinukilkan dalam kitab Syu’abul Iman-, “Kami pernah menyaksikan jenazah, maka kami tidak melihatnya kecuali menunduk dalam tangisan.” (Lihat Kaukabah Al Khithbah Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman As-Sudais).
Tidakkah kita mengambil pelajaran? Hasan Al Bashri rahimahullah yang menuturkan, “Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang meyakinkan, yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat, sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka yang berbunyi, ‘Kami Mencari Surga’ padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius mencarinya. (Lihat Aina Nahnu Min Haa-ula-i, Syaikh Abdul Malik Qasim).
Tidakkah kita mengambil pelajaran? Ikan Salmon dan kupu-kupu beracun dari Meksiko mengalami migrasi dan mati. Begitu pula dengan kita. Sedang kepulangan manusia bukanlah siklus yang bisa dipastikan ‘kapan’ tiba waktunya.. Apabila sudah diketahui kematian itu datangnya tiba-tiba, lantas sudah sesiap apa kita menghadapinya..?! Sunnguh, cukuplah kematian sebagai pelajaran.
—
Penulis: Erlan Iskandar
Artikel Muslimah.Or.Id
Subhanallah