Tingkatan Kedua, Al-Muraqabah
Apabila seseorang telah mensyaratkan dirinya (musyarathah) (Baca artikel bagian 1, Muhasabah dan Muraqabah (1): Tingkatan Pertama, Musyarathah), dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan, maka tidak tersisa kecuali ia harus awasi.
Kita dengan jiwa kita itu seperti seorang pebisnis dengan partnernya. Ketika dua orang ini saling bekerjasama dengan memberikan syarat-syarat tertentu maka tentu dia harus muraqabah (mengawasi) kinerja dari rekannya tersebut. Jangan sampai partnernya itu mengkhianati dirinya. Setelah kita memberikan syarat-syarat kepada jiwa kita, maka setelah itu kita harus mengawasi jiwa kita.
Di dalam hadits shahih dalam penafsiran ihsan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan yaitu:
أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
“Kamu beribadah kepada Allah, seakan-akan kamu melihat Allah Ta’ala, dan jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah yang melihat kamu.”
Penafsiran Ihsan:
Tingkatan ihsan pertama:
Yang paling tinggi tingkatan dalam ihsan yaitu, kamu beribadah kepada Allah, seakan-akan kamu melihat Allah.
Apa maksudnya?
Kita pun tidak pernah bisa melihat Allah, namun seorang hamba yang kokoh ilmu pengetahuannya tentang Allah, tentang nama-Nya, sifat-Nya, penciptaan semesta alam ini yang luar biasa, maka seakan-akan ia melihat Allah Ta’laa. Orang yang mencapai tingkatan ini maka orang tersebut sangat luar biasa.
Lihatlah Rasulullah, para sahabat, mereka merasakan kelezatan dalam beribadah ketika bermunajat kepada Rabb semesta alam.
Lihatlah Abdullah bin ‘Umar, ketika ia hendak diamputasi, ia berkata silahkan lakukan ketika aku hendak shalat, maka rasa takutnya kepada Allah mengalahkan rasa sakitnya diamputasi tersebut.
Tingkatan ihsan kedua:
Jika engkau tidak bisa melihat Allah, maka sesungguhnya Allah melihat kita.
Maksudnya adalah selalu merasa diawasi oleh Allah, dan berusaha mengawasi gerak-gerik kita karena amalan ibadah kita selalu dicatat oleh Allah, selalu mengawasi jiwa kita, selalu memperbaiki perbuatan kita.
Dan maksud dari penafsiran hadits ini, yaitu menghadirkan keagungan Allah di hati kita. Dan melakukan muraqabah (merasa di awasi oleh Allah) di dalam beribadah. Berusahalah dalam memperbaiki ibadah kita.
Selayaknya seorang hamba itu bermuraqabah sebelum beramal dan ketika sedang beramal.
Apakah yang membuat ia melakukan ibadah itu hanya sebatas hawa nafsu ataukah mengharap keridhaan Allah? Niat kita dalam beribadah jangan sampai mengharapkan kehidupan dunia.
Ketika ia mau beramal, dia periksa dulu, ketika ia beribadah hanya mengharapkan beribadah kepada Allah. ataukah ia berpaling dari selain itu? Jika berpaling maka langsung beristighfar dan memperbaiki niatnya terlebih dahulu, dan kembali melakukan amalan tersebut. Itulah ikhlas.
Jika ia hanya mengharap keridhaan Allah maka ia pun segera melakukannya. Akan tetapi apabila ia masih mengharapkan yang lain, maka ia undurkan sebentar, ia berusaha untuk memperbaiki hatinya, luruskan niatnya karena Allah. Inilah pengawasan seorang hamba dalam melakukan ketaatan, berusaha untuk ikhlas dalam beramal. Adapun muraqabah dalam perbuatan maksiat yaitu dengan cara bertaubat dan meninggalkan maksiat itu sama sekali. Karena sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.
Sepandai-pandainya seorang mukmin melakukan ketaatan, akhirnya ia terjatuh dalam kesalahan, karena iman itu naik dan turun. Ketika iman sedang naik maka mudah sekali melakukan ketaatan. Namun ketika iman goyah, ketika iman sedang turun, dan angin semilir kemaksiatan menyerang kita, akhirnya kita pun berbuat kemaksiatan. Oleh karena itu fungsi dari muraqabah sangatlah penting. Ketika bermaksiat, segera bertaubat kepada Allah dan tidak melakukan kemaksiatan tersebut. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah, dengan cara memperhatikan adab. Dalam hal yang mubah, niat juga penting. Ketika hendak makan dari perkara yang mubah, kita pun berpikir bagaimana caranya hal itu bisa bernilai ibadah. Akhirnya yang mubah itu berubah bernilai pahala di sisi Allah. Ketika kita makan, kita berniat untuk bisa beribadah kepada Allah, untuk bisa kuat dalam beribadah. Kita berusaha memperhatikan adab-adab makan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Kita mensyukuri nikmat dengan menyandarkan nikmat itu hanya kepada Allah, yaitu dengan memuji Allah. Tidak ada satupun kenikmatan kecuali kita diperintahkan untuk mensyukurinya, dan tidak ada musibah kecuali kita diperintahkan untuk bersabar terhadapnya, itulah hakikat dari muraqabah.
Berkata Wahab bin Munabbih disebutkan dalam Hikmah Alu Dawud: hendaklah orang yang berakal itu tidak menyia-nyiakan empat waktu yaitu:
- Waktu bermunajat kepada Allah
- Waktu untuk bermuhasabah
- Saat kita bertemu dengan teman-teman kita, saat kita melakukan kesalahan, teman kita mengingatkan kita.
- Saat kita menikmati nikmat yg halal
Sesungguhnya muraqabah itu membantu empat keadaan tersebut, ketika kita makan atau minum misalnya, kita berusaha untuk mendapatkan amalan yang besar, bagaimana adab-adab yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah, lauk pauk yang Allah berikan, bagaimana kelezatan-kelezatan yang diberikan Allah kepada kita, makan kita berubah menjadi amalan yang besar.
***
Bersambung insyaallah…
Artikel berseri:
Baca artikel bagian 1, Muhasabah dan Muraqabah (1): Tingkatan Pertama, Musyarathah
(Dikutip dari kitab Mukhtashor Minhajul Qasidin (pdf), karya Syaikh Ahmad bin ‘Abdirrahman bin Qudamah al-Maqdisi, disertai faedah penjelasan dari Ustadz Badrusalam, Lc rekaman kajian Mukhtashor Minhajul Qashidin Bab Muhasabah dan Muraqabah, halaman 370-377).
Disusun oleh: Anita Rahmawati
Artikel Muslimah.Or.Id
Assalamu’alaikum . saya ingin bertanya ada teman saya seorang lesbian(sesuka sesama jenis) saya menhetahui itu karena org tersebut bercerita sendiri tntng keadaannya . dan sayapun sudah menjelaskan akan siksabyg dahulu menimpa kaum nabi Luth,sayapun menjelaskan akan laknat allah terhadap mereka yg berperilaku seperti laki-laki(wanita yg menyerupai laki-laki). pertanyaannya saya ,apakah saya harus berteman dgnnya,akrab atau bercerita dgn org itu sedang saya tau kejahatan yg dia lakukan atau saya harus menjauhi org itu dan memohon perlindungan dr Allah ? Saya mohon penjelasannya.
Wa’alaikumus salam, Anda harus menjaga jarak dengannya, karena dikhawatirkan terkena pengaruh buruknya. Hanya saja, bukan berarti tidak boleh berkomunikasi dengannya sama sekali, bahkan Anda tertuntut mendakwahi dan menasehatinya dengan bijak pada saat keadaan yang pas, seperlunya, tidak belama-lama dan tidak berdua-duaan.
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.
A) ALLAH LELAKI atau PEREMPUAN?
Allaah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)
Allaah memiliki kesempurnaan sifat, sehingga merupakan suatu cela yang sungguh nista bagi Allaah jika Allaah memiliki jenis kelamin/bergender seperti halnya manusia. Kaum musyrikin saja yang menyifati malaikat sebagai anak perempuan Allaah dibantah dalam banyak ayat pada Al-Qur’an. Apalagi jika Allaah sendiri yang harus berjenis kelamin.
B) WANITA TOMBOY
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعن الله المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال” رواه البخاري.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allaah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari)
=====
Seorang wanita bisa memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi dibanding rata-rata wanita umumnya, sehingga dia memiliki kecenderungan seperti laki-laki karena faktor alami internal. Akan tetapi, ini tidak lalu bisa menjadikan dia meneruskan kecenderungan alaminya tersebut, sehingga dia menjadi “mustarjilah” [wanita tomboy/wanita maskulin yang mirip seperti laki-laki] bahkan hingga menjadi lesbian -wal’iyaadzubillaah-. Ada aspek lainnya yang harus diperhatikan yakni sisi fenotip manusia yang merupakan unsur perpaduan antara faktor genetik (genotip) dan lingkungan, pola pikir, pola asuh orang tua, kebiasaan, pergaulan.
Syariat diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia secara utuh, baik di dunia ini maupun di akhirat; sebagai “kendali” untuk mengarahkan manusia kepada jalan yang benar. Jika benar seorang wanita itu memang terlahir dengan kadar hormon testosteron yang tinggi sehingga menyebabkan dia memiliki bakat kelelakian, maka dia harus mencekal kecenderungannya itu dan bahkan berusaha semaksimal mungkin patuh terhadap syariat untuk tidak bertasyabbuh/menyerupai lelaki dalam segala hal, hingga dia menjadi wanita seutuhnya dalam berbagai aspek, karena hukum wanita yang menyerupai lelaki itu sudah jelas sekali larangannya. Berkaitan dengan karakteristik manusia, ada karakter yang memang alamiah dan adapula yang sifatnya karena bentukan dan latihan. Dengan ini, wanita tersebut bisa belajar merubah karakter dasarnya yang cenderung kelaki-lakian menjadi lebih feminin.
Jika memang dia ternyata berlaku tomboy karena faktor eksternal: lingkungan; kebiasaan; pola asuh; pergaulan; maka logisnya dia harus lebih bisa lagi untuk berubah menjadi wanita seutuhnya, karena di dalam dirinya tidak ada bibit alami berupa gen yang bisa membuat dia cenderung bertabiat seperti lelaki.
In syaa’ Allaah jika dia mau berusaha dengan ikhlas mencari ridha Allaah pada setiap amalannya, berdoa, bertawakkal…dia bisa berubah menjadi wanita sebenar-benarnya. Maka, dalamilah ilmu syariat dan aplikasikanlah…sehingga dia bisa tahu bagaimana seharusnya dia bersikap.
Adapun kondisinya yang menginginkan menjadi lelaki, maka ini merupakan tindakan pengingkaran terhadap takdir Allaah; tindakan kufur/mengingkari nikmat yang telah Allaah berikan baginya; tindakan merubah ciptaan Allaah…dan ini tentu saja berdosa….terlepas dia berbuat begitu karena berbagai macam faktor: entah trauma; entah karena ini dan itu. Sederhana saja sebetulnya: taatilah syariat dan terimalah kodrat… in syaa’ Allaah dia akan selamat di dunia dan akhirat.