“Menolak Mafsadat Didahulukan daripada Mengambil Manfaat“
Dalil dari kaidah ini adalah:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108).
Allah mengharamkan mencela sesembahan kaum musyrikin. Padahal celaan tersebut merupakan kemarahan dan kecemburuan karena Allah dan sebagai bentuk penghinaan kepada sesembahan mereka. Musababnya, celaan tersebut merupakan pengantar munculnya celaan mereka kepada Allah dan maslahat tidak dicelanya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu lebih besar daripada maslahat celaan kita pada sesembahan mereka.
2. Telah datang dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha; Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا عَاِئشَةُ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكَ حَدِيْثُوْا عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ
“Wahai Aisyah, seandainya kaummu bukan orang-orang yang baru meninggalkan masa jahiliah, tentu aku perintahkan agar Baitullah dirombak. Kemudian aku bangun dan aku masukkan apa yang dikeluarkan darinya, dan niscaya aku turunkan sejajar dengan tanah ….” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits ini terdapat indikasi yang jelas atas makna kaidah ini. Yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan maslahat membangun Baitullah al-‘atiq di atas pondasi Ibrahim ‘alaihis salam demi menolak mafsadat yang dikhawatirkan terjadi (apabila beliau meruntuhkan Ka’bah kemudian membangun kembali), yatu larinya manusia dari Islam atau murtadnya mereka disebabkan perbuatan tersebut. Dengan demikian, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendahulukan menolak mafsadat ini daripada mengejar maslahat tersebut.
3. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menahan diri dari memerangi orang-orang munafik. Padahal itu mengandung kemaslahatan. Ini dimaksudkan agar tidak menjadi penyebab larinya manusia dan menimbulkan penilaian mereka bahwa Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam membunuh sahabatnya.
4. Larangan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari memerangi pemimpin dan memberontak kepada imam (penguasa) walaupun mereka berbuat zalim, selama mereka melaksanakan shalat. Tujuannya, yaitu demi menutup pintu-pintu yang bisa mengantarkan kepada kerusakan yang besar dan kejelekan yang banyak. Alasannya, memerangi dan memberontak terhadap penguasa menyebabkan timbulnya kemungkaran yang berlipat ganda daripada kemungkaran-kemungkaran yang sudah ada, sedangkan umat tetap berada dalam akibat-akibat kejelekan sampai sekarang.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتٌلُوْا الْآخِرَ مِنْهُمَ
“Jika dua khalifah di-bai’at maka perangilah yang kedua.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id).
Hal itu dilakukan sebagai bentuk penjagaan terhadap fitnah (ujian, ed.).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan sejumlah cabang yang bersumber dari kaidah “menolak mafsadat lebih utama daripada mengambil maslahat”. Selanjutnya, beliau rahimahullah menyampaikan bahwa jika maslahat dan mafsadat bertemu, maka yang diutamakan adalah yang paling kuat dari keduanya.
Secara rinci, beliau menjelaskan sebuah pemaparan yang intinya:
- Termasuk pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah adalah: mengikuti al-jamaah, tidak memerangi para pemimpin (yakni pemimpin yang fasik), dan menghindari peperangan di masa fitnah (tertimpa ujian, ed.).
- Intisari hal itu masuk dalam kaidah yang umum “apabila betemu antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan kejelekan, atau saling berbenturan, maka wajib menimbang yang paling kuat di antara keduanya”.
- Dasarnya, sesungguhnya perintah dan larangan – walaupun dapat membuahkan kemaslahatan dan menolak mafsadat – tetap harus diteliti bila saling berbenturan. Jika maslahat yang hilang atau mafsadat yang terjadi lebih banyak, maka hal itu tidak diperintahkan. Bahkan hukumnya haram jika mafsadat yang timbul lebih besar daripada maslahat yang didapat.
Syaikhul Islam juga merinci bahwa ukuran maslahat dan mafsadat harus diukur dengan timbangan syariat. Atas dasar ini, jika ada seseorang atau kelompok yang di dalamnya tergabung hal-hal ma’ruf dan mungkar – dan mereka tidak bisa memisahkan antara keduanya, bahkan mereka mengerjakan semuanya atau meninggalkan semuanya – maka orang/kelompok tersebut tidak boleh diperintah mengerjakan hal ma’ruf atau dicegah dari kemungkaran kecuali setelah permasalahan tersebut diteliti.
- Jika perkara ma’rufnya lebih banyak maka: [i] Hal tersebut diperintahkan walau berkonsekuensi melahirkan kemungkaran yang lebih kecil; [ii] Jangan dicegah dari kemungkaran jika berkonsekuensi hilangnya perkara ma’ruf yang lebih besar. Karena mencegah orang/kelompok tersebut pada kondisi ini termasuk usaha untuk menghilangkan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-nya serta menghilangkan perbuatan baik.
- Jika kemungkaran lebih besar maka perbuatan tersebut harus dicegah walaupun berkonsekuensi menghilangkan perkara ma’ruf yang lebih ringan. Dalam kondisi seperti ini, memerintahkan kepada yang ma’ruf dengan melahirkan kemungkaran yang lebih besar termasuk perkara mungkar dan merupakan usaha yang mendukung kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Jika ma’ruf dan mungkar berimbang dan saling berkaitan, maka tidaklah diperintahkan kepada keduanya, dan terkadang baik untuk diperintahkan juga terkadang baik untuk dicegah, dan terkadang tidak baik untuk diperintah atau tidak baik untuk dicegah karena yang ma’ruf dan yang mungkar saling berkaitan. Hal itu kadang terjadi pada kasus tertentu.
- Adapun dari sisi jenisnya maka diperintahkan kepada yang ma’ruf secara mutlak, dan dilarang dari yang mungkar secara mutlak pula. Penerapannya pada diri seseorang dan sebuah kelompok adalah dengan memerintahkannya kepada perkara ma’ruf dan mencegahnya dari kemungkaran. Perbuatan tersebut terpuji bila perintah kepada yang ma’ruf tidak menimbulkan hilangnya perkara ma’ruf yang lebih besar atau melahirkan kemungkaran yang lebih besar. Juga apabila mencegah kemungkaran tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar atau hilangnya perkara ma’ruf yang lebih banyak. (Majmu’ Al-Fatawa, 28:128–131; kitab Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 21).
—
Disarikan dari buku Jadilah Salafi Sejati (terjemahan dari kitab Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah). Syaikh Dr. Abdussalam bin Salim As-Suhaimi. 2007. Jakarta: Pustaka At-Tazkia.
Dengan penyuntingan bahasa oleh Redaksi Muslimah.Or.Id
Artikel Muslimah.Or.Id
Assalamualaykum min. Mhn maaf ana bertanya.
Kenapa Syaikh Ibnu Taimiyah memberontak kepada penguas Tatar wilayah Syam yg dipimpin oleh Hulagu Khan bukankan Hulagu Khan sebagai raja Tatar itu agama Islam, ia shalat dllnya?