Mungkin perkataan ini tidak asing terdengar oleh telinga kita, bahkan mungkin pernah terucap oleh lisan kita, bukan karena ragu akan adanya keimanan kita, tetapi diri kita yang merasa jauh dalam kesempurnaan beribadah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Dalam kitab Fathu Rabbil Bariyyah karya Syekh al-’Utsaimin, perkataan ini memiliki pembahasan tersendiri di akhir kitabnya dengan judul istitsna’ fil iman (pengecualian dalam iman). Berikut penjelasan terkait hukumnya:
Hukum mengatakan “Saya beriman insya Allah“ terdapat tiga pendapat:
- Pendapat pertama: Haramnya istitsna’, ini merupakan pendapat Murjiah, Jahmiyah, dan semisalnya. Mereka mengatakan bahwa keimanan adalah sesuatu yang satu, seseorang pasti tahu kadar keimanannya sendiri. Maka perkataan ini adalah ungkapan dari dalam hati. Apabila seseorang melakukan istitsna’ dalam iman menunjukkan tanda atas keraguannya. Oleh karena itu, mereka (Murjiah dan Jahmiyah) menyebut orang yang ber-istitsna’ dengan orang yang ragu.
- Pendapat kedua: Wajibnya istitsna’, pendapat ini ditinjau dari dua pengertian iman itu sendiri:
- Bahwa iman, yaitu keadaan seseorang ketika meninggal. Seseorang dihukumi mukmin atau kafir berdasarkan keadaannya ketika meninggal dan ini adalah masa depan yang tidak diketahui. Maka tidak diperbolehkan untuk berkata seperti itu. Pendapat ini dianut oleh ulama kontemporer dari kullabiyah dan selainnya. Dan tidak ditemukan seorang pun dari ulama salaf mengambil pendapat ini, melainkan pengertian iman yang kedua.
- Bahwa iman mutlak mengandung makna yang banyak, termasuk mengerjakan semua apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Maka tidak boleh berkata seperti itu, apabila seseorang mengatakannya ia telah menganggap suci dirinya sehingga menyatakan dirinya orang yang bertakwa dan shalih, bahkan berhak menjadi ahli surga. Maka ini termasuk hal yang diharamkan.
- Pendapat ketiga: Pendapat ini merincikan hukumnya dengan dua keadaan, yaitu:
- Apabila seseorang mengatakannya karena ia benar-benar merasa ragu akan keberadaan iman di dalam hatinya, maka hukumnya haram, bahkan kufur. Karena iman itu sesuatu yang pasti dan keraguan akan menafikannya.
- Apabila seseorang mengatakannya karena takut menganggap dirinya suci dan menyatakan dirinya sudah menyempurnakan imannya, baik dalam perkataan, perbuatan, dan keyakinannya, hal ini wajib untuk dihindari. Dan yang dimaksud dari perkataan ini adalah mencari berkah dengan memasrahkan keimanannya kepada Allah. Maka hukumnya boleh.
Dan memasrahkan keimanan kepada kehendak Allah dengan cara ini tidak menafikan hakikat keimanan. Karena telah disebutkan hal ini dalam ayat :
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ لَا تَخَافُوْنَ ۗ
“… kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut…” (QS. Al-Fath: 27)
Dengan ini kita mengetahui bahwa tidak bisa memutlakkan hukum atas sesuatu, tetapi harus diperinci seperti yang kita bahas di atas. Wallahu A’lam.
Baca juga: Beriman dan Beramal Saleh
—
Penulis: Hanifa Nadhya Ulhaq
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab Fathu Rabbil Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah, Syaikh Muhammad Shalih al-’Utsaimin, Muassasah asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin al-Khairiyyah, Riyadh.