Muslimah.or.id
Donasi muslimah.or.id
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah
No Result
View All Result
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah
No Result
View All Result
Muslimah.or.id
No Result
View All Result
Donasi muslimahorid Donasi muslimahorid

Hukum Perkataan “Aku beriman insya Allah”

Hanifa Nadhya Ulhaq oleh Hanifa Nadhya Ulhaq
25 April 2024
di Akidah
0
Hukum Perkataan “Aku beriman insya Allah”
Share on FacebookShare on Twitter

Mungkin perkataan ini tidak asing terdengar oleh telinga kita, bahkan mungkin pernah terucap oleh lisan kita, bukan karena ragu akan adanya keimanan kita, tetapi diri kita yang merasa jauh dalam kesempurnaan beribadah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla.

Dalam kitab Fathu Rabbil Bariyyah karya Syekh al-’Utsaimin, perkataan ini memiliki pembahasan tersendiri di akhir kitabnya dengan judul istitsna’ fil iman (pengecualian dalam iman). Berikut penjelasan terkait hukumnya:

Hukum mengatakan “Saya beriman insya Allah“ terdapat tiga pendapat:

  • Pendapat pertama: Haramnya istitsna’, ini merupakan pendapat Murjiah, Jahmiyah, dan semisalnya. Mereka mengatakan bahwa keimanan adalah sesuatu yang satu, seseorang pasti tahu kadar keimanannya sendiri. Maka perkataan ini adalah ungkapan dari dalam hati. Apabila seseorang melakukan istitsna’ dalam iman menunjukkan tanda atas keraguannya. Oleh karena itu, mereka (Murjiah dan Jahmiyah) menyebut orang yang ber-istitsna’ dengan orang yang ragu.
  • Pendapat kedua: Wajibnya istitsna’, pendapat ini ditinjau dari dua pengertian iman itu sendiri:
    • Bahwa iman, yaitu keadaan seseorang ketika meninggal. Seseorang dihukumi mukmin atau kafir berdasarkan keadaannya ketika meninggal dan ini adalah masa depan yang tidak diketahui. Maka tidak diperbolehkan untuk berkata seperti itu. Pendapat ini dianut oleh ulama kontemporer dari kullabiyah dan selainnya. Dan tidak ditemukan seorang pun dari ulama salaf mengambil pendapat ini, melainkan pengertian iman yang kedua.
    • Bahwa iman mutlak mengandung makna yang banyak, termasuk mengerjakan semua apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Maka tidak boleh berkata seperti itu, apabila seseorang mengatakannya ia telah menganggap suci dirinya sehingga menyatakan dirinya orang yang bertakwa dan shalih, bahkan berhak menjadi ahli surga. Maka ini termasuk hal yang diharamkan.
  • Pendapat ketiga: Pendapat ini merincikan hukumnya dengan dua keadaan, yaitu:
    • Apabila seseorang mengatakannya karena ia benar-benar merasa ragu akan keberadaan iman di dalam hatinya, maka hukumnya haram, bahkan kufur. Karena iman itu sesuatu yang pasti dan keraguan akan menafikannya.
    • Apabila seseorang mengatakannya karena takut menganggap dirinya suci dan menyatakan dirinya sudah menyempurnakan imannya, baik dalam perkataan, perbuatan, dan keyakinannya, hal ini wajib untuk dihindari. Dan yang dimaksud dari perkataan ini adalah mencari berkah dengan memasrahkan keimanannya kepada Allah. Maka hukumnya boleh.

Dan memasrahkan keimanan kepada kehendak Allah dengan cara ini tidak menafikan hakikat keimanan. Karena telah disebutkan hal ini dalam ayat :

 لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ لَا تَخَافُوْنَ ۗ

Donasi Muslimahorid

“… kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut…” (QS. Al-Fath: 27)

Dengan ini kita mengetahui bahwa tidak bisa memutlakkan hukum atas sesuatu, tetapi harus diperinci seperti yang kita bahas di atas. Wallahu A’lam.

Baca juga: Beriman dan Beramal Saleh

—

Penulis: Hanifa Nadhya Ulhaq

Artikel Muslimah.or.id

 

Referensi:

Diterjemahkan dari kitab Fathu Rabbil Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah, Syaikh Muhammad Shalih al-’Utsaimin, Muassasah asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin al-Khairiyyah, Riyadh.

ShareTweetPin
Muslim AD Muslim AD Muslim AD
Hanifa Nadhya Ulhaq

Hanifa Nadhya Ulhaq

- Alumni STDI Imam Syafii Jember - Alumni Ponpes Imam Bukhari Solo - Pengajar diniyah dan bahasa Arab Mts Jamilurrohman Putri

Artikel Terkait

Kaitan Islam dan Kesehatan Mental

Kaitan Islam dan Kesehatan Mental (Bag. 2)

oleh Triani Pradinaputri
24 Januari 2025
0

Doa yang diajarkan Nabi untuk menghilangkan kesedihan dan kecemasan Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa, اللَّهمَّ...

jagalah Zinah-mu

Wahai Muslimah, Jagalah “Zinah”-mu! Bag. 2

oleh Atma Beauty Muslimawati
4 Juni 2024
0

Dalam hadis, diterangkan bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صنفان من أهل النار لم أرهما...

Definisi Waliyullah

oleh Yulian Purnama
3 September 2013
1

Sebagian orang menyematkan gelar waliyullah (wali Allah) pada orang-orang tertentu. Sebenarnya bagaimana ciri seorang waliyullah itu? Dan bagaimana caranya mencapai...

Artikel Selanjutnya
Fikih Nazhar Ringkas dalam Perspektif Mazhab Syafi’i

Fikih Nazhar Ringkas dalam Perspektif Mazhab Syafi’i

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid
Logo Muslimahorid

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslim.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.

No Result
View All Result
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.