Profesi sebagai pedagang merupakan sebuah ikhtiar untuk menjemput rezeki dari Allah ta’ala. Bukan sekedar pedagang yang berbisnis untuk meraih keuntungan besar namun mengabaikan etika islami sebagai sosok pedagang muslim yang bertakwa. Dan Islam telah memberi petunjuk teoritis serta praktis agar pedagang muslim tidak terjerumus pada praktik jual beli yang dilarang syariat.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
???????? ???????? ???????? ??????? ???????????? ??? ?????????
“Bertakwalah kepada Allah dan ambillah yang baik dalam mencari rizki (ambil yang halal dan tinggalkan yang haram)” (HR. al-Hakim dalam Mustadraknya no.2136. Shahih).
Di era zaman kini, figur pedagang muslim yang jujur, amanah dan menjalankan prinsip Islam dalam masalah muamalat bisa dikatakan langka, kecuali mereka yang mendapat taufik Allah ta’ala. Praktik riba merajalela, jual beli barang yang di haramkan Allah ta’ala, memanipulasi harga, curang dalam timbangan, menyembunyikan cacat barang, memalsukan uang dan berbagai bentuk kezaliman lainnya.
Sungguh sangat bertolak belakang dengan karakter para pedagang muslim di era keemasan Islam. Para penguasa dan ulama begitu konsisten menjaga syariat islam. Pedagang berbisnis berlandaskan ilmu sehingga pembeli merasa puas dan kehidupan masyarakat penuh ketertiban dan kedamaian serta jauh dari penipuan, penindasan, dan kedzaliman.
Kisah fenomenal tentang ketegasan khalifah Umar bin Khattab yang melakukan inspeksi mendadak terhadap pedagang susu yang mencampurkannya dengan air untuk mendapatkan laba berlipat.
Umar juga pernah menjatuhkan sanksi cambuk seorang yang memalsukan stempel baitul maal (kas negara), dan berhasil mendapatkan uang dari tindakan penipuan tersebut, Umar mencambuk pelakunya dihari pertama 100 kali cambuk, keesokan harinya 100 kali cambuk dan di hari ketiga juga 100 kali cambuk” (Al Hisbah Fil Islam, karya Ibnu Taimiyah, hal. 50)
Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad. Beliau keluar dari kediamannya menuju pasar sambil membawa tongkat berjalan di tengah pasar. Beliau menyerukan agar pedagang bertakwa kepada Allah, dan berniaga dengan cara yang baik, ia juga berkata, “Sempurnakanlah takaran dan timbangan (jangan curang)!”, ia juga berkata, “Jangan gelembungkan daging (dengan cara ditiup)” (Ath-Thabaqat al-Kubra, Jilid III, hal. 28).
Demikianlah sekilas potret indah sosok pemimpin yang tegas menerapkan prinsip Islam dalam perniagaan sehingga berbagai permasalahan bisa diatasi dengan baik. Para pedagang pun diperintahkan untuk berniaga dengan mencari keberkahan sekaligus keuntungan dengan jalan halal dan juga harus mempelajari ilmu seputar perniagaan Islam.
Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan para penguasa untuk mengumpulkan seluruh pedagang dan orang-orang pasar, lalu beliau menguji satu persatu, saat beliau dapati diantara mereka ada yang tidak mengerti hukum halal haram tentang jual beli beliau melarangnya masuk ke pasar seraya menyuruhnya mempelajari fikih muamalat, bila telah paham, orang tersebut dibolehkan masuk pasar” (Tanbih Al-Ghafilin, hal. 264).
Sosok pedagang yang dicintai Allah ta’ala akan takut kepada Allah ta’ala ketika ia tak menjadi orang yang menyia-nyiakan petunjuk Islam. Merekalah figur mukmin yang khawatir terjerumus pada riba dan berbagai praktik jual beli yang diharamkan Allah ta’ala. Disinilah betapa pentingnya ilmu muamalat bagi mukmin yang ingin berkecimbung sebagai pedagang yang bertakwa.
Dikisahkan oleh Ibnu Al-Hajj, ulama madzhab Maliki (wafat th. 737 H), “Aku mendengar guruku Abu Muhammad rahimahullahu bahwa dia masih menemukan di Maroko seorang petugas negara yang melakukan pemeriksaan di pasar. Ia menguji para pemilik toko tentang hukum-hukum jual beli (muamalat) barang yang didagangkannya dan bagaimana riba bisa terjadi dalam transaksi dagangan serta bagaimana caranya menghindari riba. Jika pedagang dapat menjawab dibiarkan tetap berdagang dan jika tidak bisa menjawab maka petugas menyuruhnya meninggalkan pasar seraya berkata, “Kami tidak membiarkan engkau berjualan di pasar karena engkau akan memberi umat Islam riba dan harta haram.” (Al Madkhal, Jilid I, hal. 157).
Semoga uraian di atas mampu menginspirasi seorang mukmin untuk ikhlas dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berniaga, berniaga dengan landasan akhlak Islam, dan tak tergiur dengan keuntungan materi namun mengabaikan prinsip halal haram. Sosok pedagang yang menjadikan perniagaannya berbarakah dan bertawakkal hanya kepada Allah ta’ala.
Abu Umar Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata: “Setiap harta yang tidak menopang ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dikonsumsi untuk kepentingan maksiat dan mendatangkan murka Allah bahkan tidak dimanfaatkan untuk menunaikan hak Allah dan kewajiban agama, maka harta tersebut tercela. Adapun harta yang diperoleh lewat usaha yang benar sementara hak-hak harta ditunaikan secara sempurna, dibelanjakan di jalan kebaikan untuk meraih ridha Allah, maka harta tersebut sangat terpuji” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdil Barr, Juz. 2, Hal. 26).
Wallahu a’lam.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi:
1. Harta Haram Muamalat Kontemporer, Dr. Erwandi Tramizi, MA, BMI Publishing, Bogor, 2016
2. Mencari Kunci Rizki Yang Hilang, Zaenal Abidin Syamsudin, Pustaka Imam Abu Hanifah, Jakarta, 2008