Jika seorang wanita shalat berjama’ah, bolehkah ia membuka suara untuk mengoreksi kesalahan imam? Semisal ketika imam salah dalam bacaan, bolehkah istrinya mengoreksi bacaannya? Atau imam salah gerakan, bolehkah istrinya mengucapkan “subhanallah” ataukah dengan tashfiq (tepukan tangan)?
Secara umum, kita mengetahui bahwa wanita diperintahkan oleh Allah untuk menjaga suaranya. Karena suara wanita bisa membuat lelaki terfitnah (tergoda). Allah Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“maka janganlah kamu menundukkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al Ahzab: 32)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “’janganlah kamu menundukkan suara‘, As Suddi dan para ulama yang lain menyatakan, maksudnya adalah melembut-lembutkan perkataan ketika berbicara dengan lelaki. Oleh karena itu Allah berfirman ‘sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya‘ maksudnya hatinya menjadi rusak” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Oleh karena itu yang disyariatkan bagi wanita ketika ingin mengoreksi imam dalam shalat adalah dengan cara tashfiq (menepuk tangan). Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ، والتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
“Tasbih adalah untuk laki-laki. Tashfiq (menepuk tangan) adalah untuk wanita” (HR. Bukhari no. 1203, Muslim no. 422).
Al ‘Aini rahimahullah mengatakan:
إنما كره لها التسبيح؛ لأن صوتها فتنة، ولهذا منعت من الأذان، والإمامة والجهر بالقراءة في الصلاة
“Dimakruhkan bagi wanita untuk bertasbih, karena suaranya bisa memfitnah. Dan oleh karena itu jugalah, wanita dilarang adzan, dilarang menjadi imam (bagi lelaki), dilarang mengeraskan bacaan surat dalam shalat” (Umdatul Qari’, 12/16).
Namun ketika tidak ada potensi menimbulkan fitnah, maka boleh bagi wanita untuk membuka suaranya.
Al Hafidz Al Iraqi rahimahullah menyebutkan:
وإن جهرت به بحيث أسمعت من تريد إفهامه فالذي ينبغي أن يقال : إن كان امرأة أو محرماً فلا كراهة ، وإن كان رجلاً أجنبياً كره ذلك بل يحرم إذا قلنا إن صوتها عورة . . .
ولسنا نريد بذلك أنها في هذه الحالة يكون المشروع لها التسبيح وإنما نقول إنها لو نبهت بالتسبيح لم يكره وإن كان المشروع في حقها والأفضل لها التصفيق . . . لأن ظاهر قوله صلى الله عليه وسلم : (والتصفيق للنساء) مشروعيتة في كل حالة ، والله أعلم
“Jika wanita mengeraskan suaranya (dalam shalat) dengan tujuan agar (imam) yang ingin dipahamkan bisa mendengarnya, maka kita katakan:
* jika imamnya wanita atau imamnya adalah mahramnya maka itu dibolehkan tanpa kemakruhan.
* namun jika imamnya adalah lelaki ajnabi (non mahram), hukumnya makruh melakukan hal tersebut. Bahkan bisa menjadi haram jika kita katakan bahwa suara adalah aurat.
…
Dan bukan berarti kita mengatakan bahwa dalam keadaan di atas yang disyariatkan bagi wanita adalah bertasbih, namun yang kita katakan adalah: andaikan wanita tersebut mengingatkan imam dengan tasbih, itu boleh dan tidak makruh. Walaupun, tetap saja yang disyariatkan dan yang lebih utama baginya adalah tashfiq (dengan tepukan tangan). Karena zahir hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam: “tepukan tangan itu untuk wanita”, ini berlaku untuk setiap keadaan. Wallahu a’lam” (Tharhu at Tatsrib, 2/248-249).
Kesimpulannya, membuka suara bagi wanita hukum asalnya makruh. Boleh bagi wanita membuka suara untuk mengoreksi imam jika imamnya adalah suaminya atau mahramnya. Namun dengan tepukan tangan itu lebih utama.
Namun tentu saja kebolehan praktek di atas, dengan syarat tidak ada lelaki ajnabi yang menjadi makmum atau berada di sekitarnya, sehingga ia mendengar suara di wanita tersebut. Jika ada lelaki ajnabi yang mendengar suara wanita tersebut, maka tidak diperbolehkan membuka suara. Cukup dengan tepukan tangan.
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id