Anak-anak masih memiliki keterbatasan akal sesuai dengan perkembangan usianya. Oleh karena itu, seorang anak hendaknya tidak selalu disalahkan atas semua yang dia lakukan. Artinya, tidak semua kesalahan harus dipermasalahkan. Akan tetapi, kita perlu memberikan toleransi atau membiarkan atas sebagian tingkah laku yang dilakukan sang anak. Dan menegur sang anak jika memang perbuatan tersebut memang harus diberikan teguran, misalnya jika perbuatan tersebut berbahaya. Menegurnya pun tentunya dengan bahasa yang lembut, karena masih anak-anak.
Allah Ta’ala telah memberikan gambaran bahwa anak-anak itu kurang (tidak sempurna) akalnya, sebagaimana halnya wanita. Hal ini sebagaimana penjelasan jumhur (mayoritas) ulama ahli tafsir ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala,
????? ???????? ???????????? ????????????? ??????? ?????? ??????? ?????? ???????? ?????????????? ?????? ???????????? ????????? ?????? ??????? ??????????
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An-Nisa’ [4]: 5)
Demikianlah praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur istri beliau, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
?????? ??????? ?????????? ????? ?????? ??????????? ???????? ???????? ????????? ???? ???????????? ??????? ???????? ??????? ???????? ?????????? ???? ?????? ???????? ?????????? ???? ??????? ???? ?????????? ????? ????? ??????????? ?????????? ??????????
“Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan (membiarkan) sebagian yang lain (kepada Hafsah).” (QS. At-Tahrim [66]: 3)
Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menegur istrinya. Yaitu, beliau menegur sebagian kesalahan saja, dan memberikan toleransi atas kesalahan yang lain. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala menjelaskan dalam kitab beliau, Fiqh Ta’aamul baina Zaujain (Fiqh interaksi antara suami dan istri), bahwa jika seorang istri memiliki sepuluh kesalahan misalnya, tegurlah lima atau enam kesalahan saja, kurang lebihnya demikian, dan biarkan (tidak menegur) sisa kesalahan yang lainnya.
Ini pula yang perlu dilakukan ketika menegur anak-anak kita yang masih kecil. Tidak semua kesalahan harus ditegur. Selain itu, di antara bentuk lemah lembut dalam memberikan teguran kepada sang anak adalah membiarkan sang anak ketika dia baru melakukan kesalahan tersebut sekali itu. Karena siapa tahu, tanpa kita tegur, sang anak bisa kemudian berpikir dan menyadari kesalahannya. Namun jika kesalahan tersebut berulang, apalagi jika ada indikasi sang anak sulit ditegur atau diluruskan, maka hendaknya diberikan teguran yang baik dan terus-menerus, yang tidak menyakiti sang anak.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
???????? ??????? ????? ?????? ????? ???????? ????????? ?????? ???????? ??????? ??? ????? ???: ?????? ?????? ????? ????? ??? ????????: ???? ???????? ?????? ???????? ???????? ??????
“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku “uff” sama sekali. Beliau juga tidak pernah sekalipun mengatakan kepadaku, mengapa Engkau melakukan hal itu? Atau (mengatakan), seharusnya Engkau (Anas) melakukan ini dan itu.” (HR. Bukhari 2768 dan Muslim no. 2309)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak Anas berusia sepuluh hingga dua puluh tahun. Artinya, ketika usia Anas sekitar sepuluh-an tahun, beliau masih anak-anak. Hal ini menunjukkan mulianya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak.
Namun hal ini tidaklah berarti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menegur sama sekali. Kami telah menceritakan hadits tentang teguran Nabi kepada ‘Umar bin Abu Salamah radhiyallahu ‘anhuma ketika makan, sebagaimana yang dapat dilihat di seri ke-40 tulisan ini.
Ayah dan Ibu Bukanlah Manusia yang Ma’shum
Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa diri kita bukanlah manusia yang ma’shum, karena tentu saja kita terkadang berbuat salah. Kita terkadang bersikap keras kepada anak, padahal perkaranya membutuhkan kelembutan. Terkadang kita mencaci maki atau mencela sang anak, padahal perkaranya tidaklah membutuhkan cacian dan makian. Jika hal itu yang terjadi, maka segeralah kita memperbaiki keadaan tersebut sebagai orang orang tua dengan melakukan dua hal berikut ini.
Pertama, kita menghibur dan menyenangkan jiwa sang anak atas apa yang telah terjadi. Sehingga hatinya merasa tenang dan tidak diliputi dengan ketakutan.
Ke dua, kita meminta maaf kepada sang anak atas apa yang telah kita lakukan, dengan gaya penyampaian yang baik, yang tidak mengurangsi kewibawaan kita sebagai orang tua, namun tetap menjaga hak-hak anak sebagai pihak yang telah kita dzalimi.
Sebagaimana kita mengajarkan kepada anak-anak kita untuk saling memaafkan, misalnya sang adik memaafkan sang kakak jika sang kakak berbuat kesalahan, demikian juga, kita pun mencontohkan dengan tidak segan meminta maaf kepada mereka jika kita sebagai orang tua berbuat kesalahan dan kedzaliman kepada mereka.
***
Diselesaikan menjelang maghrib, Rotterdam NL, 8 Jumadil akhir 1439/ 26 Februari 2018
Penulis: Aditya Budiman dan M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id