Penyusun: Ummu Ziyad
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).'” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.
—
Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji’:
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
***
Artikel muslimah.or.id
JazakIllah khoyr ukhti…untuk ilmu yang ukhti bagi. Semoga bermanfaat untuk ana khususnya dan juga yang lain.
Ana ijin copas ya ukht…
BaarokAllahu fiiki
Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Alhamdulillah, tahun yang lalu ana hamil dan menyusui tapi kuat berpuasa sebulan penuh. Tidak ada masalah juga dengan janin dalam kandungan ana.
Selain makan sahur dan buka puasa yang cukup,di malam hari selalu ana sempatkan untuk makan lagi. Jadi makannya tetap tiga kali sehari. Tapi cuman pindah malem aja.
Supaya kuat puasanya dan ASI tetap lancar.
Assalamualaikum warohmatulloohi wabarokaatuh
Ummi,
bagaimana dengan membayar fidyah untuk orang yang meninggal? apakah kealfaan puasa Romadhon untuk tahun ini saja yg dibayar atau tahun2 sebelumnya juga ikut dibayar? mohon penjelasannya di judul yang lain Ummi..terimakasih banyak
Wassalamualaikum warohmatulloohi wabarokaatuh
Ada beberapa masukan atau pertanyaan dari kami:
1. Bagaimana kalau wanita tersebut sering mengalami setiap tahunnya, dia tidak mampu puasa krn kondisi demikian, lalu kapan dia qodho’nya?
2. Apa dalil ulama yg memisahkan antara kalau takut membahayakan istri dan kalau takut membahayakan bayi? Apa dalil memisahkan seperti ini sehingga menghasilkan ada yg cukup qodho’ dan ada yg harus qodho’ sekaligus fidyah?
3. Lalu bagaimana dgn riwayat ibnu abbas sbgmn diriwayatkan oleh Abdur Razaq dgn sanad shahih. Dlm riwayat tersebut Ibnu Abbas mengatakan kpd wanita hamil, “Engkau sama kedudukannya dengan orang yg sudah tua yg tidak wajib berpuasa. Maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum bagi setiap hari yg ditinggalkan.”
Lihatlah dlm riwayat Ibnu Abbas ini walaupun wanita hamil atau menyusui mampu mengqodho’ puasanya, Ibnu Abbas tetap mengatakan wanita hamil dan menyusui itu sama dengan orang yg sudah tua renta yg tdk mampu berpuasa.
Perhatikan lg riwayat Ibnu Abbas dlm mushonnaf abdur rozaq di atas.
Semoga Allah selalu memberi petunjuk kpd kita sekalian.
Maaf perbaikan.
Bagaimana kalau wanita tersebut sering mengalami hamil setiap tahunnya, dan dia tidak mampu puasa krn kondisi demikian, lalu kapan dia qodho?nya?
Tambahan pada pertanyaan ketiga dr kami:
Ibnu Abbas menjelaskan kedudukan wanita hamil dan menyusui sama dgn orang tua rentah. Ini berarti kewajiban wanita hamil dan menyusui adl cukup fidyah sebagaimana kewajiban orang tua renta.
jazakillah khoyr untuk artikel yang sgt bermanfaat ini..ana ijin copas jg ya
Sebagai bahan perbandingan dr artikel di atas, silakan baca artikel menarik pd link berikut:
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2660-puasanya-wanita-haidh-dan-menyusui.html
Semoga bisa jd bahan pertimbangan.
Semoga Allah selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita sekalian.
@Ummu Rumaysho
Assalamu’alaykum yaa Umma Rumaysho
Seorang wanita yang sedang hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah/keringanan untuk berbuka di bulan Ramadhan. Untuk masalah pengganti puasanya, apakah dilakukan hanya dengan mengqadha’ saja, atau membayar fidyah saja, atau keduanya adalah masalah ikhtilafiyah dikalangan para ulama, sebagaimana telah disebutkan dalam artikel di atas.
Namun, untuk membantu menjawab pertanyaan Ummu Rumaysho mengenai qadha’ atau fidyah, berikut ini beberapa penjelasan tambahannya:
Dalam kitab Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu bil Mu’minat (Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan) disebutkan bahwa wanita yang mengandung dan wanita yang sedang menyusui, jika puasanya berdampak bahaya terhadap dirinya atau anaknya atau keduanya, maka wanita itu boleh berbuka saat mengandung dan menyusui. Adapun jika dia mengkhawatirkan bahaya yang akan menimpa anaknya saja tanpa dirinya jika dia berpuasa, maka dia harus mengqadha’ hari-hari yang ditinggalkannya dan memberi makan setiap harinya seorang miskin. Jika dia mengkhawatirkan bahaya yang akan menimpa dirinya saja sehingga dia berbuka, maka ia cukup mengqadha’ saja.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Fatawa an-Nisaa’ bahwa apabila wanita hamil mengkhawatirkan keselamatan bayinya (janinnya) jika dia berpuasa, maka dia boleh berbuka. Kemudian dia harus mengganti setiap hari yang ditinggalkannya dan memberi makan seorang miskin setiap harinya satu ritl dari roti yang layak.
Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di bulan Ramadhan dan setelah bulan Ramadhan itu dia tidak mengqadha’ puasanya karena kekhawatirannya pada anaknya yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan lagi pada bulan Ramadhan berikutnya, apakah si wanita ini boleh membagikan uang saja sebagai pengganti puasanya..?
Asy-Syaikh menjawab, yang wajib bagi wanita ini adalah mengqadha’ puasanya selama hari-hari yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan walaupun puasa itu diqadha’ di hari-hari setelah Ramadhan kedua, hal ini dikarenakan adanya udzur yang menyebabkan tidak berpuasa pada Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua. (Fatawa ash-Shiyam, hal. 68. Disalin dari Fatwa-Fatwa Tentang Wanita)
Nah, untuk pertanyaan anti yang pertama, -insya Allah- sudah terjawab dengan fatwa asy-Syaikh Utsaimin rahimahullah di atas tadi, bahwa seorang wanita yang sedang hamil dan menyusui, apabila dia tidak mampu mengqadha’ puasanya setelah Ramadhan yang pertama hingga datang Ramadhan yang kedua maka tidak mengapa dia mengqadha’nya setelah Ramadhan yang kedua. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. al-Baqarah: 185)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam Tafsirnya bahwa makna ayat ini mencakup wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir terhadap bahaya yang akan menimpa dirinya dan anaknya.
Untuk pertanyaan yang kedua, bisa dilihat penjelasannya dalam kitab Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu bil Mu’minat (Edisi Terjemahnya: Sentuhan Nilai Kefikihan Untuk Wanita Beriman) di atas.
Dan untuk pertanyaan yang ketiga, tentang riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai penyamaan pembayaran fidyah pada wanita hamil dan menyusui dengan orang tua renta -insya Allah- riwayatnya shahih.
Sebagai tambahan, ada sebuah riwayat yang datang dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan untuk mengqadha’ puasa dan bukan mengqadha’ shalat. (Riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya)
Jadi masalah qadha’ dan fidyah ini adalah khilaf di kalangan para ulama, adapun kita thalabul ‘ilm adalah merujuk kepada sumber-sumber yang shahih dan tsiqat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisaa’ ayat 59. Namun, apabila kita tidak mampu atau tidak memiliki ilmu yang cukup tentang masalah ini, maka kita berkewajiban untuk bertanya kepada ahli ilmu, yaitu para ulama.
Wallahu a’lam.
@Hikmah
Membayar fidyah sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dapat ditinjau dari dua sisi:
Pertama, Apabila orang tersebut meninggal karena penyakit yang dideritanya sehingga dia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha’ puasanya. Maka yang demikian keadaannya maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. (QS. al-Baqarah: 286)
Kedua, Apabila orang tersebut telah sembuh dari sakitnya, kemudian dia tidak menunaikan qadha’ puasanya, atau dia menunda-nunda mengqadha’ puasanya, maka wajib bagi keluarganya untuk memberi makan kepada seorang miskin setiap hari yang ditinggalkannya atas nama orang yang telah meninggal tersebut.
Wallahu a’lam.
Assalamualaikum
Kalau saya lihat artikelnya maka masalah mengganti puasa dgn qadha, fidyah atau keduanya, masih tetap merupakan merupakan hal yg dipersilisihkan di kalangan ulama.
Tentunya bagi orang awam seperti saya dan istri melihat ini akan memilih yg paling mudahnya yaitu hanya membayar fidyah.
Tetapi apakah hal ini merupakan godaan setan yang membuat hati lemah dan malas sehingga mencari2 kemudahan saja dalam beragama?
Kenapa ulama tidak sependapat saja? kalau pilihan kembali jatuh ke kita2 yg awam, bukankah hal ini membuka peluang kesesatan akibat jahilnya kita dalam mengambil keputusan?
Tentunya orang jahil pasti mengambil yg mudah2 saja.
Wassalamualaikum.
#Ummu Rumaysho
Sebelumnya, pendapat tentang tetap adanya qadha bagi orang yang masih memiliki kemampuan berpuasa adalah pendapat jumhur fuqaha. Maka sebagaimana kita ketahui bersama, perlu hati-hati dalam menyelisihi pendapat jumhur.
Untuk pertanyaan pertama,
(a) Wanita hamil dan menyusui belum tentu mutlak tidak sanggup berpuasa. Tergantung pada fitalitas si ibu. Oleh karena itu, para ulama menyarankan untuk berkonsultasi dengan dokter. Andaikan saat Ramadhan ia tidak sanggup berpuasa karena khawatir dirinya atau anaknya, belum tentu ia dalam kondisi tidak sanggup dan khawatir terus-menerus sepanjang tahun.
(b) Kasus seorang ibu yang sering melahirkan secara berturut-turut sampai 3 atau empat kali atau lebih adalah kasus khusus yang tidak merubah kaidah umum bahwa setiap orang yang masih mampu puasa wajib qadha jika ia meninggalkannya.
(c) Jika wanita hamil dan menyusui tingkat ke-tidakmampuan-nya dalam berpuasa sampai disamakan dengan syaikhul kabir, maka tentu akan disebutkan oleh ayat.
Adapun perkataan Ibnu Abbas terhadap ayat, dikatakan oleh para ulama sebagai ijtihad Ibnu Abbas, karena menyelisihi zhahir ayat yang menujukan fidyah bagi orang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, sedangkan ibu hamil dan menyusui masih memiliki kemampuan. Demikian penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di Syarhul Mumthi’ (6/334).
Untuk pertanyaan ketiga, terdapat riwayat lain yang disebutkan sebagian ulama sebagai dalil bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar Radhiallahu’anhum telah ruju’ dari pendapat mereka yang membolehkan fidyah tanpa qadha:
?? ????? ???? ????? ???????? ?? ????? ???? ???? ?? ??? ?????? ?? ???? ????? ?? ??? ?????? ??? ?? ?? ?????? ???? ??? ????
“Ada seorang wanita hamil berpuasa Ramadhan, setelah itu ia melahirkan di bulan Ramadhan. Kemudian ia bertanya pada Ibnu Umar, (apakah meneruskan puasa atau tidak). Kemudian beliau menganjurkannya untuk berbuka kemudian berfidyah 1 mud. Setelah itu beliau melarangnya dan menganjurkannya untuk qadha ia saat itu dalam keadaan sehat” (Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Riwayat ini juga menunjukkan wanita hamil 9 bulan saja masih berpuasa!?!
Riwayat lain:
?? ?????? ???? ???? ?? ???? ?? ??? ???? ??? : ???? ?????? ??????? ?? ????? ??????? ????? ??? ??????
“Dari Ats Tsauri dan Ibnu Juraij, dari Atha, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, namun mereka mengqadha puasa dan tidak membayar fidyah” (Diriwayatkan Abdurrazzaq Ash Shan’ani di Mushannaf-nya, 4/218)
Wallahu’alam.
?Afwan, ana hendak memperbaiki tulisan ana yang terdahulu, dikarenakan beberapa kekeliruan.
Pertama, Dan untuk pertanyaan yang ketiga, tentang riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu mengenai penyamaan pembayaran fidyah pada wanita hamil dan menyusui dengan orang tua renta -insya Allah- riwayatnya shahih.
Koreksi: Riwayat (hadits) yang dimaksud oleh Ummu Rumaysho, yang tercantum dalam artikel dan dalam link tambahan (http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2660-puasanya-wanita-haidh-dan-menyusui.html) adalah riwayat yang datang dari ?Abdullah bin ?Abbas radhiyallahu ?anhu, bukan dari Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu (sebagaimana yang tertulis dalam komentar terdahulu), sekalipun Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu pernah meriwayatkan sebuah hadits tentang rukhsah yang diberikan kepada orang tua renta yang tidak mampu berpuasa untuk memberi makan seorang miskin, namun bukan riwayat ini yang dimaksud.
Kedua, …ada sebuah riwayat yang datang dari ?Aisyah radhiyallahu ?anha bahwa Rasulullah shallallahu ?alaihi wa sallam hanya memerintahkan untuk mengqadha? puasa dan bukan mengqadha? shalat. (Riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahihnya)
Koreksi: Hadits yang datang dari ?Aisyah radhiyallahu ?anha ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, namun riwayat ini ditujukan untuk wanita haidh, bukan wanita hamil dan menyusui ?sebagaimana yang sedang dibahas sekarang-. Hal ini dapat diketahu dari matan (redaksi) lengkapnya:
Mu?adzah berkata: ?Aku pernah bertanya kepada ?Aisyah radhiyallahu ?anha. Aku berkata, ?Bagaimana dengan wanita haidh, ia mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?? ?Aisyah menjawab, ?Apakah kamu seorang Haruriyah?? Aku menjawab, ?Tidak, aku hanya bertanya.? ?Aisyah berkata, ?Kami pernah mengalami yang demikian. Lalu, kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.?? (Riwayat Muslim, I/182)
***
Untuk pembahasan qadha dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui, alhamdulillah, telah ana temukan penjelasannya di kitab Shifatu Shaumin Nabi shallallahu ?alaihi wa sallam fii Ramadhaan. Berikut penjelasannya:
Wanita yang hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya, maka keduanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan memberi makan orang miskin setiap hari yang ditinggalkannya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta?ala:
Artinya: ??Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin?? (QS. al-Baqarah: 184)
Pada awalnya, ayat ini bersifat umum yang mencakup setiap mukallaf, yaitu meliputi semua orang yang mampu menjalankan puasa maupun yang tidak mampu menjalankannya. Hal ini didasarkan pada riwayat yang datang dari Salamah bin al-Akwa? radhiyallahu ?anhu, dia bercerita:
Kami pernah berada di bulan Ramadhan pada masa Rasulullah shallallahu ?alaihi wa sallam. Pada bulan itu, siapa yang mau berpuasa, maka dia berpuasa, sedangkan siapa yang enggan, maka dia tidak berpuasa, tetapi dia harus membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin. Oleh karena itu turunlah ayat ini:
Artinya: ??Barang siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu?? (QS. al-Baqarah: 185)
(Riwayat Imam Muslim, III/154)
Nasakh pada ayat ini harus difahami berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Yaitu, para Salafush Shalih radhiyallahu ?anhum menyebut nasakh sebagai penghapusan dalil umum, mutlak, dan lahir, baik dengan maksud memberikan pengkhususan, pembatasan, maupun pengertian mutlak kepada muqayyad (yang terikat/khusus) untuk kemudian ditafsirkan dan dijelaskan. Sampai-sampai mereka menyebut istitsna? (pengecualian), syarat, dan sifat sebagai nasakh karena lafazh-lafazh itu mengandung makna penghapusan arti lahiriahnya dan penjelasakan makna yang dimaksud. Dan dalam ayat ini, makna yang dimansukh (dihapus) adalah rukhsah bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa, dan tidak mansukh bagi orang-orang yang tidak mampu menjalankannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa nasakh dalam pemahaman para Shahabat sama artinya dengan pengkhususan dan pembatasan dalam pemahaman ulama ushul fiqh setelah mereka.
Pengkhususan makna dalam ayat ini telah diterangkan dalam berbagai riwayat, yaitu dari ?Abdullah bin ?Umar dan ?Abdullah bin ?Abbas radhiyallahu ?anhum:
Diriwayatkan dari Malik, dari Nafi?, bahwasanya Ibnu ?Umar radhiyallahu ?anhuma pernah ditanya tentang seorang wanita hamil jika khawatir terhadap kandungannya. Maka dia menjawab: ?Dia boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan satu mud gandum setiap hari kepada satu orang miskin.? (Riwayat al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/230) melalui jalan Imam asy-Syafi?i, sanadnya shahih)
Dalam riwayat lain:
Ibnu ?Umar berkata: ?Wanita yang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadha?nya.?
Diriwayatkan pula dari jalan lain:
Bahwasanya istrinya (Ibnu ?Umar) pernah bertanya kepadanya ketika tengah hamil, maka dia menjawab: ?Tidak perlu berpuasa, tetapi engkau harus memberi makan kepada satu orang miskin setiap hari, dan tidak perlu mengqadha?nya.? (Imam ad-Daruquthni I/207, sanadnya jayyid)
Diriwayatkan dari Ibnu ?Abbas radhiyallahu ?anhu, dia berkata: ?Diberikan keringanan kepada orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, dalam hal tersebut meskipun keduanya sanggup mengerjakan puasa. Jika mau, keduanya dibolehkan untuk tidak berpuasa. Tetapi, mereka harus memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak ada kewajiban mengqadha? puasa baginya.
Kemudian, hukum itu di-nasakh melalui ayat berikut:
Artinya: ??Barang siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu?? (QS. al-Baqarah: 185)
Telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita hamil dan wanita yang menyusui, jika keduanya khawatir, maka mereka boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan orang miskin setiap hari.? (Riwayat Ibnul Jarud (381), al-Baihaqi (IV/230), dan Abu Dawud (2318), dan sanadnya shahih)
Jadi, pengkhususan makna kalimat ?? orang-orang yang berat menjalankannya?? adalah untuk orang tua renta yang sudah tidak mampu menjalankan puasa, wanita yang hamil dan wanita yang menyusui termasuk juga dalam cakupan ayat ini.
Tidak benar jika alasan peniadaan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui disamakan dengan peniadaan kewajiban puasa bagi musafir, sehingga mereka (wanita hamil dan menyusui) tetap harus mengqadha’nya. Karena al-Qur’an telah menjelaskan peniadaan kewajiban puasa bagi musafir:
Artinya: “…Barang siapa di antara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan, maka hendaklah dia menggantinya pada hai-hari yang lain…” (QS. al-Baqarah: 184)
Al-Qur’an juga menjelaskan makna peniadaan kewajiban puasa bagi orang-orang yang tidak mampu menjalankannya:
Artinya: ??Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin?? (QS. al-Baqarah: 184)
Dengan demikian, jelas bahwa wanita hamil dan wanita menyusui termasuk dalam cakupan ayat ini, bahkan ia termasuk yang dikhususkan bagi mereka.
Untuk penjelasan lebih lengkap, silakan merujuk kepada kitab Shifatu Shaumin Nabi shallallahu ?alaihi wa sallam fii Ramadhaan karya asy-Syaikh Salim bin ?Ied al-Hilali dan asy-Syaikh ?Ali Hasan ?Ali ?Abdul Hamid, dan untuk edisi terjemahnya berjudul Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu ?alaihi wa sallam, cetakan pustaka Imam asy-Syafi?i.
Wallahu a?lam.
Semoga Allah selalu memberikan keberkahan kepada Ummu Sufyan juga Aswad. Semoga Allah memberikan tambahan ilmu kepada antum sekalian.
Senang sekali bisa berdiskusi di sini. Semoga Allah menjadikan diskusi ini sebagai keberkahan sehingga kita bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dengan dilandasi ikhlas mengharap wajah Allah dan ingin mencari kebenaran.
Berikut kami sampaikan beberapa pendapat ulama mengenai permasalahan qodho’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui. Kami sarikan dari kitab Shahih Fiqih Sunnah (2/125-126), Abu Malik. Ada 5 pendapat ulama dalam masalah ini.
Pendapat pertama: wajib mengqodho? puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Syafi?i, Imam Malik dan Imam Ahmad.
Namun menurut ulama Syafi?iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (bukan anaknya), maka wajib baginya mengqodho? puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho? saja. Inilah pendapat Al Auza?i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ?Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho?. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ?Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.
Pendapat keempat: mengqodho? bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho? dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi?iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho? dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.
Jadi sebagaimana disinggung dalam tulisan saudara kami tercinta Ummu Ziyad, bahwa memang ada perselisihan pendapat dalam masalah ini. Jadi sudah barang tentu kita harus bisa bersikap arif dan bijak dalam masalah ini. Hendaklah pulang kita berusaha menyampaikan hujjah ilmiah, berdasarkan dalil yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Semoga kita juga selalu mengingat perkataan Imam Ahmad, “Laa yambagi lil faqih ay yahmilan naas ‘ala madzhabihi” (Tidak selayakany bagi seorang faqih membawa manusia kepada pendapatnya).
Oleh karena itu, hendaklah kita mengemukakan hujjah yang kuat dengan berbagai alasan sehingga pendapat yang kita pilih pun bisa menenangkan jiwa.
Semoga Allah memaafkan kami jika hal ini dilakukan tidak ikhlas karenanya. Semoga Allah selalu membimbing kami menuju ridho dan selalu mengharap wajah-Nya yang mulia.
Sedikit menanggapi komentar2 di atas.
@ Abu Khansa
“Tentunya orang jahil pasti mengambil yg mudah2 saja.”
Semoga Allah selalu memberi hidayah demi hidayah kepadamu. Perlu diketahui permasalahan kenapa kita memilih salah satu dari lima pendapat ulama dalam masalah ini bukanlah karena mengambil yang mudah-mudah saja tetapi karena mengikuti dalil. Jadi untuk inilah tujuan kita.
@ Ummu Sufyan
1. Bukan berarti kami memaksakan pendapat dalam masalah ini. Cuma kami ingin agar kita sekalian tidak terpaku pada satu pendapat saja. Siapa tahu pendapat yang kita anut selama ini adalah keliru, sehingga saat itulah kita ruju’. Jadi sungguh sangat keliru jika ada yang punya keyakinan bahwa masalah khilafiyah dibiarkan begitu saja dan tidak perlu dibahas. Tidak seperti itu. Jika memang kita mampu menjelaskan pada orang lain bahwa pendapat yang kita anut adalah benar, tidak ada salahnya kita menyampaikannya kepada mereka.
2. Mengenai tanggapan anti pada pertanyaan no. 3:
“Dan untuk pertanyaan yang ketiga, tentang riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ?anhu mengenai penyamaan pembayaran fidyah pada wanita hamil dan menyusui dengan orang tua renta -insya Allah- riwayatnya shahih.”
>> Maaf kami tuliskan di atas adalah Ibnu ‘Abbas. Kami rasa anda keliru.
“Sebagai tambahan, ada sebuah riwayat yang datang dari ?Aisyah radhiyallahu ?anha bahwa Rasulullah shallallahu ?alaihi wa sallam hanya memerintahkan untuk mengqadha? puasa dan bukan mengqadha? shalat.”
>> Maaf, dalil ini nyambungnya ke mana dengan dalil yang kami sampaikan? Dalil yang anti bawakan adalah untuk masalah wanita haidh yang diperintahkan untuk mengqodho’ dan bukan tentang masalah wanita hamil-menyusui yang kami tanyakan.
Semoga Allah selalu memberikan tambahan ilmu padamu. Zaadakallahu hirshon.
@ Aswad
Semoga Allah selalu memberikan keberkahan dalam setiap amalanmu.
Semoga Allah memaafkan kami jika hal ini dilakukan tidak ikhlas karenanya. Semoga Allah selalu membimbing kami menuju ridho dan selalu mengharap wajah-Nya yang mulia.
Ada beberapa tanggapan dari kami terhadap Mas Aswad:
1. Dalam masalah yang rumit seperti ini seharusnya Mas Aswad memberikan status hadits dari hadits yang dibawakan. Karena jika memang pendapat Ibnu ‘Abbas itu sudah ruju’, apakah betul 2 riwayat yang disampaikan itu shahih? Hendaklah bersikap ketat dalam masalah ini. Karena di sini kita ingin mencari pendapat yang terkuat di antara para ulama sedangkan antum hanya menyebutkan sumber haditsnya saja tanpa menyebutkan derajatnya. Zaadakallahu hirshon.
2. Lalu sekali lagi kami sampaikan bahwa dalam permasalahan wanita hamil-menyusui ada 5 pendapat sebagaimana kami telah kemukakan:
Pendapat pertama: wajib mengqodho? puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Syafi?i, Imam Malik dan Imam Ahmad.
Namun menurut ulama Syafi?iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (bukan anaknya), maka wajib baginya mengqodho? puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Sedangkan jika antum memilih pendapat pertama ini yang merupakan pendapat jumhur ulama, sekarang apa dalilnya mengatakan bahwa kalau khawatir pada dirinya maka cukup qodho’. Apa dalilnya ulama membagi seperti ini? Apa dalill yang membedakan kalau takut membahayakan dirinya maka cukup qodho’ karena dianggap seperti orang sakit, sedangkan jika khawatir pada bayi maka disamping qodho’ dan juga bayar fidyah?
Ini yang membuat saya janggal dengan pendapat seperti ini. Apa dalilnya memisahkan seperti ini? Kenapa tidak mengatakan untuk kedua kondisi ini langsung saja qodho’ dan fidyah sekaligus? Inilah yang membuat saya janggal dengan pendapat tersebut ketika saya membaca di Al Mughni Ibnu Qudamah.
Ini yang belum terjawab dalam artikel di atas dan tanggapan dari Mas Aswad.
Jika memang tidak ada dalil, maka itu berarti dari hasil qiyas ulama. Namun bagaimana qiyas dipakai sedangkan masih ada dalil yang lebih kuat.
Ingat, Ibnu ‘Abbas membawakan perkataannya untuk menafsirkan ayat berikut: ?Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu?
Dalam perkataan yang lainnya, Ibnu ?Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan orang tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Ibnu ?Abbas menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, lalu mengatakan, ?Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho? gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.? (Diriwayatkan oleh ?Abdur Razaq dengan sanad yang shahih)
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ?Abbas dan Ibnu ?Umar. Dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat keduanya. Juga dapat kita katakan bahwa hadits Ibnu ?Abbas yang membicarakan surat Al Baqarah ayat 185 dihukumi marfu? (sebagai sabda Nabi shallallallahu ?alaihi wa sallam). Alasannya, karena ini adalah perkataan sahabat tentang tafsir yang berkaitan dengan sababun nuzul (sebab turunnya surat Al Baqarah ayat 185). Maka hadits ini dihukumi sebagai sabda Nabi shallallahu ?alaihi wa sallam sebagaimana sudah dikenal dalam ilmu mustholah.
Wallahu a?lam.
Justru kita harus berhati-hati. Mas Aswad mengatakan harus hati-hati dalam menyelisihi jumhur. Namun mana yang lebih harus hati-hati, apakah menyelisihi jumhur ataukah pendapat sahabat?
Semoga Allah selalu memberikan taufik dan hidayah kepada kita semua ke jalan yang lurus.
Maaf kenapa dua komentar kami selanjutnya tidak ditampilkan oleh tim muslimah.or.I’d. Apa ada yg keliru? Mohon dijelaskan. Bisa juga lwat email kami.
Jadi kesimpulan dari ummu sufyan sbagaimana yg dia nukil sendiri adalah untuk wanita hamil dan menyusui cukup fidyah dan tidak ada qodh’ sama sekali.
Inilah kesimpulan dari penulis Shifat Shaum Nabi, syaikh salim hafizhohullah.
Kami juga nasehatkan agar berhati2 dlm memberikan komentar. Jangan sampai kita keliru dalam beristidlal karena banyak orang yg akan membaca komentar kita.
Dan terima kasih kepada ummu sufyan yg mau merujuk dr pendapatnya dan kekeliruannya. Semoga Allah membalas dengan yg lebih baik.
Juga kepada Aswad, mohon riwayatnya dicek ulang. Apakah sudah tepat dalam beristidlal? Karena kami nilai ada yg kurang tepat dlm argumen anda.
Sebagaimana kata Nabi Syuaib: Tidaklah yg kami inginkan kecuali perbaikan.
Semoga Allah memberkahi amalan kita semua. Maaf jika ada kata2 yg tidak berkenan.
#Ummu Sufyan
Maaf, agar lebih efektif diharapkan anda mengerucut ke furu’ permasalahan, bukan hanya membawakan fatwa beberapa ulama. Karena kita semua yang berdiskusi di sini insya Allah sudah faham bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Namun kita ingin mencari pendapat mana yang lebih kuat.
#Abu Khansa
Pada dasarnya, wajib bagi kita untuk mengikuti pendapat yang paling dekat dengan kebenaran. Maka, kalau mampu menelaah, ikuti pendapat yang paling kuat pendalilannya. Jika belum mampu menelaah, maka boleh taqlid kepada ulama yang dimantapi keilmuannya dalam masalah yg dibahas. Maka dalam masalah fiqih, pilih ulama ahli fiqih yang paling anda mantapi ilmunya. Sedangkan tatabbu rukhos (cari-cari pendapat yang paling enak), adalah perkara yang dilarang.
#Ummu Rumaysho
Baarakillahu fi ‘ilmik
Ana mendapat faidah yang besar ttg masalah ini dari forum Sahab.net dan ahlalhdeeth.com. Namun perlu dibedakan antara masalah qadha dengan masalah membayar fidyah.
Masalah pertama: Qodho atau tidak qodho?
Dalam hal ini ana memilih pendapat jumhur, yaitu tetap adanya qadha bagi wanita hamil dan menyusui baik ia khawatir pada diri sendiri atau pada bayinya. Dengan dalil ayat:
??? ??? ???? ????? ?? ??? ??? ???? ?? ???? ???
Alasannya:
(1) Makna ayat sangat jelas, yaitu orang sebenarnya mampu berpuasa namun memiliki udzur maka wajib qadha, maka hukum asal inilah yang kita pegang. Dan hukum asal ini bersesuaian dengan kaidah yang disebutkan oleh Syaikh Asy Syinqithi dalam ceramahnya ttg masalah ini di pembahasan kitab Umdatul Ahkam:
??? ?? ???? ??? ?? ??? ????? ?????? ??? ????? ? ???? ???? ??? ???? ?????? ?? ?????? ??? ????? ?????? ?? ???????? ???????
“Terhalangnya seseorang melakukan ibadah wajib karena sedang dalam keadaan lemah lalu kewajiban ini berpindah di waktu lain, hal ini didasari oleh kaidah-kaidah ushul dalam shalat, puasa dan semua ibadah badaniyyah lainnya”
(2) Tafsiran Ibnu Abbas menyelisihi zhahir ayat, sehingga sebagian ulama menilai tafsiran Ibnu Abbas ini yahtamil al ijtihad, kemungkinan besar merupakan ijtihad Ibnu Abbas sehingga tidak dihukumi marfu’. Sebagaimana penjelasan Syaikh Al Utsaimin di Syarhul Mumthi’. Syaikh Amin Asy Syinqithi juga berkata;
???? ??????? ??? ????? ??????? ???? ??? ?????? ?? ??? ????? ????? ?????? ??? ????? ?????? ??? ??? ??? ????? ???????? ? ??? ?????? ??? ????? ?????? ???? ??????
“Perkataan sahabat jika kemungkinan besar merupakan ijtihad, dan terdapat hukum asal dari Qur’an dan Sunnah, maka wajib berpegang pada Qur’an dan Sunnah. Lebih lagi, terdapat pandangan yang shahih dari para ulama tentang kuatnya dasar hukum dan makna dalil tersebut. Maka wajib berpegang pada hukum asal untuk menjaga validitas nash”
(3) Syaikh Asy Syinqithi juga menyebutkan sekelompok Ashab Ibnu Abbas (murid-murid Ibnu Abbas) menyelisihi Ibnu Abbas dalam masalah ini.
(4) Syaikh Asy Syinqithi juga menyebutkan jumhur salaf dan para imam tidak mengamalkan fatwa Ibnu Abbas ini.
(5) Dalam forum sahab.net, Syaikh Abu Umar Usamah Al’Utaibi -hafizhahullah- mengatakan riwayat dari Ibnu Abbas :
???? ?????? ??????? ?? ????? ? ??????? ????? ??? ??????
sanadnya shahih. Karena ‘an’anah Ibnu Juraij dianggap mendengar langsung.
Sedangkan riwayat dari Ibnu Umar:
?? ??? ??? ?? ????? ???? ???? ?? ????? ???????? ? ???? ??????? ??? : ?????? ?? ???? ????? ?? ??? ?????? ??? ?? ?? ?????? ???? ??? ????
kata beliau memang sanadnya diperselisihkan, namun beliau memilih men-shahih-kannya.
Dan pendapat shahabat bukan hujjah bila ia telah ruju’ dari pendapatnya.
Masalah kedua: Fidyah atau tidak fidyah?
Dalam masalah ini, wallahu’alam, para ulama menggunakan qiyas. Yang meng-qiyas-kan dengan syaikhul kabir (orang tua renta), maka berpendapat wajibnya fidyah. Yang mengqiyaskan dengan orang sakit maka tidak ada fidyah. Imam Ahmad dan Syafi’iyyah karena kehati-hatinya mereka menggabungkan, yaitu bahwa kewajiban qadha bagi orang yang sebenarnya masih mampu tetap ada sebagaimana pendapat jumhur, dan bolehnya wanita hamil dan menyusui berbuka diqiyaskan dengan syaikhul kabir sehingga mewajibkan fidyah, hasilnya qadha dan fidyah sekaligus.
Ana lebih mantap dengan apa yang dipilih oleh Syaikh Amin Asy Syinqithi, yaitu qadha tanpa fidyah. Dengan alasan berpegang pada ayat yang sudah jelas dan kuat pendalilannya serta hukum asal bahwa setiap ibadah wajib yang ditinggalkan karena uzur maka kewajibannya hanya mengganti di waktu lain tanpa ada tambahan beban lain. Lebih lagi dengan adanya riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang mencocoki pendapat ini.
Nas’alullah an yusliha lana niyyaatina, wa an yanfa’ana bima ‘alimna. Wallahu’ ta’ala a’lam.
Sumber bacaan:
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563&highlight=%DD%ED%CD%C7%E4
http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233
afwan ana jadi bingung mana yang lebih kuat pendapatnya
Subhanallah..
Bagi kita2 yg msh awam..
berikut adalah fatwa syaikh utsaimin pd bab fatwa-fatwa seputar ilmu,kitabul ‘ilmi,fatwa no 61.
Syaikh utsaimin pernah ditanya: ‘seorang penuntut ilmu yg msh pemula, apakh dia memulai menuntut ilmu dg mempelajari dalil ataukah cukup bertakliq dg salah satu madzab,apa nasehatmu untk mereka?’
Jawab: wajib bg seorang penuntut ilmu yg msh pemula memepelajari dalil sesuai kadar kesanggupannya. Krn hal ini lah yg dituntut agar mrk smpai kpd dalil, agar merka bisa latihan mencari dalil dn mengetahui cara beristidlal. Mk jadilah ia seorang yg bejalan menuju Allah dg bashirah dan burhan. Dn tdk boleh baginya taqlid kecuali krn hal yg mendesak. Seperti jika dia sdh mempelajri dalil namun tidak mendaptkn buah hasil, atau engkau mceritakan kpdny suatu permasalahn yg ingin segera engkau ketahui hukumny, namun dia tdk mengetahui hukum tsb dg dalil krn kemampuanya telah hilang, mk dlm kondisi ini seseorang blh taqlid dg niat,dia akan ruju’ ketika telah jelas baginya dalil. Jika ada byk perbedaan pendapat, mk ada yg mengatakn hendaknya dia memilih dan mengambil pendapat yg paling mudah. Krn hal ini bersesuaian dg firman Allah ta’ala: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian”. Al baqarah:185. Namun ada jg yg mengatkan hendaknya dia mengambil yg plg sulit,krn itu lbh hati-hati dn krn yg lainnya itu perkara syubhat,dn Nabi shalallahu’alaihiwasallam bersabda:”brgsiapa menjauhi perkara syubhat mk sungguh dia telah menjaga agama dn kehormatanny” muttafq’alaih.
Dn YG PALING KUAT,hendaknya dia mengambil pendapat sesuai prasangkanya yg kuat, kira2 pendapat mana yg lebih mendekati kebenaran, dipilih berdasarkan mufti yg paling ‘alim dn yg paling hati-hati(dlm berfatwa).waallahu a’alam
Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu, ya Ikhwan dan Akhwat, bagaimana pendapat kalian dengan seorang wanita yang hamil dan tidak mampu berpuasa karena khawatir tentang kesehatan diri dan janinnya sehingga ia meninggalkan puasa sebulan penuh kemudian lahirlah sang jabang bayi maka disusuilah bayi tersebut ketika datang bulan puasa tahun berikutnya dia dalam keadaan menyusui dan juga tidak mampu berpuasa padahal dia belum mampu mengqodho’ puasa tahun sebelumnya. dan qodarullah tahun berikutnya hamil lagi dan tidak puasa lagi kemudian menyusui lagi, dan ini bukan kisah yang dibuat-buat bahkan terjadi pada istri saya sendiri selama lima tahun tidak mampu berpuasa karena ketika datang bulan puasa kalau tidak hamil ya menyusui, sampai ada seorang ibu karena mempunyai anak 15 orang, selama 15 tahun tidak mampu berpuasa, bagaimana mengqodho’ puasa yang yang telah ditinggalkannya, dan kenyataannya banyak diantara para ibu-ibu yang hamil sangat berat sekali kalau memaksakan dirinya untuk berpuasa kalau toh dia sanggup, bagaimana dengan janinnya ? apakah hendak dipaksa puasa juga ? apakah ini selaras dengan firman Allah Tabaaraka wa Ta’la yang artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran padamu (QS 2:185)dan juga kaidah yang ma’ruf “al-massyaqotu tajlibu at-taisir” hal yang memberatkan akan mendatangkan keringanan, dan saya berharap diantara ikhwan dan akhwat tidak menuduh saudaranya karena mengambil rukhsoh dengan ?Tentunya orang jahil pasti mengambil yg mudah2 saja.? atau “hanya mengikuti yang mudah-mudah saja” toh pendapat bagi ibu hamil dan menyusui hanya membayar fidyah, pendapat sebagian para sahabat dan tidak diketahui penyelisiannya dari kalangan sahabat yang lainnya, dan inilah hujjah yang kuat bahkan dikatakan oleh syaikh Sa’dy sebagai ijma’ sukuty dari kalangan sahabat, Wallahu A’lam, wassalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Assalammu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah ana sekarang hamil anak ketiga jalan 9 minggu puasa ana jalankan, klu pusing and mual ana buka kasihan msh hamil muda karena yang tau kuat tidaknya menjalankan adalah ibu sendiri.Anak pertama ana puasa dikandungan full waktu 7 bulan dikandungan, anak ke dua puasa dikandungan full waktu 3 bulan semua karena Lillahi ta’ala Allah Maha Pengasih untuk kita yang berusaha. Semua ini kujalankan karena kecintaanku pada sang Khalik kapan lagi kita ketemu dengan ramadhan perbanyaklah ibadah dibulan suci ini, semoga Allah memberikan kekuatan bagi semua ibu hamil yang tetap menjalankan ibadahnya ini amin… wassalam.
Assalamualaikum wr. wb.
Apakah ada bacaan niat khusus untuk mengeluarkan fidyah dalam islam atau niat dalam hati menurut bahasa kita?
Wassalam.
@ Safari
wa’alaikumussalam warahmatullah, setahu saya tidak ada bacaan niat ketika hendak membayarkan fidyah.
Alhamdulillah,
dg diskusi ilmiah di forum ini makin menyadarkan ana bhw msh sgt byk ilmu yg blm
dipelajari.
“Rabbizidnii ‘ilma”
ASSALAMU`ALAKIKUM
KALAU SAYA SEBAGAI SUAMI BELUM BISA MENGUATKAN PENDAPAT YANG ADA,YANG PENTING APABILA ISTRI MEMILIH FIDYAH MAKA SAYA TANGGUNG PEMBIAYAAN FIDYAH YANG SESUAI SYAR’I DAN APABILA ISTRI MEMILIH MENGQADHA PUASA SAJA MAKA SAYA SILAKAN,APABILA MEMILIH KEDUANYA MENGQADHA DAN MEMBAYAR FIDYAH,MAKA TETAP SAYA TANGGUNG PULA PEMBIAYAANNYA.
assalammu ‘alaikum wr. wb
saya ingin bertanya, saya tahun kemarin pas bulan ramadhan sedang hamil muda dan menurut bidan yang memeriksa saya disarankan untuk tidak berpuasa, jumlah hari saya tidak berpuasa 17 hari. kemarin setelah melahirkan saya mengalami masalah karena KB yakni terus mengeluarkan darah. mulai kemarin saya sudah menggqodho puasa saya tapi setelah saya hitung-hitung masih kurang karena waktunya sudah mepet dengan bulan ramadhan tahun ini. mohon bantuan penjelasannya, bagaimana saya harus mengganti kekurangan puasa saya? Trim’s
wassalammu ‘alaikum wr. wb.
Ukhti Ummu Ziyad, coba anda simpulkan yang tegas mengenai urusan qadha dan fidyah ini tapi yang sesuai dengan dalih al-qur’an dan hadits yang shahih. Jangan terlalu mengambang pembahasannya, jadi pusing bagi orang yang awam. Qiyas tidak bisa dijadikan dalil atau alasan untuk menetapkan suatu hukum.
maaf ya akh Faiz, saya di sini merasa tidak memiliki kapasitas untuk merojihkan salah satu pendapat, oleh karena itulah artikel di atas lebih kepada paparan berbagai dalil dari berbagai pendapat.
Untuk lebih melengkapi referensi atau mendapatkan pendapat yg rajih, silakan search di Yufid.com.
Adapun saya pribadi menguatkan pendapat bahwa ibu hamil tetap mengqadha puasa yang ditinggalkan ktk Ramadhan saat ia telah mampu. Wallahu a’lam
apakah boleh bayar fidyah ibu hamil dengan diakumulasikan atau dibayar pada satu hari saja.
@ Toni
Pembayaran fidyah bisa dengan
1. Satu-satu pembayaran, misalnya hutang puasa hari rebo dibayar fidyah hari kamis, hutang hari kamis dibayar fidyah hari jum’at dst.
2. Fidyah bisa dengan diakumulasi, misalnya hutang puasa selama bulan Ramadhan ada 12 hari maka fidyah dibayarkan kepada 12 fakir miskin dalam sehari atau bisa juga membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin selama 12 hari.
Allahu a’lam
Bismillaah..afwan ana mau tanya,apakah boleh ibu yg sedang menyusui membayar fidyah nya di rafelkan yg selama sebulan penuh bulan romadhon tdk berpuasa??jazakallooh khoir…
@ Abu Faiz
Seperti komentar kami sebelumnya.
Pembayaran fidyah bisa dengan
1. Satu-satu pembayaran, misalnya hutang puasa hari rebo dibayar fidyah hari kamis, hutang hari kamis dibayar fidyah hari jum?at dst.
2. Fidyah bisa dengan diakumulasi, misalnya hutang puasa selama bulan Ramadhan ada 12 hari maka fidyah dibayarkan kepada 12 fakir miskin dalam sehari atau bisa juga membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin selama 12 hari.
Yang perlu menjadi perhatian, fidyah dibayarkan setelah hari puasa yang kita tinggalkan. Jadi tidak boleh misalnya dilakukan di awal ramadhan sekaligus untuk membayar fidyah beberapa hari kedepan.
Allahu a?lam
maafkan saya ukhti,saya share tapi blom ijin,mudah2an banyak perempuan muslim yang terselamatkan dengan membaca tulisan ini…
Barokallohu fiiki…
@ Siti Lathifah
silahkan ukh, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat
istri sy skrng sdng mnyusui bayi berusia 3 bln, di ramaadhan tahun ini dia br satu hari berpuasa namun keadaan si bayi nya langsng mencret, dr situ sampai skrng memutuskan utk tidak berpuasa, dikarena mungkin termasuk kekhawatiran terhadap kesehatan/keadaan si bayi, namun sebenarnya dia merasa kuat utk berpuasa, apakah harus membayar fidyah juga???jujur saya masih ragu termasuk yg mn istri saya ini
@ arif
insya Allah istri bapak termasuk yang punya uzur untuk tidak berpuasa. dan hendaknya beliau membayar fidyah sejumlah hari puasa yang beliau tinggalkan. wallohu a’lam
assalamulaikum wr.wb
afwan saya ga ngerti jd yg di utamakan yg mana?????
@ Wa’alaikumussalam,
Tidak perlu ada yang dibingungkan silahkan baca fatwa Syaikh Utsaimin berikut tentag etika orang awam -seperti kita- dalam menghadapi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Kami nukilkan dari komentar Ummu Fatheema diatas:
Berikut adalah fatwa Syaikh Utsaimin pada bab fatwa-fatwa seputar ilmu,kitabul ?ilmi,fatwa no 61.
Syaikh Utsaimin pernah ditanya: ?seorang penuntut ilmu yg masih pemula, apakh dia memulai menuntut ilmu dengan mempelajari dalil ataukah cukup bertaklid dengan salah satu madzab,apa nasehatmu untuk mereka??
Jawab: Wajib bagi seorang penuntut ilmu yang masih pemula memepelajari dalil sesuai kadar kesanggupannya. Karena hal ini lah yg dituntut agar mereka sampai kepada dalil, agar merka bisa latihan mencari dalil dan mengetahui cara beristidlal. Maka jadilah ia seorang yg bejalan menuju Allah dengan bashirah dan burhan. Dan tidak boleh baginya taqlid kecuali karena hal yang mendesak. Seperti jika dia sudah mempelajari dalil namun tidak mendaptkn buah hasil, atau engkau mceritakan kepada seseorang suatu permasalahan yg ingin segera engkau ketahui hukumnya, namun dia tdk mengetahui hukum tersebut dengan dalil karena kemampuanya telah hilang, maka dalam kondisi ini seseorang boleh taqlid dg niat,dia akan ruju? ketika telah jelas baginya dalil. Jika ada banyak perbedaan pendapat, maka ada yang mengatakan hendaknya dia memilih dan mengambil pendapat yg paling mudah. Karena hal ini bersesuaian dg firman Allah ta?ala:
?Allah menghendaki kemudahan bagi kalian?. Al baqarah:185.
Namun ada jg yg mengatakan hendaknya dia mengambil pendapat yang paling sulit,karena itu lebih hati-hati dan krn yg lainnya itu perkara syubhat,dn Nabi shalallahu?alaihiwasallam bersabda:?Barangsiapa menjauhi perkara syubhat maka sungguh dia telah menjaga agama dn kehormatannya? (muttafaq?alaih).
Dan yang paling kuat,hendaknya dia mengambil pendapat sesuai prasangkanya yang kuat, kira-kira pendapat mana yang lebih mendekati kebenaran, dipilih berdasarkan mufti yang paling ?alim dan yang paling hati-hati(dlm berfatwa).waallahu a?alam
Jazakillahu khairan atas tulisannya semoga bermanfaat bagi kaum muslimin, terutama bagi ibu yang sedang hamil,ana ijin copy yah…
Asslm ww. syukron katsiron atas materinya. Ana izin baca ya, dan kalo bisa ana Copy ya.
Ass. Wr.Wb
alhamdulillah, setelah membaca dan mempelajari referensi yg dikemukakan/dipaparkan di atas kami tambah lebih mengerti dan memahami kewajiban bagi seorang wanita/ibu hamil utk mengganti puasa yg ditinggalkannya, sehingga kami tidak sesat dan slh utk menggantinya.
sekali lagi terima kasih atas tambahan referensinya…
Halo Terima Kasih atas Ilmunya,,,Namun maaf pa ustad bukan maksud apa2…
Menurut saya ibu Hamil dan Menyusui membayar Fidyah saja tanpa puasa,,,saya tak spendapat dgn “MENGGANTI DENGAN HARI LAIN”,,,dikarenakan menyusui itu tidak sbentar barang sehari,,,seminggu sperti sakit… Kasian nanti bayi dan ibunya…
Pada surah Al-Baqarah di atas yg di sebutkan sakit yg barang mungkin sehari atau seminggu atau sebulan…
Smoga Allah membalas kebaikan pa ustad…
Assalamu?alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Alhamdulullah ana di beri kepercayaan lagi sama Alloh untuk mengandung (hamil)lagi, dan berdasarkan USG Insya Alloh janin yang ada di kandungan ana kembar…pada usia kandungan 3 bulan mengalami pendarahan yang lumayan mengkhawatirkan…Alhamdulillah dg seijin Alloh setelah menjalani pengobatan janin bisa di pertahankan…sekarang usia kandungan 4 bulan…dokter berpesan untuk tidak berpuasa dulu…tapi ana merasa kuat berpuasa.hari ini sudah hari ke 11 tp pernah juga terpaksa buka karena gak kuat…
Mohon saran buat ana apa saya meneruskan puasa ( kalau tidak kuat buka) atau tidak puasa dulu di bulan Romadhon kali ini..
JazakIllah khoyr…
Wassalamualaikum warohmatulloohi wabarokaatuh
Barrakallahu fik ustad,
Ana Izin Copy ustad untuk pencerahan ilmu ana
Jazzakallahu khair
assalamualaikum ww.
berilmu dan beramal.!!.beramal tanpa ilmu hasil sia-sia.
perbedaan pendapat boleh-boleh saja, hasil akhir dari perbedaan pendapat harus lah merujuk kepada Alquran dan hadis.
semoga yg baca bisa dijadikan fererensi ikmu
Assalamu?alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Pak Ustad saya mau tanya istri saya sudah satu setengah tahun yang lalu tidak puasa di bulan Ramadhan……Pertanyaanya:
1. Bolehkah membayar fidiyah yang sudah melewati satu bulan ramadhan…
2. Satu mud gandum itu berapa kilogram………atau ganti pakai beras seberapa kg/liter setiap harinya……
3. Bolehkah membayar fidiyah dicicil sesuai dengan keadaan uang…….
sebelumnya saya ucapkan terimakasih……….
Wassalamualaikum warohmatulloohi wabarokaatuh
ijin copy ya, jzklah
sy bloem menikah dan sy jg gag tau rsanya orang hamil itu kyak gmana tpi sy sgat senang mempeljri smua yg ada dsini aplgi berkaitan dgan perempuan ,,smga dgan sy mempljari ini sy akan lbh mudah menjlankan smuanya nanti ,,,!! trmksh ats informsiny
masya Allah, artikel yang sangat berkualitas. ana banyak mendapatkan manfaat
alhamdulillah, smoga tahun ini ana dapat berpuasa full. Ana saat ini mempunyai bayi baru 5 bln dan menyusui asi ekslusif dan langsung tanpa diperah smoga ana diberi kekuatan tuk menjalankan puasa dgn lancar sampai akhir..amiin.
assalam…
istri sya sedang menyusui anak umur 5 bulan,yang saya tanyakan dalam membayar fidyah apakah di awal puasa di jadikan 1 x sebesar 30 kg beras, atau setiap hari diberikan kepada fakir sebesar 1 kg beras,trimakasih atas jawabnnya
wassalam…
@wayan ghopur
fidyah tidak boleh dilakukan sebelum lewat hari puasa tersebut.
untuk lebih lengkap silakan baca artikel berikut https://muslimah.or.id/fikih/pembayaran-fidyah.html
Masalah qadha dan fidyah sering luput dari perhatian kita sebagai masyarakat awam. Tulisan ini banyak memberi manfaat terutama untuk diri saya. Terima kasih.
Hal yang paling sulit di lakukan oleh penghafal alquran adalh menjaga hafalan daripada menghafalkan ayat / surat yang baru
Assalamualaikum.
Mohon penjelasan dan pencerahannya ustadz. Ane masih rada bingung mau ambil pendapat yg mana. Kasus istri ane:
1. Romadhon tahun lalu istri ane hutang puasa 10 hari, dan sudah membayar 5 hari. Belum tuntas bayar hutang puasa, istri ane hamil dan ga memungkinkan untuk mengqadha-nya sampai pada akhirnya melahirkan kurang lebih 3 pekan sebelum romadhon tahun ini
2. Romadhon tahun ini berarti kan istri ane masih dalam masa nifas sampai kurang lebih hari ke 16 romadhon
Pertanyaan ane:
1. Bagaimana status hutang puasa istri ane yg tahun lalu? Diqadha+fidyah atau fidyah saja atau qadha saja?
2. Bagaimana juga dengan yg tahun ini? 16 hari pertama dibayar qadha saja, selanjutnya qadha+fidyah (karena sepertinya istri ane sanggup tapi khawatir berefek ke anak ane). Atau kesemuanya dibayar qadha saja atau kesemuanya qadha+fidyah?
Mohon jawabannya ya ustadz. Karena ane belum menemukan jawaban yang memuaskan hati. Jazakalloh khair :)
@ahmad luthfi
1. Hutang tersebut dibayarkan ketika istri anda telah sanggup. Pembayarannya tetap dengan cara di-qodho. Menurut salah satu pendapat, jika sisa pembayaran tersebut terjadi karena menunda-menunda maka ditambah dengan fidyah.
2. Untuk nifas, maka pembayarannya dengan qodho (tanpa fidyah). Silakan baca artikel tersebut untuk lebih jelasnya. http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2011/09/wanita-yang-meninggalkan-puasa-karena.html
Wallahu a’lam.
Qadha puasa atau membayar fidyah itu pilih salah satu.
pembahasan artikel ini memberatkan orang menjalankan agama tanpa dalil yang kuat.
Assalamualaikum ,kalau ana condong yang membayar fidyah ( berdasarkan penjelasan diatas ),dan juga mari kita lihat maslahat dan mudhorotnya,,?
misal kalau wanita hamil setelah melahirkan dia nifas dan harus menyusui..!, kapan dia harus qodho puasa,,?belum tentu juga selang bebepa bulan dia tidak hamil lagi dan ,belum lagi dilihat kondisi kesehatan yang istri dan juga anak-anaknya…( tetep menghormati pendapat yang lain )…
Beda pendapat boleh tapi tetep berdasarkan ilmu tho….
mohon maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan,
Assalamualaikum ini ada sedikit tambahan,silakan kunjungi link http://firanda.com/index.php/konsultasi/fiqh/49-kewajiban-fidyah-bagi-wanita-hamil-dan-wanita-menyusui#comment-6102,
insya alloh didalamnya ada nasehat yang bagus,
Wassalamualaikum warohmatullohi wa barokaatuh
alhamdalah smoga kita smua slalu mendapat taufiq dan hidayahNYA AMIN
Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh
Sy mau tanya mslh fidyah. Tahun lalu ketika masuk bulan ramadhan istri sy sedang hamil. Sy memerintahkan agar ia tetap berpuasa, dgn alasan bahwa puasa itu menyehatkan. Namun setelah dijalani sebanyak 2 hari, ia selalu muntah-muntah dan membuatnya menjadi lemas. Krn mengkhawatirkan kondisi istri dan anak yg ada di kandungan, akhirnya hari-hari selanjutnya tidak diteruskan lagi. Lewat bulan ramadhan, istri sy tetap muntah2 meskipun tidak berpuasa, hingga menurutnya tidak sanggup bila mengqadha puasa yg telah terlewati. Sampai tahun ini, istri sy sudah melahirkan dan di bulan ramadhan ini sedang menyusui. 3 hari pertama, dicoba untuk berpuasa, namun setiap kali anak menyusui di waktu siang (tidak mau sufor) setelahnya langsung mencret2, dan menangis tak henti. Akhirnya puasa tidak dilanjutkan lagi, dan seketika itu pula anak ketika menyusui tidak mencret2 lagi. Nah skrg yg menjadi pertanyaan, apa yg harus kami lakukan utk membayar hutang puasa tahun lalu dan thn ini ? apakah hanya dengan fidyah sj atau tetap qadha? Menurut sy pribadi setelah membaca penjelasan di atas, sy lebih condong dgn pendapat membayar fidyah sj, krn ketidakmampuan istri utk meng qqdha nya dikemudian hari krn ketakutan akan kondisi anak. Sementara kita tidak mengetahui ajal kita, ditakutkan bila sampai ajal msh terhutang puasanya dan belum sempat dibayar, maka utk mempermudah yaitu dgn membayar fidyah sj. Bgmana ustadz pndapat sy ini? jazakumullah khair
saya jg mengalami hal yg sama dan mengambil keputusan yg sama pak. Wkt itu tdk kuatnya sy mjd lemas dan tdk bs menunaikan amanah2 yg lain (mengurus rmh n anak2) selama 3 tahun utang puasa blm bs terbayar dan sy mengandung yg ke3…akhirnya kami putuskan membayar fidyah utk 60 hari…dan mengazzamkan insyaAllah memperbyk puasa2 sunnah dimasa yg akan dtg jk msh ada umur…wallahu alam
saya stuju dg bu mustika sari dan pak abu husein.
krna saat ini sya jg mngalami hal yang sama.
hnya mmbayar fidyah krn skrg lagi mnyusui,org kan mana tau kpan kmbli ke Allah dr pda malah ga kbyar htang puasanya mnding byar fidyah aja,
Toh kalo pngen puasa kan msh ada puasa sunah.
assalamualaikum. bagaimana hukumnya apabila fidyah dibayarkan setelah sholat ied selesai. terima kasih. Jazakumullah….
@komar wa’alaikumussalam warahmatullah . Tidak mengapa in sya Allah.
seharusnya dalil yang dipaparkan haruslh ditulis dengan teks aslinya dan jga disertakan dikitab mana,halaman berapa supaya lebih valid.dan lebih memudahkan jika ada yang ingin mengeceknya.
saudara ane sakit dalam bulan ramadhan, toh pusae nye hanya 1 hari, belum dibayar dia meninggal dunia, gimana maslaha puase yang ditinggalkan
Setahu saya, menjadi kewajiban ahli warisnya berpuasa utk mengganti (mengqadha) hutang puasa org yg sudah meninggal tsb.
asalamu’alaikum….
pd saat saya menyusui saya ikut puasa br 3 hari berpuasa anak saya sakit sehingga saya berhenti untuk berpuasa n kondisi saya jg sbnrnya g kuat ngejalaninny lemes sekali…apakah itu hrs membayar fidyah n mengganti puasa lain hari klu kondisi dah kuat…tp masalahny kondisi keuangan jg g memungkinkan tuk membayar fidyah sedangkan slama bln puasa saya makanny ikut orang tua..krna ekonomi pas pasan kdang kurang bt makan sehari hari… gimana hukumny klu begitu…tolong ksh jawaban penting masalahny bt saya…
Saat ini saya sedang hamil sambil menyusui anak. Baru bbrp jam, kepala sudah tdk karuan pusingnya. Haruskah kelak saya membayar fidyah dan mengqadha puasa yg saya tinggalkn?
#Aulia Lia
Silakan baca kembali artikel di atas, jawabannya ada di sana
Assalamualaikum..
Yang disebut dengan fidyah pada intinya adalah memberi makan orang miskin..
Nah yang saya ingin tanyakan, apakah boleh jika memberi makan anak Yatim..
Jazakumullah…
#Noptra
Wa’alaikumussalam, jika anak yatim tersebut miskin maka boleh.