“Ya Allah sesungguhnya Engkau tahu kalau aku lebih suka kemiskinan daripada kekayaan. Aku lebih senang kehinaan daripada kemuliaan. Aku lebih cinta kematian daripada kehidupan”.
Demikianlah ungkapan Hudzaifah bin Al Yaman saat-saat menjelang kematian. Saat ruhnya dicabut darinya, ia berkata “Seorang kekasih menghadap kepada apa yang dia rindukan. Tak ada keberuntungan bagi yang menyesal” (Sirah Sahabat, Dr Abdurrahman Ra’fat Basya (terjemah) halaman : 469 ).
Detik-detik menjelang sakaratul maut memang menegangkan, dan doa setiap mukmin adalah ia mati dalam keadaan husnul khatimah. Dan orang-orang shalih seperti para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengalami peristiwa tersebut dan mereka subhanallah begitu merindukan kematian. Bertemu dengan Allah Ta’ala adalah puncak keinginan mereka. Inilah cita-cita seorang mukmin sejati yang mengharapkan kebahagiaan abadi di surga-Nya yang seluas langit dan bumi.
Sahabat Mu’adz bin Jabal yang kala itu menetap di Palestina terkena wabah penyakit saat ajal sudah menjelang, ia menghadap kiblat dan mulai mengulang-ulang ucapan “Selamat datang, wahai kematian, Selamat datang pengunjung yang hadir setelah sebelumnya tidak hadir, kekasih yang datang dengan kerinduan!”, Kemudian pandangannya beralih ke langit dan berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia dan lamanya kehidupan untuk menanam pohon dan mengalirkan sungai, akan tetapi aku menghadapi kehausan terik matahari, memanfaatkan kesempatan dan bergaul dengan para ulama di halaqah dan majelis dzikir. “Ya Allah, terimalah jiwaku dengan kebaikan seperti engkau menerima jiwa yang beriman.
Arwah sucinya terlepas dari jasadnya dalam keadaan jauh dari keluarga dan kerabat sebagai seorang da’i kepada Allah dan orang yang berhijrah menghadap kepada- Nya (Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, (terjemah ), halaman: 790-791).
“Meski mereka orang-orang yang imannya kokoh serta banyak beramal sholeh namun mereka adalah pribadi yang rendah hati dan khawatir akan siksa Allah Ta’ala.
Saat Abu Darda sakit menjelang kematian, teman-temannya menjenguknya.
“Apa yang engkau keluhkan? Tanya mereka.
“Dosa-dosaku,” jawabnya singkat penuh kesedihan.
“Apa yang engkau inginkan?
“Maaf dan ampunan Rabb-ku.”
Lalu ia mengatakan kepada orang-orang di sekitarnya, “Tolong talqinkan aku La ilaha illallah. Muhammad Rasulullah. Diulang dan ulanglah kalimat tersebut hingga ia meninggal dunia (Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya (terjemah), halaman: 520-521).
Kematian bagi orang mukmin yang senantiasa menjalani kehidupan dengan berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah shahihah adalah saat yang bisa mengantarkannya pada kebahagiaan dan kedamaian hidup. Ia bisa beristirahat dengan tenang karena Rahmat-Nya dan bekal yang dikumpulkannya untuk menghadap Rabbil ‘Alamin.
Kematian memang misteri dan telah ditakdirkan Allah. Khalid bin Al-Walid yang dijuluki pedang Allah begitu mengharapkan syahid di medan jihad. Para sahabatpun menghiburnya. “Engkau tidak dapat mati di dalam pertarungan. Engkau harus mengerti wahai Khalid, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjulukinya dengan gelar pedang Allah. Beliau memberitahukan (dengan wahyu Allah) bahwa engkau tidak akan kalah dalam pertempuran. Seandainya engkau terbunuh oleh orang-orang kafir dalam pertemuan, maka itu berarti bahwa pedang Allah bisa dipatahkan oleh musuh-musuh Allah. Dan itu tidaklah mungkin terjadi.
Seorang yang senantiasa dalam ketaatan pada Allah niscaya akhir hidupnya dalam kondisi ketaatan pula, ini yang dicita-citakan setiap mukmin. Sungguh mengharukan detik-detik akhir kehidupan Sa’ad bin Abi Waqqas seorang jenderal perkasa yang pernah menjabat gubernur Mesopotamia sebagaimana digambarkan putranya di hari-hari terakhirnya.
“Kepala ayahku tergolek di pangkuanku, matanya mulai nanar. Akupun mulai terisak-isak. Ayahku bertanya mengapa aku menangis, lalu memintaku untuk berbahagia, karena ia yakin bahwa Dzat pemilik hidupnya tidak akan menimpakan hukuman kepadanya di akhirat insyaallah. Ayahku mengatakan bahwa ia akan menuju Firdaus, karena ia telah mendengar kabar gembira ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Kemudian ia menunjuk ke sebuah peti simpanannya dan memintanya dibukakan. Di dalamnya tergeletak jubah tua yang kemudian dibawa ke arahnya. Ayahku mengatakan bahwa jubah itu telah dipakainya selama pertempuran Badar dan disimpannya sangat hati-hati. Dia berharap jubah itu digunakan sebagai kain kafannya tidak peduli betapapun usangnya, jubah itu adalah selembar kain penuh barakah dan bersejarah yang ingin dikenakannya menghadap Allah. Dan melayanglah arwahnya ke taman yang dirindukannya. (Dibawah Nauangan Pedang, Abu Rayhan, halaman 139-140).
Demikianlah sekelumit kisah menakjubkan yang berakhir happy ending. Tak ada kebahagiaan selain husnul khatimah. Tak ada pilihan lain selain menjadi hamba-Nya yang berupaya meniti jejak Rasulullah dan salafus shalih. Inilah sebaik-baik jalan hidup yang mampu mengantarkan ke surga.
Referensi :
- Sirah Sahabat (terjemah), DR. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka Haura, Yogyakarta. 2013.
- Dibawah Naungan Pedang, Abu Rayhan, dkk. Sketsi Publishing, Cilacap. 2013.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Muraji’: Ustadz Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id