Sebelum mempelajari hak non-muslim atas muslim, baiknya terlebih dahulu kita mengenal jenis-jenis non-muslim karena berbeda jenisnya, maka berbeda pula haknya.
Non-muslim di sini mencakup orang kafir secara keseluruhan. Mereka yang secara jelas menolak Islam, baik akidah maupun pondasinya. Semua kafir hukumnya sama di akhirat, tidak ada perbedaan. Semua jenis kafir mendapatkan ancaman neraka di hari kiamat nanti. Allah Ta’ala berfirman,
وأن للكافرين عذاب النار
“Dan bagi orang-orang kafir azab neraka.” (QS. Al-Anfal: 13)
Semua kafir mendapatkan ancaman tersebut meskipun berbeda-beda jenis kekafiran mereka.
Adapun hukum mereka di dunia, maka syariat membedakan kekafiran mereka berdasarkan tingkat permusuhan mereka kepada kaum muslimin. Kekafiran Abu Thalib dan Abu Jahal tidaklah sama. Betul bahwa mereka berdua mendustakan agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi salah satu di antara keduanya, yakni Abu Jahal memusuhi dengan permusuhan yang jelas terhadap agama yang hak ini, dan ini yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Abu Thalib membela, melindungi, dan mempertahankan kebenaran meskipun ia tidak mengimaninya. Maka, hukum mereka, yakni Abu Thalib dan Abu Jahal tidaklah sama di dunia.
Jenis-jenis orang kafir
Berdasarkan kedudukannya di masyarakat muslimin, orang kafir terbagi menjadi beberapa jenis. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskannya secara global, “Orang kafir ada yang diperangi (Ahlu Harb) dan tidak diperangi dengan perjanjian (Ahlu ‘Ahd). Ahlu ‘Ahd dibagi menjadi tiga golongan: (1) Ahlu Dzimmah, (2) Ahlu Hudnah, (3) Ahlul Aman.” (Ahkamu Ahludzimmah, 2: 873)
Kafir Harbi
Kafir harbi adalah orang kafir yang tinggal di negeri kafir dan memerangi kaum muslimin. Mereka tidak mempunyai hak apapun atas kaum muslimin berupa perlindungan maupun perhatian. Adapun ketika orang kafir tersebut masuk ke negeri muslim dengan perjanjian berupa gencatan senjata (hudnah) dan keamanan (aman), maka status mereka berubah, tidak diperangi. Namun, mereka menjadi kafir jenis kedua, yakni Ahlul ‘Ahdi.
Ahlul ‘Ahdi
Ahlul ‘Ahdi adalah orang kafir yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, dan ini terbagi menjadi dua, yaitu kafir mu’ahad (memiliki perjanjian) dan kafir musta’min (mendapatkan jaminan keamanan).
Lafaz yang diutarakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah sebelumnya, yakni Al-Aman, Al-’Ahd, dan Adz-Dzimmah adalah istilah-istilah yang bersifat umum, mencakup berbagai macam bentuk perlindungan dan perjanjian yang diberikan kepada non-Muslim yang berada di negeri Islam berdasarkan akad dzimmah, hudnah, atau amān. Maka, perlindungan (dzimmah), perjanjian (‘ahd), dan jaminan keamanan (amān) dari kaum Muslimin berlaku bagi semua golongan tersebut. Dasar dalam memperlakukan mereka semua adalah firman Allah,
يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian.” (QS. Al-Maidah: 1)
Meskipun lafaz Al-Aman, Al-’Ahd, dan Adz-Dzimmah tampak mirip atau saling berdekatan secara makna, namun para ulama membedakannya dengan menetapkan masing-masing istilah itu berlaku bagi orang kafir jenis tertentu.
Kafir Mu’ahad
Kafir mu’ahad adalah mereka yang memasuki negeri kaum muslimin dengan membawa perjanjian dan ikatan dengan negeri muslim yang mengadakan perjanjian dengan negara asal orang kafir tersebut berdasarkan syarat-syarat, perjanjian-perjanjian, dan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama (antar dua negara). Hak orang kafir mu’ahad atas kaum muslimin adalah menunaikan perjanjian yang sudah disepakati bersama selama rentang waktu yang ditentukan. Hal ini berlaku selama masing-masing tetap berada pada perjanjian (bisa jangka panjang atau sementara, tergantung isi perjanian dua negara tersebut), selama tidak ada yang membatalkan atau berkhianat dalam perjanjian tersebut dan tidak ada yang mencela agama kita. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ا ٱلَّذِينَ عَٰهَدتُّم مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنقُصُوكُمْ شَيْـًٔا وَلَمْ يُظَٰهِرُوا۟ عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوٓا۟ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 4)
Dan juga firman Allah Ta’ala,
وَإِن نَّكَثُوٓا۟ أَيْمَٰنَهُم مِّنۢ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا۟ فِى دِينِكُمْ فَقَٰتِلُوٓا۟ أَئِمَّةَ ٱلْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَآ أَيْمَٰنَ لَهُمْ
“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya.” (QS. At-Taubah: 12)
Kafir Musta’min
Kafir musta’min adalah mereka yang secara pribadi (individu) memasuki negeri kaum muslimin dengan jaminan keamanan dalam rangka melaksanakan urusan tertentu (misalnya berdagang, belajar), kemudian kembali ke negeri asalnya setelah urusan tersebut selesai.
Hak kafir musta’min atas muslim adalah perlindungan dalam waktu dan tempat yang terbatas (alias bersifat sementara, sampai urusan tersebut selesai). Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُۥ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” (QS. At-Taubah: 6)
Kafir Dzimmi
Ahlu Dzimmah adalah orang-orang kafir yang tinggal di bawah kekuasaan dan pemerintahan kaum Muslimin. Kafir Dzimmi adalah mereka yang membayar jizyah kepada pemerintah kaum muslimin dan hukum-hukum Islam berlaku bagi mereka. Islam menanggung darah, harta, dan kehormatan mereka. Siapapun yang masih memberikan permusuhan kepada mereka, maka dia telah berkhianat dan berhak untuk dihukum agar jera.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Istilah Adz-Dzimmah dan Al-’Ahd pada asalnya mencakup semua golongan ini, yaitu Ahlu Dzimmah, Ahlu Hudnah, dan Ahlul Aman. Ini dasarnya. Begitu pula istilah ‘perdamaian’ (sulh), karena Adz-Dzimmah termasuk dalam jenis ‘perjanjian’ (‘ahd) atau ‘akad’ (‘aqd). Misalnya, “Dia berada di dalam dzimmah fulan”, maksudnya berada dalam perjanjian dan akadnya.”
Akan tetapi, istilah ini berubah. Ahludz Dzimmah menjadi sebuah ungkapan bagi seseorang yang menunaikan jizyah, sehingga mereka memiliki jaminan permanen. Mereka berjanji kepada kaum muslimin untuk tunduk pada hukum Allah dan Rasul-Nya. (Majmu Ar-Rasail: 201, karya Syekh Ahmad bin Yahya An-Najmi)
Adapun kafir dzimmi, mereka adalah golongan yang mempunyai hak paling banyak atas kaum muslimin. Hal itu disebabkan mereka tinggal di negeri kaum muslimin dan berada di bawah perlindungan dan pengawasan dikarenakan jizyah yang mereka bayarkan.
Jizyah adalah harta yang diambil dari mereka dalam rangka merendahkan mereka. Jizyah tidak bisa diterima melalui cek, transfer, tidak juga dengan mengutus pembantu atau anaknya. Akan tetapi, jizyah dibayarkan dengan tangannya sendiri menuju baitul mal dengan tujuan untuk merendahkan mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman,
حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ
“Sampai mereka membayar jizyah dari tangan (mereka).” (QS. At-Taubah: 29)
Jizyah tersebut dibayarkan dengan tangan mereka sendiri. Kewajiban tersebut tidak bisa diserahkan kepada orang lain. Dan lanjutan ayatnya,
وَّهُمْ صَاغِرُوْنَ ࣖ
“Dan mereka dalam keadaan rendah.” (QS. At-Taubah: 29)
Mereka wajib ditimpakan kehinaan. Dengan sebab itu, jatah tinggal mereka diperpanjang meski jizyah tersebut diambil secara paksa.
Menjadi kewajiban bagi pemimpin kaum muslimin untuk menghukumi mereka dengan hukum Islam dalam jiwa, harta, dan kehormatan mereka. Dan juga menerapkan hukum had atas mereka dari apa yang mereka yakini keharamannya dalam Islam. Wajib bagi pemerintah kaum muslimin untuk memberikan perlindungan dan menahan mereka dari gangguan.
Wajib pula untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin dalam hal berpakaian, dan tidak menampakkan sesuatu yang mungkar di dalam Islam atau apa pun yang berkaitan dengan syiar agama mereka, seperti lonceng dan salib. Hukum-hukum yang berlaku ini atas kafir dzimmi ada di dalam kitab-kitab para ulama, namun kami tidak membahasnya panjang lebar di sini.
Allahu a’lam.
Baca juga: Aturan-Aturan dalam Menyerupai (Tasyabbuh) dengan Orang Kafir
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
- Al-Kharraz, Khalid. 1430 H. Mausu’atu Al-Akhlaq. Maktabah Ahlil Atsar. Kuwait. Halaman 477-478 via Al-Maktabah Asy-Syamilah.
- Al-Munajjid, Muhammad Shalih. 1424 H. Anwa’ul Kuffar. diakses pada tanggal 18 Juni 2025
- Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1434 H. Huququ Da’at Ilaihal Fitratu wa Qararatha Asy-Syari’atu. Muassasah Asy-Syaikh Muhammad Shalih bin Al-Utsaimin Al-Khairiyyah. Riyadh. Halaman 43-44
- As-Saqqar, Munqidz bin Mahmud. 1427 H. At-Ta’ayusy Ma’a Ghairil Muslimin Fil Mujtama’il Muslim. Rabithah al-Alam al-Islamiy. Makkah. Halaman 4-5. Via Al-Maktabah Asy-Syamilah.