Hubungan orang tua dan anak tidak selamanya berjalan sesuai yang diharapkan. Dalam kondisi ‘kurang’ normal, sikap mendzalimi dan didzalimi terkadang bisa terjadi. Termasuk diantaranya, dalam hal perwalian nikah. Tak jarang kita jumpai, ada sebagian wali yang enggan menikahkan putrinya, karena berbagai macam alasan.
Kasus semacam ini tidak hanya terjadi di lingkungan kita, bahkan telah menjadi fenomena yang mendunia. Syaikh Muhamad Ali Farkus – seorang ulama Al-Jazair – ditanya tentang keadaan wanita yang tertunda nikahnya karena sikap walinya.
Beliau menjelaskan:
Perlu kita pahami, ulama sepakat bahwa wali tidak memiliki hak untuk melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, tanpa sebab yang diizinkan syariat. Si wali selalu menolak setiap lamaran orang yang sekufu, baik agama dan akhlaknya, dan siap memberikan mahar yang setara dengan umumnya wanita.
Wali yang melakukan tindakan demikian maka dia dianggap melakukan tindakan Al-‘Adhl1 . Allah berfirman:
??????? ??????????? ?????????? ?????????? ??????????? ????? ?????????????? ???? ?????????? ?????????????? ????? ?????????? ?????????? ?????????????? ?????? ??????? ???? ???? ????? ???????? ???????? ????????? ??????????? ???????? ???????? ??????? ?????? ?????????? ????????? ???????? ?????????? ??? ??????????
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)
Kemudian si wanita ini berhak untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim (KUA) untuk menikahkannya secara resmi. Karena sikap Al-Adhl termasuk kedzaliman, dan yang berhak menolak kedzaliman adalah hakim (KUA).
Jika tidak memungkinkan untuk mengajukan masalahnya ke hakim, maka kerabat dekatnya yang lain bisa menikahkannya dengan lelaki tersebut. Jika mereka menolak untuk menikahkannya maka wanita tersebut bisa mengajukan masalahnya kepada imam masjid (Pak Kaum) atau tetangganya yang dia percaya untuk menikahkannya. Dan orang yang dipercaya ini, sekaligus menjadi walinya. Karena kasus semacam ini termasuk bentuk tahkim (meminta keputusan). Sementara orang yang ditunjuk untuk memutuskan perkara, menggantikan posisi hakim resmi (KUA).
Di samping itu, manusia sangat butuh untuk menikah. Karena itu, mereka harus memperlakukannya dengan cara sebaik mungkin.
Imam Al-Qurtubhi membawakan keterangan dari Imam Malik tentang wanita yang kondisinya lemah:
Wanita ini boleh dinikahkan oleh orang yang menjadi rujukan permasalahannya. Karena wanita dalam kondisi semacam ini, tidak memungkinkan untuk menemui hakim, sehingga statusnya sama dengan orang yang tidak memiliki hakim. Karena itu, urusannnya dikembalikan kepada kaum muslimin, sebagai walinya. (Tafsir Al-Qurthubi, 3/76).
Pada kesempatan yang lain, Syaikh Muhamad Ali Farkus juga ditanya tentang sikap sebagian wali yang tidak mau menikahkan putrinya dengan lelaki sekufu. Beliau menjelaskan,
Ada dua latar belakang wali menolak untuk menikahkan putrinya;
Pertama, jika sang wali tidak mau menikahkan putrinya karena sebab yang diterima secara syariat, seperti, lelaki yang meminang tidak sekufu, atau karena ada lelaki lain yang lebih statusnya, agamanya, dan akhlaknya. Dalam keadaan ini, hak perwalian tetap menjadi miliknya dan tidak berpindah ke yang lain.
Kedua, jika pelarangan tersebut mengandung unsur kedzaliman, mempersempit hak putrinya untuk menikah, seperti; datang lelaki yang sekufu, baik agama dan akhlaknya, untuk meminangnya, namun wali melarangnya untuk menikah dengannya, maka dalam keadaan ini, walinya dianggap melakukan tindakan Al-Adhl dalam perwaliannya.
Wali ini tidak berhak untuk melakukan pembatasan semacam ini, dan perbuatan ini hukumnya haram dengan sepakat ulama. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan yang lainnya, bahwa Ma’qil bin Yasar radliallahu ‘anhu, memiliki saudara wanita yang menikah dengan seorang lelaki. Kemudian lelaki ini menceraikan istrinya, dan tidak rujuk kembali sampai selesai masa iddahnya. Beberapa hari kemudian, lelaki ini hendak melamar mantan istrinya. Maka Ma’qil merasa harga dirinya dilecehkan. Diapun berkata : “Lelaki ini membiarkan istrinya (sampai selesai iddah), padahal dia mampu untuk merujuknya. Kemudian dia ingin melamar lagi.” Akhirnya Ma’qil menghalangi pernikahan antara adiknya dengan lelaki tersebut. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
??????? ??????????? ?????????? ?????????? ??????????? ????? ?????????????? ???? ?????????? ?????????????? ????? ??????????
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik…” (sampai akhir ayat)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ma’qil dan membacakan ayat ini kepadanya. Ma’qil-pun meninggalkan rasa egonya dan bersedia untuk tunduk kepada aturan Allah. (HR. Bukhari no. 5331)
Sementara pada kondisi orang tua atau wali yang berhak lainnya, tidak bersedia untuk menikahkan maka hak perwalian langsung berpindah ke hak perwalian umum yang diwakili dengan hak perwalian hakim (KUA), ketika permasalahan ini diajukan kepada mereka. Dan perwaliannya tidak berpindah ke wali berikutya (kerabat dekat lainnya). Karena tindakan Al-Adhl adalah kedzaliman. Sementara kuasa untuk menghilangkan kedzaliman kembali kepada hakim.
Kemudian, jika tidak memungkinkan untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim, maka wanita ini dinikahkan oleh wali urutan berikutnya (kerabatnya). Pada keadaan ini, hak perwalian kerabat ini dinilai sebagai bentuk tahkim (meminta keputusan). Kaidahnya: Orang yang ditunjuk sebagai hakim, statusnya setara dengan hakim resmi (KUA), sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam As-Syafi’i. Jika tidak memiliki kerabat yang lain maka dia dinikahkan oleh imam tetap di daerahnya (Pak Kaum). Jika tidak menemukan juga maka siapapun orang yang beriman bisa menikahkannya, berdasarkan firman Allah:
???????????????? ???????????????? ?????????? ??????????? ??????
“Orang mukmin laki-laki dan orang mukmin wanita, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)
Diterjemahkan dari buku: Al-Adat Al-Jariyah fi Al-A’ras Al-Jazairiyyah, hlm. 110 – 113.
Catatan:
Pertama, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, seorang wanita berhak untuk mengajukan masalah perwaliannya kepada hakim dengan beberapa syarat:
a. Lelaki yang melamarnya adalah lelaki yang sekufu (setara) dari semua sisi. Baik agama maupun dunia.
b. Lelaki tersebut baik agama dan akhlaknya.
c. Lelaki tersebut memiliki kemampuan secara finansial, sehingga bisa memberikan mahar dan nafkah sebagaimana umumnya masyarakat.
d. Penolakan yang dilakukan oleh wali karena kedzaliman, dan bukan dalam rangka memberikan kemaslahatan bagi putrinya.
Kedua, keterangan di atas sama sekali bukanlah membolehkan seseorang untuk menikah tanpa wali atau menikah dengan wali ‘gadungan’. Karena permasalahannya nikah bukanlah masalah yang ringan. Keterangan di atas justru sangat membatasi bahwa pernikahan harus dilakukan dengan wali. Meskipun perwalian nikah tidak selamanya ada di tangan orang tua, namun bisa berpindah ke yang lain, dengan beberapa persyaratan di atas.
Ketiga, hakim yang dimaksud di atas adalah pejabat resmi KUA, dengan kuasa dari lembaga. Dia datang atas nama lembaga bukan atas nama pribadi.
Keempat, perwalian bisa berpindah ke pihak yang lain, selain kerabat dan pejabat, jika sudah tidak memungkinkan untuk mengajukan masalah ke KUA. Selama masih memungkinkan untuk mengajukan masalah ke KUA secara resmi maka tidak diperkenankan menyerahkan masalah ke orang lain.
Kelima, semua pihak hendaknya berusaha bertakwa kepada Allah dan tidak menggampangkan masalah. Semua ini tidak lain dalam rangka menjaga batasan halal-haram dalam pernikahan.
Allahu a’lam
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits
1 Al-‘Adhl, secara bahasa dari kata ‘adhala – ya’dhulu, yang artinya ihtabasa (menahan). Sedangkan sikap Al-Adhl yang dimaksud dalam ayat adalah melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, karena bermusuhan dengan calon suaminya, atau marah, atau sebab yang lainnya. (Lihat Mufradat Gharibil Qur’an, hlm. 338 dan Tafsir As-Sa’di, hlm. 103). – pent.
Assalamualaikum warahmatullohi wabarakatuh….syukron Artikelnya bagus saya ijin share buat sahabat seiman sebelumnya maaf salam ukhuwah islamiah sukses sllu dalam kebaikan..
Assalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh.artikelnya seperti apa yang ana hadapi sekarang. semoga ana tetap kuat… jazakumulah,
Assalamualaikum warrohmatullohi wabarokatuh.artikelnya seperti apa yang ana hadapi sekarang. semoga ana tetap kuat… jazakumullah,
Bismillah.
Ana seorang akhawaat. Pernah ana proses dengan seorang ikhwan melalui perantaraan ustadz dan ustadzah. Akan tetapi di tengah perjalanan ketika pembicaraan kepada orgtua dilakukan, orangtua saya (bapak) menolak utk menikahkan saya disebabkan saya dan ikhwan tersebut mempersyaratkan konsep walimah syar’i. Sedangkan bapak tidak mau, beliau menolak lantaran tidak ingin menjadi malu karena konsep seperti itu dianggap tabu oleh masyarakat. Saya sudah melobi tapi bapak belum luluh juga. Sudah pake perantara juga tapi bapak masih bertahan. Akhirnya proses itu ditunda, akan dilanjutkn kembali tapi tentu dengan syarat yg sama. jika tidak bisa, maka ikhwannya akan mundur. apa yg harus sy lakukan?
Assalammualaikum Wr Wb…
Saya suami yg di gugat istri ke KUA melalui BP4 untuk bercerai dgn saya…..saya pun menerima dan mengikhlaskannya karena itu kepuasan dia dan keluarganya untuk berpisah dgn saya…sementara istri saya berkata biarlah yg penting di mata keluarga dia bahwa saya sudah sah berpisah….setelah itu kami akan kembali lagi meskipun ada pertentangan kemungkinan dari kelurganya utk tdk menerima saya kembali, namun istri saya siap agar tetap bersama saya….ironisnya mungkin secara agama(saya kurang paham) kami sah bercerai setelah pulang dari KUA kami melakukan hubungan badan selayaknya suami istri semula……bagaimana hukum agama permasalahan kami ini….sementara saat ini istri dan anak saya tinggal d rumah mertua dan saya sendiri d tempat saya……terima kasih…Wassalammualaikum Wr Wb
wa’a laikumsalaam
jazaakumullah, artikelnya sangat bermanfaat .
saya ingin menikah dengan laki2 pilihan saya,tapi apabila tanpa wali,karena ayah saya tidak pernah peduli dengan saya,sejak perceraiannya dengan ibu saya,apakah itu sah?
Assalamu’alaikum, wr wb
Saya mau nikah ,,,tapi orgtua saya melarang saya nikah dikarenakan calon suami saya bukan dari kalang sipil . Dgn alasan takut hidup saya tidak bahagia .
Sdgkan posisi saya sudah ternodai dahulu,
Saya btuh saran dan msukannya . Trimakasih
@resa, Wa’alaikumussalam, hendaknya anda bertaubat atas perbuatan zina yang anda lakukan dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan carilah suami yang shalih bukan suami yang gemar melakukan zina.
Assalamualaikum wr wb,,
Sya adl seorang mualaf,ayah dn keluarga tdk berkenan sya dipinang oleh lelaki muslim,bisakah saya menikah dengan wali hakim?pdhl KTP saya blm berganti agama,krn KK tdk diberikan oleh keluarga
@Hazfari, wa’alaikumussalam warahmatullah, sah secara agama dan boleh dengan wali hakim, namun secara administratif mungkin ada beberapa prosedur yang perlu ditempuh.
Sy ingini menikahi seorang gadis, ayahnya adalah salah satu pengurus besar sebuah lembaga dakwah. Alasan itulah ayahnya tidak menyetujui karena dianggap tidak sekufu, tdk seiman dlsb…
Sementara disisi lain anak gadis beliau, tetap ingin melanjutkan pernikahan dg saya, dan tidak menyetujui “aturan” atau fanatisme dari lembaga tsb…bolehkah pernikahan sy lanjutkan tanpa restu walinya…
Sebaiknya Anda datang ke KUA untuk konsultasi tentang hal ini, karena maslah seperti ini adalah masalah yg butuh didengar suara dari kedua belah pihak.
Assalamu’alaikum ,Apakah proses mengajukan wali hakim ke pwngadilan agama itu lama krna hari h sbntr lg
Wa’alaikumus salam, tergantung kasusnya bagaimana dulu.
Assalamu’alaikum maaf mhon informasi apakah mengajukn pndftrn nikah ke kua kurang dari 1 mnggu hari H bisa? Krna berkas dkrim dari luar pulau dn bru bs smpek kurang 1 mnggu dari hari H
Wa’alaikumus salam, sebaiknya Anda langsung melobi pihak KUA yg dituju via telpon atau via orang daerah situ yang dikenal oleh pihak KUA, semoga Allah mudahkan urusan Anda.
Assalamualaikum ustad…,
Saya seorang istri….suami saya menikah lg dengan pacarnya tampa persetujuan walinya (Ayahnya) dalam hal ini ayahnya tdk setuju krn dijadikan istri ke 2 ..ayahnya mengajukan menyelesaikan dulu masalah suami dengan saya…krn menurut informasi dr anaknya (pacarnsuami saya ) klo suami sudah tdk mencintai saya lg…
Apakah sah menikah tampa wali yang berhak dengan kondisi spt itu..,.
Maaf suami saya solatnya masih siang doang…malam dan shubuh jarang sekali solat…bagaimana ustad hukumnya
Wa’alaikumussalam, nikah tanpa izin ayah sang lelaki tetap sah. Yang menjadi syarat adalah izin dari walinya sang wanita. Jika tanpa izin walinya sang wanita maka tidak sah.
Assalamu’alaiku.
Ada yang melamar saya dan dia sudah berustri, dan tidak punya anak dari istrinya. Dia sudah datang 3 kali ke orang tua saya untuk menikahi saya secara siri dulu sambil menunggu persyaratan nikah KAU nya lengkap. Tapi keluarga saya menolak, dan dari itstrinya juga menolak utk dipoligami.
Saya ingin menikah dengan wali hakim apakah ini bisa?
Assalamu’alaikum
sah kah nikah seorang perempuan yang pada saat menikah dulu walinya adalah saudaranya, sementara saudaranya adalah anak diluar nikah(hasil zinah), apakah perlu mengulang nikahnya tersebut?
Tolong jawabannya, dan terima kasih sebelumnya…
Assalammualaikum ustad…kalau walin menolak menikahkan karena calon suami belum kerja, tidak ada penghasilan sama sekali sedangkan si wanita sudah pns, apakah ini termasuk alasan syari utk wali menolak?