Tanya:
Apakah wanita harus menutup wajahnya?
Jawab:
Menurut kami, tak ada seorang pun sahabat yang mewajibkan para wanita menutup wajahnya. Dan bagi kami, mengenakan penutup wajah lebih utama dan lebih mulia bagi para wanita. Tidak sampai ke taraf wajib, karena tidak boleh mewajibkan satu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah dan tanpa disertai dalil syari.
Karena itu, dalam buku yang berjudul Hijaab Al Mar’ah Al Muslimah, saya telah membuat satu bab khusus yang berisi bantahan kepada orang-orang yang menganggap cadar itu sesuatu yang baru dalam agama (bid’ah). Dan sekaligus menjelaskan keutamaan (afdhalnya) menggunakan penutup wajah (cadar).
Banyak bukti yang menunjukkan tidak wajibnya wanita menutup wajahnya, di antaranya riwayat dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan wanita bukan aurat. Riwayat ini dapat kita lihat dalam kitab Al Mushannaf yang disusun oleh Ibnu Abi Syaibah.
Dan kita yang belakangan tidak pernah mendatangkan/ menciptakan hal yang baru dalam agama. Para ulama salaf dan ahli tafsir telah menerangkan sebelumnya, seperti Ibnu Jarir Ath Thabari bahwa wajah wanita bukan aurat dan menutupnya dihukumi afdhal, tidak wajib.
Perlu diketahui, bahwa sebagian orang yang mewajibkan cadar berdalil dengan satu kaidah ushul fikih, yaitu.
??? ??????? ???? ??? ??? ???????
“Menolak menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”
Menurut saya, kaidah ushul ini memang bukan sesuatu yang baru muncul dalam agama. Kaidah ini diambil dari syariat Islam. Berasal dari Nabi. Kemudian orang-orang yang menerima syariat ini dari beliau adalah para sahabat. Para sahabat tentu sudah memahami substansi kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan ungkapan ilmu ushul fikih seperti di atas.
Dalam buku Hijaab Al Mar’aatul Muslimah kami telah membawakan kisah yang dialami seorang wanita dari bani Khats’am yang mendatangi nabi untuk meminta fatwa, ketika itu Nabi sedang bersama Fadhal bin ‘Abbas. Di saat wanita ini berada di dekat Nabi Fadhal bin Abbas melirik wajahnya yang cantik. Dan ternyata si wanita juga melirik Fadhal bin Abbas yang ganteng. Mengetahui hal itu, Rasulullah segera memalingkan wajah Fadhal bin Abbas. Dari kisah ini sangat jelas menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajahnya. Bagaimana mungkin kecantikan wanita tersebut diketahui oleh Fadhal bin Abbas jika wajahnya tertutup. Dan juga mengapa Rasulullah ketika itu memalingkan wajah Al Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa wanita Khats’amiyah ini tidak menutup wajahnya.
Sebagian dari mereka yang mewajibkan wanita menutup wajahnya berkata, “Wanita tadi dalam keadaan berihram, sehingga boleh baginya membuka wajah.”
Kita jawab, “Tidak ada tanda-tanda sedikit pun yang menunjukkan bahwa wanita tadi sedang berihram. Dan dalam buku Hijaab Al Marah Al Muslimah saya telah mengetengahkan bukti kuat yang menunjukkan bahwa wanita tersebut menghadap Nabi setelah melempar jumrah, yaitu setelah tahallul awal.
Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang berihram, mengapa Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah menolak kerusakan?
Kemudian kami katakan bahwa dari sisi syariat dan tabiat manusia, tidak ada bedanya antara laki-laki memandang wajah wanita dan sebaliknya.
Oleh sebab itu Allah berfirman:
??? ???????? ????? ?? ???????
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaknya
mereka menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 30)
Maksudnya dari (memandang) wanita.
Dan Allah berfirman:
??? ???????? ????? ?? ??????
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan pandangannya‘.” (QS. An Nur: 31)
Maksudnya yaitu jangan memandang kepada laki-laki.
Kedua ayat di atas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan laki-laki untuk menundukkan pandangannya dari wajah wanita, sedang ayat kedua memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangannya dari wajah pria.
Sebagaimana tidak adanya konsekuensi dari surat An Nur ayat 30 bagi laki-laki untuk menutup wajahnya (agar kaum wanita bisa menjaga pandangannya –ed.-). Begitu pula bagi para wanita, tidak ada konsekuensi dari surat An Nur ayat 31 untuk menutup wajah mereka (agar kaum lelaki bisa menjaga pandangannya -ed.-)
Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah wajah adalah sesuatu yang biasa terbuka dan terlihat. Maka Allah, Sang Pembuat syariat dan Yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menundukkan pandangan masing-masing.
Adapun hadits:
?????? ????
“Wanita adalah aurat.”
Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di dalam shalat.(*16)
Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah sebagian kecil ulama. Sedangkan jumhur (mayoritas) berpendapat bahwa wajah bukan aurat.
Hadits di atas, yang berbunyi:
?????? ???? ??? ???? ???????? ???????
“Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syetan memperindahnya.”
Tidak bisa diartikan secara mutlak bahwa seluruh tubuh wanita itu aurat. Karena ada kaidah yang berbunyi: “Nas (dalil) yang bersifat umum dan mencakup banyak cabang hukum di bawahnya. Tidak boleh diterapkan secara mutlak kepada cabang hukum dibawahnya jika tidak cocok diamalkan.”
Banyak orang yang menganggap bidah itu baik dengan berlandaskan dalil-dalil yang bersifat umum. Dan ini telah terjadi di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Suriah, Yordania dan lainlain, banyak orang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah:
?? ???? ????? ????? ???? ???? ?????? ??????
“Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzaab: 56)
Dan juga dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi yang masih bersifat umum (yang tidak bisa diamalkan begitu saja -ed,-)
Mewajibkan wanita menutup wajah berdasarkan hadits: “Wanita adalah aurat,” adalah sama dengan kasus di atas. Karena sahabat wanita berangkat ke masjid dengan wajah yang terbuka. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajahnya.
Jika demikian hadits di atas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan tapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang Salaf (para sahabat).
(*16) Maksud beliau adalah bahwa orang yang berpendapat tentang wajibnya menutup
wajah bagi wanita pun bersepakat tentang bolehnya wanita membuka wajahnya, yang menurut mereka adalah aurat, ketika shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa hadits di atas tidaklah berlaku secara mutlak.
Diketik ulang dari buku Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albani karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani halaman 161-165