Setiap membuka lembar emas periode sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, selalu saja membuat hati tersentuh betapa mereka pribadi mulia yang gigih membela Islam. Hingga Rasul-Nya mewasiatkan umat Islam agar menjaga hak-hak mereka, mengetahui keutamaan mereka dan melarang mencela para sahabat.
Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu berkata, “Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, Sesungguhnya kedudukan salah seorang di antara mereka lebih baik dari amal kalian seluruhnya” (Ash Sharimul Maslul’ala Syatimir Rasul, hal : 570).
Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim telah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dalam bab keutamaan-keutamaan para Sahabat, dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bersabda: “Janganlah kalian mencela para Sahabatku. Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, tidaklah sampai (menyamai) satu mudd (satu cakupan dua tangan, pent) infak mereka, tidak pula setengahnya” (HR. Al-Bukhari, bab Fadhailush shahabah, Fathul Bari 7/21 hadits No. 3673 dan Muslim: Fadhailush shahabah 4/1967 hadits nomor 221 dan 222).
Diantara sosok yang lekat di hati beliau adalah Ja’far bin Abi Thalib. Dia sangat mirip dengan beliau. Ja’far bin Abi Thalib diasuh oleh Abu Bakar Ash Shidiq sebelum Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam. Saat intimidasi kafir Quraisy bertambah gencar, Ja’far bin Abi Thalib bersama istrinya Asma’ binti ‘Umais serta serombongan kaum muslimin berhijrah ke Habasyah. Mereka mendapat perlindungan Raja Najasyi hingga dapat beribadah kepada Allah dengan tenang. Ketika orang-orang Quraisy mengetahui keberadaan mereka, mereka mengutus ‘Amr bin Al Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah untuk memprovokasi sang raja agar mengusir kaum muslimin. Berkat taufiknya serta kecerdasan Ja’far bin Abi Thalib raja membenarkan keyakinan kaum muslimin.
Di hadapan majelis para pejabat dan uskup dengan percaya diri dan penuh kesopanan Ja’far berkata, “Tuanku, dahulu kami adalah suatu kaum yang bodoh, kami menyembah patung-patung berhala, memakan bangkai dan tidak segera melakukan berbagai kejahatan. Kami biasa memutus hubungan kekerabatan, tidak mau ambil peduli dengan kerepotan tetangga, dan yang kuat menindas yang lemah. Dalam keadaan demikian, Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami kenal baik keramahan keluarganya serta terjamin kejujuran, ketulusan dan amanahnya. Kami diajak untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan terhadap batu-batu dan patung. Beliau menyuruh kami jujur dalam berbicara, menyampaikan amanah, menyambung tali persaudaraan dan berbuat baik kepada tetangga. Beliau melarang kami berbuat keji, menghindari pertumpahan darah, tidak menyebarkan kata-kata fitnah, mengadu domba atau berdusta. Beliau juga melarang memakai harta anak yatim atau menuduh orang-orang yang tidak bersalah dengan keburukan, mengabdi kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Itu sebabnya kami percaya adanya dan mau mengikuti ajaran yang dibawanya. Kami menghalalkan apa yang dihalalkan dan mengharamkan yang diharamkan. Ketika kaum kami melihat kami beriman kepadanya, mereka menyiksa kami dengan sewenang-wenang untuk mengembalikan pada kebodohan, yaitu penyembahan berhala. Penindasan mereka semakin menjadi-jadi seiring keteguhan kami untuk membenarkan ajaran Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Tak ada satu pun mereka lewatkan untuk menganiaya kami. Bahkan mata pencaharian kami pun dihalang-halangi. Ketika sudah tidak tahan lagi dizalimi, ditindas dan dihalang-halangi dalam beragama, kami lari ke negeri Tuan. Kami mengutamakan negeri ini daripada lainnya, karena kami telah mendengar kebijaksanaan Anda. Kami berharap bisa bernaung di bawah pemerintah Tuan” (Dibawah Naungan Pedang, Abu Royhan, hal. 387 – 388).
Demikianlah untaian kata-kata Ja’far yang membuat Negus Ashamah kagum. Terlebih lagi ketika beliau membaca surat Maryam ayat 1-15, penguasa itu menangis terharu dan membenarkannya. Akhirnya ia melindungi kaum muslimin dan mereka tinggal di Habasyah dengan penuh kedamaian serta mampu melaksanakan ajaran Islam. Utusan Quraisy itupun akhirnya kembali dengan terhina dan semua hadiah dikembalikan.
Ada lagi keistimewaan Ja’far, beliau sangat penyayang dan menyantuni orang-orang miskin. Beliau pun mujahid tangguh yang berjihad dalam menegakkan kalimat tauhid hingga ke Roma. Mereka berhadapan dengan Raja Hercules yang memiliki tentara ± 200 ribu. Beliau bertempur habis-habisan hingga gugur sebagai syuhada. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bersabda: Sungguh aku melihat Ja’far bin Abu Thalib di surga. Ia memiliki dua sayap yang berlumuran darah. (Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, halaman: 424).
Demikianlah akhir kisah Ja’far, pribadi yang fasih tutur katanya, tepat argumentasinya dan sosok rendah hati yang juga sigap dalam berperang. Semoga kisah ini menginspirasi generasi muslim untuk lebih fokus meneladani para sahabat.
Referensi :
- Sirah Sahabat (terjemah). Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka Al-Haura, Yogyakarta, 2013.
- Di Bawah Naungan Pedang. Penyadur. Abu Royhan, dkk. Sketsi Publishing, Cilacap, 2013.
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Artikel muslimah.or.id
Semoga politisi2 di negeri ini bisa meniru Beliau,aamiin